Menuju konten utama

WFH Menyadarkan Para Pekerja Betapa Mahalnya Silicon Valley

Harga-harga di Silicon Valley sangat gila. WFH membuat pusat bisnis teknologi itu dipertanyakan keberadaannya.

WFH Menyadarkan Para Pekerja Betapa Mahalnya Silicon Valley
Penanda di Facebook World Menlo Park, Silicon Valey, California, AS (5/15/2014). Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - “Saya tak punya ikatan dengan kota ini,” tutur salah seorang karyawan Google pada The Verge, Juni 2020 lalu. Kota yang ia maksud adalah San Francisco, yang berada di negara bagian California, Amerika Serikat. Tentu, ungkapan seorang Googlers--sebutan karyawan Google--ini cukup menggelikan. Bagaimana tidak, tempatnya bekerja, Google, berdiri kokoh di kota yang ia anggap tidak berhubungan dengannya. Google, semenjak didirikan, menjadi penguasa di wilayah bernama Mountain View.

Si karyawan Google ini punya alasan atas ketidaksukaannya dengan San Francisco. Menurutnya, San Francisco adalah kota yang keterlaluan mahalnya, bahkan bagi para pekerja Google yang menurut publikasi Recode rata-rata memperoleh upah senilai USD 197.274 per tahun, alias hampir Rp3 miliar. Karena berstatus sebagai kota yang mahal, menurut karyawan Google ini, San Francisco punya “masalah tunawisma”. Maka, pikirnya San Francisco adalah “rumah singgah” hingga tiba saatnya untuk pergi. San Francisco, tegasnya, “benar-benar sangat sementara”.

San Francisco adalah salah satu wilayah yang terhubung dengan kawasan lain di selatan Teluk San Francisco. Wilayah tersebut merupakan rumah bagi perusahaan-perusahaan papan atas bidang teknologi. Selain Google, nama besar seperti Intel, Apple, Amazon, HP, hingga Facebook bermarkas di sini. Karena perusahaan-perusahaan teknologi ini berhubungan dengan silikon, elemen kimiawi yang diciptakan dari pasir dan lazim digunakan sebagai bahan baku utama prosesor, maka markas besar perusahaan-perusahaan teknologi dunia ini disebut Silicon Valley.

Adam Fisher, dalam bukunya berjudul Valley of Genius: The Uncensored History of Silicon Valley (2018) menyebut bahwa ramainya San Francisco sebetulnya bermula bukan karena perusahaan teknologi, melainkan setelah ditemukannya tambang emas. Sebelum dekade 1870-an, banyak orang memutuskan hijrah ke San Francisco untuk mencari emas. Gara-gara emas, wilayah yang tadinya berpenduduk hanya 1.200 jiwa, melonjak menjadi 300 ribu orang.

San Francisco, atau dalam tataran lebih luas yakni California, merupakan bekas wilayah jajahan Spanyol yang sah menjadi milik Meksiko ketika Spanyol pergi. Namun, ketika James K. Polk menjadi presiden ke-11 AS dan bergabungnya Republik Texas menjadi bagian AS, Polk mencuri California dari Meksiko. Di tangan AS, California sebagai negara bagian memiliki cukup banyak independensi, salah satunya memberlakukan undang-undang yang melarang perusahaan atau pemberi kerja menghukum mantan pekerjanya karena minggat ke perusahaan pesaing. Melalui aturan main bisnis ini, California, terlebih San Francisco, kemudian berkembang menjadi tempat yang sangat menarik untuk mendirikan bisnis. “Ada semangat para pencari emas di sini,” ujar Fisher.

Suatu ketika, masih merujuk Fisher, Steve Wozniak, salah satu pendiri Apple, mengatakan Silicon Valley sebagai tempat bermukimnya “kreativitas tertinggi (manusia)”. Sahabat Wozniak, Steve Jobs, menyatakan bahwa Silicon Valley akan sangat berarti bagi "sejarah umat manusia”.

Masalahnya, Silicon Valley perlahan menjadi tempat yang mahal untuk ditinggali. Belakangan, COVID-19 menerjang Silicon Valley.

Ketika WFH Membuat Pekerja Teknologi Berpikir Ulang untuk Tinggal di Silicon Valley

Pada 31 Desember 2019, tatkala orang-orang bersiap melakukan pesta perayaan pergantian tahun, pemerintah Cina mengumumkan pada khalayak internasional tentang kemunculan virus baru, SARS-CoV-2 alias COVID-19. Karena virus ini belum memiliki penawar, tak sampai genap sebulan, tepatnya pada 23 Januari 2020, pemerintah Cina mengisolasi groundzero COVID-19, Wuhan.

Karena Cina adalah salah satu negara yang memiliki mobilitas tinggi, virus ini menyebar dan perlahan pula kota-kota di seluruh dunia diisolasi, di-lockdown. Pergerakan manusia pun dibatasi, termasuk untuk bekerja di kantor. Tatkala Corona menerjang, perusahaan-perusahaan mengalihkan lokasi bekerja para karyawannya dari kantor ke rumah masing-masing. Kebijakan ini pun berlaku pada para perusahaan teknologi. Vox melaporkan, pendiri Facebook Mark Zuckerberg menyatakan bahwa kebijakan bekerja dari rumah, alias Work From Home (WFH), akan dilakukan para karyawan Facebook hingga Juli 2020, dan untuk mendukung anak buahnya bekerja dari rumah Zuckerberg berjanji memberikan uang tambahan senilai $10.000 untuk digunakan para pekerjanya membeli perlengkapan kerja, misalnya paket data, laptop, atau meja-kursi.

Awalnya, kebijakan WFH yang dilakukan Facebook akan berakhir pada awal 2021 mendatang. Namun, karena menurut Zuckerberg “tidak ada tanda-tanda Corona segera berakhir”, ia memutuskan memperpanjang WFH.

Kebijakan Zuckerberg diikuti Sundar Pichai. Pichai, bos Google, memberlakukan aturan bahwa kerja dari rumah yang dilakukan karyawannya akan berakhir pada 1 Juni 2021 mendatang. Sementara itu, aturan WFH yang dilakukan Twitter lebih jauh. Perusahaan yang kini dipimpin Jack Dorsey ini memperbolehkan para karyawan Twitter untuk bekerja dari rumah selamanya, bahkan ketika pandemi Corona berakhir. Ketika Corona usai, Twitter hanya menghendaki hanya karyawan yang benar-benar butuh bekerja dari kantor yang diizinkan datang ke kantor.

Akibat kebijakan WFH yang diberlakukan para perusahaan Silicon Valley, para pekerja mereka kemudian berpikir bahwa kini tidak ada alasan untuk tinggal di Silicon Valley.

Infografik Silicon Valley

Infografik Silicon Valley

Dalam jajak pendapat internal yang dilakukan Facebook, Rex Crum melaporkan setengah total pekerja Facebook percaya produktivitas mereka saat bekerja di rumah sama baiknya dengan di kantor. Sebanyak 75 persen punggawa Facebook bahkan mengaku menginginkan bekerja jauh dari Silicon Valley, jika perusahaan benar-benar mengizinkan bekerja di luar kantor. Dalam laporan The Verge, keinginan ini pun mengemuka di tubuh Google. Beberapa pekerja Google bahkan langsung pergi meninggalkan San Francisco tatkala WFH diberlakukan karena pandemi Corona tanpa memberitahu bos mereka.

“Saya cinta pekerjaan saya,” sebut salah seorang karyawan Google. “Namun, saya benar-benar membenci San Francisco.”

Seorang pekerja teknologi di Silicon Valley lainnya mengaku harus membayar uang senilai USD2.650 per bulan untuk kos-kosan yang berjarak hanya selemparan batu dari markas Facebook di Menlo Park, San Francisco. Karena Facebook menerapkan WFH hingga pertengahan tahun depan, tak masuk akal baginya untuk membayar uang sewa yang sangat mahal di Bay Area”. Buat si pekerja, ia dapat menghemat pengeluaran jika bekerja dari jarak jauh.

Sayangnya, Facebook (dan kemungkinan serombongan perusahaan teknologi lainnya) mengancam. Jika para pekerja kabur dari Silicon Valley, Facebook akan melakukan penyesuaian gaji sesuai dengan beban biaya hidup di kota-kota pilihan para pekerjanya. Maka, gaji sebesar USD240.430 per tahun (rata-rata gaji pegawai Facebook), atau sekitar Rp3,6 miliar, akan menyusut, menyesuaikan kota yang dipilih karyawannya.

Jauh sebelum Corona melanda, kewajiban tinggal di Silicon Valley telah dipertanyakan bukan hanya oleh pekerja, tetapi juga oleh perusahaan yang mendiaminya. Ada kecenderungan perusahaan ramai-ramai meninggalkan "kawah suci" bisnis teknologi ini. Setidaknya ada terdapat tiga faktor yang melatarbelakangi mengapa startup memilih hengkang dari Silicon Valley. Pertama, kondisi bisnis di Silicon Valley kini tak semenarik dulu. Kenyataan bahwa di zaman internet ini semua bisa dilakukan di mana saja membuat Silicon Valley tidak lagi istimewa. Selain itu, berdasarkan laporan CNBC, telah terjadi penurunan jumlah pendanaan secara global yang diberikan pemodal ventura hingga 23 persen pada 2016 di seluruh dunia. Persentase penurunan ini malah lebih tinggi di Silicon Valley, yakni hingga 28 persen.

Faktor kedua, yakni tingkat stres yang tinggi menjangkiti para pekerja di Silicon Valley. Salvador Dauvergen, salah satu pemilik startup asal California mengungkapkan perbedaan situasi kerja antara seseorang yang bekerja di Silicon Valley dan Bali, Indonesia, tempatnya kini bekerja. “Saya memiliki waktu kerja yang sama, tapi tingkat stres (bekerja di Bali) lebih rendah daripada di rumah saya (di California),” ungkap Dauvergen.

“Mengadakan rapat dari Oakland ke jalanan di San Fransisco (terasa) sangat (membuat) stres [...] segala sesuatu di sana (Silicon Valley) sangat kompleks dan di sini hidup sangat mudah,” ucapnya.

Terakhir, seperti disinggung di atas, faktor yang menjadi latar belakang mengapa Silicon Valley tak menarik lagi ialah karena harga properti di sana telah melejit hingga mencekik para pekerja di Silicon Valley. Mengutip Vanity Fair, rata-rata harga sewa apartemen dengan dua kamar tidur di Silicon Valley dipatok USD4.200 per bulan. Rata-rata itu jauh lebih tinggi daripada lokasi mana pun di AS.

Baca juga artikel terkait SILICON VALEY atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf