Menuju konten utama

Atasi Polusi Tak Bisa Setengah Hati, Beijing Butuh 2 Dekade!

Polusi udara adalah masalah klasik dengan solusi yang itu-itu saja. Terlebih pemerintah baru bertindak saat warganya berkoar dan protes.

Atasi Polusi Tak Bisa Setengah Hati, Beijing Butuh 2 Dekade!
Header Darurat Polusi Udara. tirto.id/Mojo

tirto.id - Polusi bukan masalah baru di Jakarta. Persoalannya itu-itu saja, begitu pula solusinya. Sekarang, upaya peningkatan kualitas udara diwarnai sikap pemerintah yang kontradiktif, dicap bermuka dua.

Cerita ini berawal empat tahun lalu. Melanie Soebono beserta 31 orang warga lainnya menggugat tujuh pejabat negara lantaran mengabaikan teguran mereka soal kondisi udara Jakarta yang semakin parah.

Ketujuh pejabat tersebut adalah gubernur Jakarta, Banten dan Jawa Barat beserta presiden dan tiga menterinya. Sidang gugatan warga negara atau citizen law suit berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bersamaan dengan class action warga, Jakarta dinobatkan sebagai kota paling berpolusi di dunia pada medio 2019. Saat itu, Air Quality Index (AQI) Ibu di Kota mencapai 188 versi AirVisual. Kualitas udaranya tidak sehat untuk dihirup, berbahaya bagi kesehatan.

Pada 16 September 2021, majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan warga. Para pejabat divonis bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Negara dianggap lalai memenuhi hak rakyatnya untuk memeroleh lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana amanat Pasal 28H UUD 1945.

Pemerintah pusat dihukum supaya melakukan apa yang sudah sepatutnya mereka kerjakan. Antara lain mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional dan melakukan supervisi terhadap pemerintah provinsi dalam menginventarisasi emisi lintas batas.

Di sisi yang sama, pemerintah provinsi dihukum menguji emisi kendaraan, merekapitulasi sumber pencemar tidak bergerak dan menjatuhkan sanksi terhadap usaha atau kegiatan yang tidak memenuhi baku mutu emisi. Dari sinilah aroma kemunafikan merebak.

Jika pemerintah provinsi legawa dinyatakan bersalah, pemerintah pusat bersikap sebaliknya. Presiden Joko Widodo cs langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, tapi lagi-lagi kalah.

Memasuki Agustus 2023, ribut-ribut soal polusi mencuat lagi. Baru-baru ini, Jakarta kembali menyandang gelar kota paling berpolusi. Indeks kualitas udaranya terburuk kedua di dunia dengan rata-rata di atas 150 atau tidak sehat.

Kembalinya kepungan polusi dibarengi dengan keputusan Mahkamah Agung menunjuk tiga hakimnya untuk menangani kasasi pemerintah atas gugatan warga. Ketiga pengadil itu adalah Takdir Rahmadi, Panji Widagdo dan Lukas Prakoso.

Mereka akan mengadili istana yang menolak dinyatakan bersalah lantaran abai menjamin hak rakyat untuk menghirup udara sehat tanpa polusi, masalah lingkungan yang tak sekadar mengancam kesehatan tapi juga perekonomian.

Menurut data Kementerian Kesehatan, biaya penanganan penyakit respirasi di Indonesia meningkat signifikan kurun 2018-2022. Dari empat faktor utama penyebab sakit paru, polusi udara berperan 15-30%.

Beban biaya pengobatan pun melambung. Penyakit paru obstruktif kronis mencapai Rp1,8 triliun, pneumonia Rp8,7 triliun, tuberkulosis Rp5,2 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar.

Selain kerugian materil, polusi juga mengancam keselamatan. Menurut penelitian Ginanjar Syuhada berjudul Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta, Indonesia (2023), polusi udara telah merenggut setidaknya 10.000 nyawa orang Jakarta per tahun.

Polusi juga mengakibatkan setidaknya 5.000 orang mengidap penyakit kardiovaskular, lebih 7.000 anak mengalami masalah kesehatan seperti stunting dan 9.700 bayi meninggal prematur.

Peneliti memperkirakan dampak kerugian biaya akibat polusi mencapai USD2,9 miliar. Nilainya setara 2,2% dari produk domestik regional bruto DKI Jakarta pada 2019 lalu.

Solusi yang Sama

Sehari setelah digugat pada 4 Juli 2019 silam, Kementerian Kesehatan angkat bicara. Menurut Nila Moeloek, menteri saat itu, penyebab polusi udara bukan hanya emisi alat transportasi dan operasional industri. Namun juga sampah.

Saat polusi semakin mengkhawatirkan, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan, menerbitkan Instruksi Nomor 66 Tahun 2019. Isinya memerintahkan jajaran agar mengendalikan kualitas udara Ibu Kota dengan setidaknya tujuh cara.

Yakni meremajakan angkutan publik, memperluas sistem pelat kendaraan ganjil-genap sekaligus meningkatkan tarif parkir, memperketat ketentuan uji emisi, mengoptimalkan moda transportasi umum, menginspeksi cerobong industri aktif, menghijaukan sarana dan prasarana publik, serta merintis peralihan energi.

"Pemprov DKI Jakarta tidak banding dan siap menjalankan putusan pengadilan demi kualitas udara Jakarta yang lebih baik,” ujar Anies dikutip dari situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Kamis (16/9/2021).

Di tengah penolakan pemerintah pusat atas hasil gugatan warga, Presiden Joko Widodo merespons polusi udara kala itu dengan menawarkan solusi berupa peralihan alat transportasi ke kendaraan listrik. Selain itu, uji emisi hingga inspeksi cerobong asap industri. Opsi lainnya adalah rekayasa cuaca atau weather modification technology.

Cara-cara itulah yang dipakai lagi saat polusi kembali menyesaki langit Jakarta akhir-akhir ini. Bedanya, kali ini upaya penanganan polusi dibagi menjadi jangka pendek, menengah dan panjang.

Untuk jangka pendek, presiden menginstruksikan jajarannya agar melakukan rekayasa cuaca dan menerapkan regulasi batas emisi. Selain itu, pemerintah pusat juga akan memperbanyak ruang terbuka hijau serta mendorong perkantoran menerapkan sistem kerja hybrid ataupun work from home.

Sebagai upaya jangka menengah, pemerintah bertekad konsisten mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil dan mengoptimalkan moda transportasi massal. Sedangkan untuk jangka panjang, mereka akan memperkuat mitigasi perubahan iklim serta mengawasi sektor industri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Selain penanganannya, hasil identifikasi penyebab polusi kali juga serupa dengan beberapa tahun lalu. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, sumber pencemaran udara di Jakarta berasal dari kendaraan bermotor, pembangkit listrik tenaga uap, rumah tangga, pembakaran dan lain-lain.

“Ini tentu pada konteks Kementerian LHK terkait penegakan hukum terhadap sumber-sumber pencemaran, terutama dari industri, pembangkit listrik dan juga uji emisi kendaraan harus ketat,” ujar Siti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet, Senin (28/8/2023).

Belajar dari Negara Lain

Faktanya, Jakarta tidak sendiri. Banyak tempat di dunia mengalami masalah serupa. United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat ada lima kota yang mengambil langkah konkret memerangi polusi udara pada 2022 lalu. Kelimanya adalah Bogota, Warsaw, Seoul, Accra dan Bangkok.

Berdasarkan studi UNEP kesuksesannya terletak pada keseriusan pemerintah mencari tahu sumber polusi dengan memasang alat pendeteksi udara, didukung dengan kebijakan yang mendorong masyarakat menggunakan transportasi ramah lingkungan seperti sepeda dan kendaraan listrik.

Namun, jauh sebelum mereka, Beijing sudah lebih dulu dijadikan contoh kota yang ideal untuk menangani masalah polusi. Kerja keras mereka selama puluhan tahun berbuah manis. Kini, kualitas udara Beijing meningkat signifikan.

Dalam laporan berjudul A review of 20 Years’ Air Pollution Control in Beijing, UNEP memuji perkembangan pesat kualitas udara di ibu kota Tiongkok. Dulu, emisi pembakaran batu bara dan asap kendaraan bermotor mendominasi polusi di Beijing. Tingkatnya melampaui ambang batas nasional.

Sejak 1998, Beijing mulai menerapkan serangkaian program yang fokus pada optimalisasi infrastruktur energi, pengendalian polusi berbahan bakar batu bara, dan pengendalian emisi kendaraan. Hasilnya mulai kelihatan pada 2013. Tingkat polutan turun drastis dan memenuhi standar.

Tak berhenti di situ, Beijing lanjut mengadopsi langkah-langkah yang lebih sistematis dan intensif untuk mengendalikan polusi udara. Hasilnya, angka PM2.5 turun sekitar 25%-35% pada akhir 2017.

Selama periode ini, emisi tahunan sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikel (PM10) dan senyawa organik lain yang mudah menguap turun masing-masing 83%, 43%, 55% dan 42%.

Bak pepatah, "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China." Jakarta patut bercermin dari Beijing yang menerapkan kebijakan yang lebih terintegrasi dan ketat.

Berdasarkan studi, pemerintah Beijing secara berkelanjutan mengembangkan teknologi radar dan satelit untuk mengontrol kualitas udara agar dapat mendeteksi area industri atau perumahan mana yang memiliki tingkat emisi di atas ambang batas.

Pada area perumahan dan industri tersebut kemudian dilakukan renovasi pabrik dan perumahan, penetapan batas emisi seperti pengurangan penggunaan pemanas ruangan (boiler) berbahan batu bara.

Sementara itu transformasi sektor transportasi juga dilakukan dengan membatasi kuota penjualan mobil berpenumpang, menyingkirkan moda transportasi yang tidak memenuhi uji emisi, memberikan subsidi pada masyarakat yang kendaraannya tidak lolos uji emisi dan ingin beralih ke moda yang lebih ramah lingkungan.

Jerih payah itu untuk mendapatkan udara bersih harus dibayar mahal oleh Tiongkok. Anggaran yang tadinya hanya sebesar USD434 juta di 2013 membengkak menjadi USD2,6 miliar di 2017 atau setara Rp39,3 triliun (asumsi Rp15.100/USD).

Infografik Polusi dan Solusi yang Itu-Itu Saja

Infografik Polusi & Solusi yang Itu-Itu Saja. tirto.id/Ecun

Lebih lanjut, studi Climate and Clean Air Coalition (CCAC) berjudul Air Pollution in Asia and the Pacific: Science-Based Solutions (2019), negara-negara di Asia Pasifik merupakan kawasan dengan tingkat polusi udara tertinggi yang pernah tercatat di dunia.

Dengan memanfaatkan model ilmiah terkemuka, laporan CCAC menguraikan 25 langkah alternatif yang mampu memulihkan kualitas udara bagi satu miliar orang pada 2030 mendatang.

Langkah-langkah tersebut mencakup berbagai sektor, termasuk metode pengontrolan dan pembatasan emisi industri, pelarangan pembakaran sampah (baik rumah tangga atau pertanian) di lahan terbuka.

Lalu ada kebijakan yang mewajibkan pemeriksaan berkala atas kendaraan, menekan debu konstruksi, serta mendorong penggunaan transportasi publik dan kendaraan listrik.

Merujuk pada penelusuran di atas, penting untuk mengembangkan teknologi yang dapat mendeteksi sumber polusi udara dan jenis emisinya, sehingga dapat langsung menerapkan kebijakan di area tersebut.

Informasi yang didapat juga harus didistribusikan secara terbuka ke masyarakat agar timbul kesadaran dan tekanan yang lebih pada pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Tidak seperti di Indonesia yang kurang giat mengatasi isu ini, dan tidak terbuka dalam menjabarkan area sumber polusi.

Kebijakan pembatasan moda transportasi juga baru terlihat efektif belum lama ini ketika pemerintah melonggarkan pemberian subsidi kendaraan listrik dan tegas menerapkan uji emisi kendaraan.

Selain itu upaya yang dilakukan juga harus berkelanjutan. Terlihat bahwa butuh setidaknya 5 tahun bagi Tiongkok untuk melihat hasilnya.

Mari berharap bahwa semangat pemerintah dalam mengurangi polusi udara tidak sesaat dan hanya bereaksi saat masyarakat sudah berkoar meminta hak udara bersih.

Baca juga artikel terkait POLUSI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Mild report
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas