tirto.id - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebut polusi udara di Jabodetabek akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pencemaran udara dinilai bisa mendatangkan kerugian sebesar Rp20 hingga Rp30 triliun. Uang triliunan tersebut bukan angka kecil. Oleh karena itu, pemerintah menempuh berbagai upaya menekan polusi, termasuk menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) bagi pegawai.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) DKI Jakarta mulai WFH sejak Senin (21/8/2023). Istilah WFH muncul sejak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia. WFH jadi salah satu senjata meredam penyebaran virus asal Cina tersebut. WFH memang berhasil menekan ruang gerak masyarakat kala itu. Banyak aktivitas yang akhirnya bisa dilakukan dari rumah tanpa harus lalu-lalang memenuhi ibu kota. Jalanan lengang dan polusi udara turun bisa dirasakan secara nyata.
Kondisi yang hampir sama membuat pemerintah mengambil sikap 'merumahkan' setengah PNS ibu kota agar polusi udara berangsur hilang. Namun, kali ini bukan untuk mengurangi wabah melainkan pencemaran udara.
"Mengenai polusi kawasan Jabodetabek, dan ini sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan oleh karena itu kita sudah menerbitkan pengumuman agar kita melakukan Work From Home (WFH) selama beberapa waktu ke depan untuk menindaklanjuti atas ratas yang kita lakukan minggu lalu," ucap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Sandiaga Uno saat Weekly Briefing di Kantor Kemenparekraf, Jakarta, Senin (21/8/2023).
Tidak hanya menerapkan WFH, pemerintah juga menggenjot penggunaan kendaraan listrik. "Oleh karena itu kita juga butuh dukungan dari semua pihak, terutama dari masyarakat untuk mulai naik kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke elektrifikasi," lanjut Sandiaga.
WFH Tepat untuk Jangka Pendek
Indonesia Tourism Strategist Taufan Rahmadi menuturkan, kebijakan pemerintah terkait penerapan WFH dalam jangka pendek merupakan sebuah langkah yang tepat mengurangi polusi udara. Namun, ia meminta, langkah ini harus diikuti dengan memperbanyak ruang terbuka hijau.
"Kondisi polusi udara yang mengkhawatirkan di Jabodetabek diharapkan menjadi pendorong bagi para pemegang kebijakan untuk segera melakukan perluasan zonasi ruang hijau di daerah-daerah yang menjadi otoritas mereka," ungkap Taufan saat dihubungi Tirto, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Di sisi lain, menurutnya, penerapan WFH bisa memberikan rasa penasaran lebih bagi para wisatawan untuk berwisata di sekitar Jabodetabek. Tetapi, tak bisa dipungkiri kebijakan WFH ini juga dapat mendorong wisatawan untuk berwisata di daerah lain yang minim polusi.
"Kebijakan WFH di Jabodetabek bisa saja berpengaruh bagi rasa ingin wisatawan untuk berwisata di kawasan ini, namun di lain pihak kebijakan ini bisa berdampak juga kepada meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah-daerah lain yang bebas polusi udara," terangnya.
Bikin Pariwisata Ketar-ketir
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan WFH bagi PNS membuat sektor pariwisata ketar-ketir, sebab kebijakan WFH kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi. Apalagi sektor pariwisata di DKI Jakarta menyumbang pendapatan yang cukup besar.
"Sektor pariwisata di DKI Jakarta menyumbang pendapatan yang cukup besar, yakni Rp4,7 triliun ke PAD DKI Jakarta sepanjang 2022 lalu. Tingkat penghunian kamar hotel di DKI baru 55,6 persen per Juni, jadi baru recovery jangan diganggu dengan kebijakan yang tidak jelas," ucap Bhima saat dihubungi Tirto, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Bhima menuturkan, pemerintah seharusnya tidak memilih kebijakan WFH sebagai jalan pintas memutus polusi. Sebab, maraknya kebijakan tersebut akan berimbas pada menurunnya jumlah wisatawan nusantara (wisnus) dan juga wisatawan wancanegara (wisman) ke Jakarta.
"Jika imbauan WFH marak maka imbasnya tentu ke minat wisatawan domestik dan wisman berkunjung ke objek wisata Jakarta bisa turun. Tidak mungkin mendorong pariwisata, kemudian Kementerian Pariwisata malah mendorong pegawai WFH. Ini berarti sinyal jangan berwisata dulu ke Jakarta," bebernya.
Alih-alih mendorong kebijakan WFH, solusi lainnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah menambah subsidi secara masif agar masyarakat beralih ke transportasi umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
"Pemerintah bisa dorong kebijakan subsidi secara masif transportasi publik dan penyediaan feeder atau angkutan last mile yang menjangkau kawasan padat penduduk," ungkapnya.
Selain itu, penerapan pembatasan penjualan motor dan mobil bisa mulai diterapkan di Jakarta. Kemudian, melakukan penutupan PLTU lebih dini. Langkah-langkah ini diyakini lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan WFH.
"Pembatasan penjualan motor dan mobil baru bisa diterapkan di Jakarta. Penutupan dini PLTU batubara disekitar Jakarta juga lebih efektif dibanding WFH yang sifatnya sangat temporer kemudian pasca WFH polusi udara kembali naik," pungkasnya.
Efektivitas WFH akan Ditinjau
Sementara itu, Menteri Sandiaga mengatakan, pihaknya akan meninjau penerapan WFH untuk mengurangi polusi di Jakarta dalam 3 bulan ke depan.
"Ini kita akan evaluasi semua termasuk WFH dalam 3 bulan ke depan. Sehingga, harapannya ini akan menurunkan emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara di DKI Jakarta," jelasnya.
Dia juga menginginkan ke depan, semua sektor pariwisata beralih lebih ramah lingkungan atau go green. Langkah itu sudah mulai diterapkan oleh berbagai tempat wisata.
Misalnya, TMII yang hanya memperbolehkan kendaraan berbahan bakar minyak atau fosil hanya sampai parkiran lalu dilanjutkan menggunakan kendaraan listrik. Lalu ada juga wisata lain seperti Ancol yang berupaya menghadirkan wisata go green dengan memberi insentif gratis masuk bagi kendaraan listrik.
"Ini yang sudah kita lihat seperti Taman Mini Indonesia Indah sudah melarang membawa kendaraan pribadi dan juga bagaimana pariwisata itu juga menghadirkan penggunaan energi baru dan terbarukan dan juga kita menghadirkan lebih banyak zona hijau," jelasnya.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang