tirto.id - Situs pemantau kualitas udara IQAir menyebut Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Lantas, bagaimana data polusi udara di Indonesia selama kurun 2015-2023 serta apa saja faktor penyebab dan dampaknya?
Data IQAir mencatat, Jakarta ada di posisi pertama kota berkualitas udara terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara (AQI) sebesar 170. Angka tersebut masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara sebesar PM2,5. Data ini berdasarkan pantauan IQAir pada Minggu 13 Agustus 2023 lalu.
Setelah Jakarta, ada Dubai (Uni Emirat Arab) dan Johannesburg (Afrika Selatan) di posisi kedua dan ketiga sebagai kota dengan kualitas udara terburuk versi IQAir.
Sebelumnya, Jakarta secara rutin menduduki peringkat atas di daftar kota dengan polusi udara tertinggi versi IQAir. Beberapa wilayah di Jakarta seperti Cilandak Timur dan Kebayoran Lama memiliki indeks kualitas udara sebesar 206.
Adapun indeks kualitas udara di atas 201 menunjukkan bahwa kategori udara sangat tidak sehat. Menyusul kabar ini, sejumlah warganet pun mengunggah kondisi terkini dari langit Jakarta dan memantik diskusi dari warganet lain.
Kabar ini juga diamini oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto. Ia mengatakan bahwa kondisi tersebut disebabkan lantaran musim kemarau.
“Memang Juli hingga September itu musim kemarau sedang mencapai tinggi-tingginya sehingga memang berakibat pada kondisi udara kualitas udara yang kurang baik,” jelas Asep Kuswanto dalam konferensi pers di Gedung Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Jakarta Timur, Jumat tanggal 11 Agustus 2023.
Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta menyebut menggunakan 3 strategi untuk merespons masalah polusi udara di ibu kota ini. Strategi tersebut meliputi pengendalian melalui regulasi, pengurangan emisi polusi udara, dan pemantauan berkala melalui aplikasi berstandar nasional.
Solusi tersebut banyak mendorong warga untuk mengubah gaya hidup, di antaranya meminta warga untuk beralih menggunakan kendaraan listrik dibanding kendaraan berbahan bakar minyak (BBM).
Selanjutnya, warga juga diminta untuk beralih ke transportasi publik, melakukan uji emisi kendaraan hingga dilarang membakar sampah di ruang terbuka.
Kendati begitu, Bondan Andriyanu selaku Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia menilai bahwa solusi tersebut justru membuktikan sikap pemerintah yang keras terhadap warga, namun lembek pada industri.
“Jangan rakyat jelata yang ditekan, tapi industri dibiarkan,” tukasnya.
Data Polusi Udara di Indonesia 2015-2023 dan Penyebabnya
Jakarta secara rutin menduduki peringkat atas kota dengan tingkat polusi udara tinggi kelas dunia. Hal ini bukan terjadi tanpa alasan, terdapat sejumlah penyebab yang mengundang pencemaran udara terjadi.
Data IQAir pada Oktober 2015 menyebutkan pencemaran udara di Indonesia dipicu hampir 5.000 kasus kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi serentak. Dalam satu hari saja, sekitar 80 juta metrik ton karbon dioksida (CO2) diproduksi.
Selain kebakaran hutan, porsi polusi yang tersisa dihasilkan dari sektor transportasi dan produksi energi. Untuk wilayah Jakarta polusi udara banyak disebabkan dari emisi pembangkit listrik tenaga batu bara yang meningkat pesat.
Kondisi ini diperburuk oleh emisi transportasi, emisi rumah tangga, industri konstruksi, debu jalan dan pembakaran hutan dan lahan pertanian yang tidak terkendali. Semua ini terjadi setiap hari dan memengaruhi kehidupan 25 juta penduduknya.
Pada 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-6 negara paling berpolusi dari 98 negara di seluruh dunia. Di Tangerang Selatan, selama 10 bulan dalam setahun, kualitas udara tergolong “Tidak Sehat”, dan 2 bulan sisanya masuk dalam kategori “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif”.
Adapun, angka “Tidak Sehat” adalah antara 55,5 dan 150,4 µg/m³, sementara “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif” adalah antara 35,5 dan 55,4 µg/m³.
Di Kota Pekanbaru, angka “Sangat tidak sehat” tercatat pada bulan September tahun tersebut dengan konsentrasi 214,9 µg/m³.
Menurut IQAir, kualitas udara di Indonesia kian memburuk secara bertahap seiring berjalannya waktu. Pada 2017, tercatat angka PM2.5 sebesar 29,7 µg/m³ atau menunjukkan kualitas udara “Sedang".
Pada 2018, angka ini meningkat menjadi 45,3 µg/m³ atau berarti “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif”. Peningkatan masih terjadi hingga tahun 2019 ketika konsentrasi diukur rata-rata 49,4 µg/m³.
Berdasarkan data yang diukur di stasiun cuaca di Jakarta Pusat selama 6 bulan pertama tahun 2019, terdapat sedikit peningkatan kualitas udara yang terukur.
Tingkat untuk tahun 2020 adalah 24,33 µg/m³ dibandingkan dengan periode waktu yang sama untuk tahun 2019 ketika diukur 28,57 µg/m³.
Angka-angka ini tercatat di ibu kota Jakarta, namun mencerminkan tren umum di sebagian besar wilayah Indonesia.
Sebaliknya, udara terbersih terdapat di Denpasar, Bali, dengan pembacaan AQI AS sebesar 66 dan konsentrasi PM2.5 sebesar 19,4 µg/m³, maka masuk dalam kategori “Sedang” (12,1-35,4 µg/m³).
Dampak Kualitas Udara yang Buruk di Indonesia
Polusi udara dan kualitas udara yang buruk yang berlarut ini turut memberikan sejumlah dampak pada masyarakat.
Berdasarkan data IQAir, dari 44 kecamatan di Jakarta, 16 di antaranya melaporkan adanya “infeksi saluran pernapasan atas” sebagai penyakit yang paling lazim terjadi.
Penyakit tersebut menjangkit hingga 75.000 pasien menyusul musim kebakaran yang terjadi pada 2015 lalu. Hampir 2.000 bayi tercatat memiliki berat lahir rendah dan lebih dari 7.000 warga Jakarta meninggal sebelum waktunya karena terus-menerus terpapar polusi udara.
Lebih lanjut, polusi udara secara umum banyak memberikan dampak negatif bagi kesehatan, antara lain sebagai berikut:
- Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
- Iritasi Mata, Hidung, Dan Tenggorokan
- Asma
- Gangguan Pertumbuhan Paru-Paru
- Penyakit Kardiovaskular atau Penyakit Jantung
- Gangguan Sistem Reproduksi
- Kanker Paru-Paru
- Stunting
- Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
- Kelahiran Prematur
- Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
- Tuberkulosis
- Hipertensi.
Penulis: Aisyah Yuri Oktavania
Editor: Iswara N Raditya