Menuju konten utama

Polusi Udara: Racun Tak Kasat Mata yang Bawa Rugi Ribuan Triliun

Polusi udara menjadi racun tak kasat mata yang membunuh puluhan ribu warga RI tiap tahunnya. Racun ini juga menyebabkan pekerja gagal fokus.

Polusi Udara: Racun Tak Kasat Mata yang Bawa Rugi Ribuan Triliun
Header Darurat Polusi Udara. tirto.id/Mojo

tirto.id - Presiden RI Joko Widodo memanggil sejumlah menteri dan gubernur ke Istana Merdeka Jakarta, Senin (14/8/2023). Rapat terbatas digelar pemerintah tatkala tingkat polusi kian mencemaskan. Jokowi – sapaan populer Joko Widodo – mengungkapkan tiga faktor penyebab polusi akhir-akhir ini.

Ketiga faktor yang dimaksud adalah musim kemarau, emisi alat transportasi dan aktivitas industri manufaktur menggunakan batu bara. Untuk mengatasi masalah itu, Pemerintah RI akan menempuh beraneka cara. Penanganannya terbagi atas jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Untuk jangka pendek, pemerintah berencana melakukan rekayasa cuaca di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kemudian menerapkan batas emisi, memperbanyak ruang terbuka hijau dan mengimbau kantor-kantor agar menerapkan sistem hybrid working kepada para pekerjanya.

Dalam jangka menengah, pemerintah berupaya mengurangi kendaraan berbahan bakar minyak dan mendongkrak angka pemakaian alat transportasi massal. Sedangkan untuk jangka panjang, Jokowi ingin menguatkan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim serta memberi pengawasan terhadap sektor tertentu.

“Harus dilakukan pengawasan kepada sektor industri dan pembangkit listrik, terutama di sekitar Jabodetabek. Dan yang terakhir mengedukasi publik seluas-luasnya,” ujar Jokowi.

Saat artikel ini ditulis, beberapa indeks menggolongkan kualitas udara di DKI Jakarta tidak sehat. IQAir misalnya, perusahaan teknologi asal Swiss itu memberi skor 156. Dari 100 kota, Jakarta peringkat kedua polusi terparah di dunia setelah Dubai. Di bawah kita ada Kuwait City, Riyadh, Kampala, Kuching.

Begitu pula menurut catatan aqicn.org. Pada Senin (14/8/2023) pukul 05.00 WIB, data mereka menunjukkan bahwa Air Quality Index (AQI) Jakarta mencapai 183 sehingga berstatus unhealthy. Sementara itu, AQI.in memberi skor 116 dengan status poor. Sedangkan Plume Labs dari AccuWeather menyodorkan angka 120.

Dampak Ekonomi dan Kesehatan

Melalui penelitian berjudul Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta, Indonesia (2023), Ginanjar Syuhada dkk menemukan bukti bahwa polusi udara Jakarta menyebabkan lebih dari 10.000 orang meninggal dunia setiap tahun. Jumlah itu lebih banyak ketimbang beberapa perkiraan sebelumnya.

Polusi udara mengakibatkan 5.000 orang mengidap penyakit kardiovaskular menjalani rawat inap di rumah sakit. Tak hanya itu, lebih 7.000 anak terimbas masalah kesehatan seperti stunting dan 9.700 kematian prematur. Semua ini menimbulkan biaya USD2,9 miliar, setara 2,2% produk domestik regional bruto DKI Jakarta 2019.

Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Kesehatan RI, polusi udara telah merenggut banyak jiwa dan menjadi beban berat di sisi anggaran pemerintah. Ia mengakibatkan bermacam penyakit respirasi, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis, dan asma.

Di Indonesia, polusi udara menyebabkan 145 kejadian PPOK, sebanyak 78,3 ribu di antaranya berakhir mati. Selain itu, polusi juga telah merenggut 28,6 ribu nyawa pengidap kanker paru, membunuh 52,5 ribu orang dengan pneumonia dan 27,6 ribu jiwa penderita asma. Dengan kata lain, ini adalah masalah serius. Polusi menjadi racun pembunuh tak kasat mata di udara.

Bermacam penyakit yang ditimbulkan polusi udara membentuk tekanan dalam anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Selama 2018-2022, biaya penanganan penyakit respirasi meningkat signifikan. Dari empat faktor utama penyebab sakit paru, polusi udara berperan sekitar 15-30%.

Tak tanggung-tanggung, biaya pengobatan PPOK mencapai Rp1,8 triliun. Sedangkan pneumonia Rp8,7 triliun, tuberkulosis Rp5,2 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar. Faktor polusi berperan terhadap timbulnya penyakit-penyakit itu dengan tingkat risiko 36,6%, 32%, 12,2%, 27,95% dan 12,5%.

Polusi udara bukan cuma ancaman bagi Indonesia. Dalam buku berjudul The Cost of Air Pollution: Health Impacts of Road Transport (2014), Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD mencatat lebih dari tiga juta orang di seluruh dunia meninggal setiap tahun dikarenakannya.

Antara 2005 dan 2010, jumlah kematian akibat polusi udara turun sekitar 4% di negara-negara OECD. Dari 34 negara, 20 di antaranya mengalami kemajuan, tapi 14 lagi tidak. Pada 2010, biaya kesehatan menguras anggaran USD1,7 triliun. Dampak aktivitas transportasi menyumbang 50% atau mendekati USD1 triliun.

Jumlah itu sedikit di bawah penggabungan uang yang digelontorkan Tiongkok dan India. Masing-masing diketahui mengeluarkan USD1,4 triliun dan USD0,5 triliun atau setara Rp21.280 triliun dan Rp7,600 triliun.

Di Tiongkok, angka kematian naik 5%, sedangkan di India meningkat 12%. Meski jumlah kematian di India hanya setengah dari Tiongkok, trennya melaju lebih cepat.

Pekerja Gagal Fokus

Dalam penelitian berjudul Air Quality and Error Quantity: Pollution and Performance in a High-Skilled, Quality-Focused Occupation (2017), James Archsmith dkk menyimpulkan bahwa polusi udara bisa berdampak pada seberapa baik atau buruk seseorang saat melakukan pekerjaannya.

Ternyata, polusi memengaruhi kinerja karyawan terampil yang berfokus pada kualitas. Misalnya, peningkatan 1 ppm dalam 3 jam karbon monoksida menyebabkan kecenderungan wasit bisbol profesional membuat keputusan keliru menjadi naik 11,5%. Kemudian pada 10 mg/m3 dalam 12 jam PM2.5 membuat peluang salah bertambah 2,6%.

Hasil analisa James Archsmith dkk selaras dengan temuan Matthew E Kahn dan Pei Li dalam penelitian berjudul The Effect of Pollution and Heat on High Skill Public Sector Worker Productivity in China (2019). Mereka menyimpulkan bahwa para hakim di Tiongkok tidak bekerja efisien pada hari-hari yang tercemar polusi.

Merujuk hasil penelitian tersebut, kenaikan 1% pada PM2.5 ternyata berdampak meningkatkan waktu penanganan kasus sebesar 19,8%. Pada situasi ini, para hakim mengalami kesulitan untuk memutuskan kasus-kasus yang lebih kompleks. Akibatnya, mereka lebih cenderung membuat keputusan naik banding dan ditolak.

Infografik Darurat Polusi Udara

Infografik Darurat Polusi Udara. tirto.id/Mojo

Dalam makalah berjudul Medium and Long-Term Consequences of Pollution on Labor Supply: Evidence from Indonesia (2017), Younoh Kim dkk menganalisa kebakaran hutan di Indonesia pada 1997 guna mempelajari konsekuensi jangka menengah dan panjang dari polusi udara terhadap pasokan tenaga kerja.

Peneliti menemukan bukti bahwa paparan polusi udara mengurangi jam kerja. Meskipun efek jangka menengahnya lebih besar, beberapa efek bertahan dalam jangka panjang. Dengan memperkirakan tingkat polusi, partisipasi angkatan kerja, dan upah minimum, diduga sekitar USD10 miliar hilang akibat polusi selama 2000.

Sedangkan dalam penelitian berjudul The Impact of Perceived Air Pollution on Labour Supply: Evidence from China (2022), Xiaoqin Li dan Yonghui Li mengeksplorasi dampak polusi udara terhadap pasokan tenaga kerja para migran berdasarkan perspektif heterogenitas sensitivitas kelompok yang berbeda.

Menurut Matthew Neidell dan Nico Pestel dalam kajian berjudul Air Pollution and Worker Productivity yang diterbitkan The IZA World of Labor, polusi terbukti dapat mengurangi produktivitas seorang pekerja. Pada saat yang sama, proteksi lingkungan sering dianggap sebagai penghambat perekonomian.

Akan tetapi, peraturan yang efektif bisa meningkatkan kualitas udara dan air sehingga orang-orang mampu mempertahankan pekerjaannya dengan menjadi lebih sehat dan produktif. Oleh karena itu, perancangan kebijakan lingkungan yang baik nantinya akan menutup kerugian.

Baca juga artikel terkait EKONOMI 2023 atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas