tirto.id - “Gue ibarat hamster yang berlari di roda mainannya. Rutinitas itu-itu saja dengan jadwal meeting yang bikin lebih capek,” Stanley, pekerja di creative agency di Jakarta Selatan.
“Rasanya naik darah meeting nggak kelar-kelar, ngalor ngidul. Padahal ada kerjaan rumah yang mesti digarap juga,” Rima, seorang pekerja di media online.
“Saya butuh waktu hampir satu tahun untuk benar-benar menguasai Zoom Video. Jaringan Wifi juga mengganggu kalau tidak stabil,” kata DA, pekerja di ventura kapital.
Keluhan itu muncul ketika saya bertanya kepada mereka soal aktivitas rapat online selama masa kerja dari rumah. Bagi mereka, rapat online bukan perkara sederhana. Dan melakukan aksi screenshot layar aplikasi untuk dipamerkan ke media sosial atau mengganti latar video dengan beragam pemandangan menarik bukanlah solusi yang diharapkan.
“Aku tipe orang introvert yang sebenarnya nggak nyaman dengan video call. Biasanya aku menyampaikan ide sebelum rapat dan menjadi penyimak rapat tanpa menyalakan video,” tutur Rima lewat pesan WhatsApp kepada saya. Tantangan rapat online yang dia alami masih ditambah dengan perkara waktu rapat yang menurutnya terlalu bertele-tele dan banyak bercanda.
Menurut Rima, yang mesti diingat adalah tidak semua orang memiliki koneksi internet cepat dan stabil. Oleh karena itu, agenda harus dirancang dan dipatuhi dengan baik. Sebagian kawannya bahkan ada yang memilih izin rapat agar bisa memanfaatkan lebih banyak waktu--dan data--untuk bekerja.
“Saya dan tim menerapkan aturan main, di antaranya menyalakan video, memakai avatar diri untuk profilepicture, mematikan mic saat ada orang yang bicara, tetap berpakaian rapi, dan batasi rapat tidak lebih dari satu jam,” kata DA.
“Tenaga rasanya lebih terkuras karena sering kali harus mengulang perkataan akibat koneksi yang nggak selalu bagus,” kata Stanlwey ketika bicara soal tantangan terbesar online meeting versinya.
Pada kenyataannya, rapat daring cukup berjarak dari kata praktis.
Pada 16 Maret 2020, Washington Post melaporkan contoh kasus di AS mengenai perusahaan rintisan yang seluruh karyawannya belum familiar dengan aplikasi konferensi video. Mereka kemudian sepakat untuk menggunakan aplikasi yang sudah ada di ponsel--Face Time pada Iphone--guna memudahkan komunikasi.
Ironisnya, hal tersebut tidak bisa berjalan maksimal karena koneksi internet di AS ternyata juga tidak selalu bagus. Alhasil, orang-orang di perusahaan tersebut mesti mencoba berbagai aplikasi yang kira-kira bisa digunakan oleh semua peserta rapat dengan mudah.
Prinsipnya, bila ada satu orang yang kesulitan dalam mengoperasikan aplikasi, maka mereka harus menemukan aplikasi lain yang termudah.
Masih dari laporan Washington Post, para pengguna aplikasi konferensi video biasanya juga memanfaatkan aplikasi pendukung lain. Misalnya aplikasi audio yang membuat kualitas suara lebih baik. Selain itu, cara bicara dalam rapat atau diskusi juga jadi tantangan tersendiri. Tak semua orang langsung mengerti “etika” rapat daring seperti mematikan mic bila tidak sedang bicara dan menunjuk tangan dulu untuk sebaliknya.
Washington Post juga melaporkan sebuah pertemuan diskusi buku di mana para peserta pertemuan merasa kebingungan soal giliran berbicara. Alih-alih menemukan solusi saat pertemuan, mereka memilih keluar dan berganti platform komunikasi ke grup telepon.
Awalnya untuk Perusahaan Besar
Inovasi teknologi konferensi video ini terjadi awal dekade 1980an. Salah satu penggeraknya adalah perusahaan teknologi informasi asal AS, Picture Tel Corp. Pada 1984, mereka melansir sistem konferensi video pada komputer dengan target korporasi besar. Penjualan perangkat lunak konferensi video tersebut tidak langsung diterima pasar. Picture Tel Corp baru mulai mendapat untung tiga tahun setelah perusahaan tersebut didirikan.
Pada dekade 1990an, sejumlah perusahaan teknologi informasi di AS juga mulai mengembangkan sistem konferensi video. Muncul berbagai perangkat lunak sejenis, mulai dari yang termurah sampai yang termahal. Perangkat lunak tersebut lantas diperdagangkan dalam berbagai festival teknologi berskala internasional. Di sana juga jadi ajang ujicoba konferensi video.
Lalu pada 1999, terjadi inovasi melakukan konferensi video via ponsel. Pada periode 2000an awal, inovasi ini semakin populer seiring dengan berkembangnya teknologi telepon genggam dan juga aplikasi konferensi video seperti Sype atau iChat.
Pada 2012, Journal of Business and Technical Communication menerbitkan studi berjudul “Videoconferencing as a Mode of Communication: A Comparative Study of the Use of Videoconferencing and Face-to-Face Meetings”. Riset tersebut dilakukan dengan menggelar survei kepada 1411 pebisnis dan pekerja asal Norwegia berusia 20-50 tahun ke atas yang kerap melakukan dinas luar negeri.
Hasil studi menunjukkan, pekerja yang bekerja di industri minyak dan gas lebih familiar dengan fitur konferensi video ketimbang mereka yang bekerja pada sektor administrasi publik, perbankan, asuransi, manufaktur, dan sektor privat lain. Mereka menggunakan konferensi video untuk berdiskusi soal proyek yang sedang dikerjakan, pertukaran berbagai informasi di lingkungan kerja, serta rapat dengan atasan.
Dalam studi tersebut, salah satu keuntungan rapat virtual adalah menghemat biaya perjalanan dinas. Tetapi sesungguhnya rapat virtual bukan pengganti rapat langsung tatap muka. Menurut studi ini, ada hal-hal yang tidak dimungkinkan oleh rapat virtual, seperti dibangunnya koneksi bisnis baru dan terjadinya pembicaraan informal yang bisa mendekatkan diri dengan partner kerja.
Beralih ke Zoom
Delapan tahun setelah penelitian tadi dilakukan, konferensi video tidak lagi dipakai oleh korporasi besar. Kini aplikasi yang paling berkembang justru yang paling mudah digunakan seperti Zoom.
Salah satu keunggulan Zoom adalah selain gratis (selama 40 menit), pengguna juga tidak perlu membuat akun atau terafiliasi dengan email tertentu. Selain itu, dapat digunakan meski koneksi bandwith internet si pengguna tidak terlalu tinggi.
Tiga hal tersebut membuat para pesaing Zoom seperti Google Meet, Skype, Skype for Business, Microsoft Teams, Amazon Chime, BlueJeans, Cisco’s WebEx, GoToMeetings, dan BigBlueButton belakangan ini terus berupaya meningkatkan layanan agar semakin mudah digunakan selama masa kerja dari rumah.
Namun, aplikasi yang paling mudah ini belum bisa menjamin keamanan pengguna. Di saat beberapa orang di belahan dunia sedang mempelajari cara penggunaan Zoom, sudah ada orang yang mengalami pengalaman buruk akibat menggunakan aplikasi ini.
Pada 3 April 2020, NPRmelaporkan kisah seorang calon doktor di AS yang dibajak akunnya saat sidang tugas akhir. Konferensi video dilakukan via Zoom dengan partisipan 40 orang yang terdiri dari keluarga dan teman-teman si mahasiswa. Saat sedang presentasi tiba-tiba ada orang yang menampilkan konten pornografi pada layar dan mengucap kalimat rasialis.
FBI menyatakan pihaknya telah menerima sejumlah aduan terkait kejahatan via Zoom. Sementara pihak Zoom berjanji akan memberi proteksi pada aplikasi mereka. Namun, hambatan tidak berhenti di sana.
Dalam kolom di Psychology Today, konsultan di Northern Illinois University, Suzanne Degges-White mengakui bahwa bekerja dari rumah adalah hal yang melelahkan. Bekerja di depan layar secara intens menurutnya menguras energi yang besar. Otak manusia juga dipaksa bekerja lebih keras dalam memproses informasi.
Ia juga menyatakan, bekerja dari rumah dan rutin melakukan konferensi video--baik untuk rapat atau mengobrol dengan kolega--membuat tubuh terutama bagian bokong ke bawah merasa tidak nyaman. Begitu pula dengan sensasi sakit kepala, sakit mata, dan badan kaku. Degges-White juga berpendapat bahwa hal tersebut turut memengaruhi suasana hati.
Suzanne menyarankan, seseorang mesti mengambil waktu jeda dari aktivitas di depan komputer untuk menjaga kewarasan. Adapun tips lainnya adalah: hindari mengagendakan rapat dalam jam yang berdekatan, manfaatkan jeda rapat dengan berjalan kaki singkat atau menghirup udara segar, simak rapat dari ponsel dan fokus mendengarkan serta mencatat poin penting, dan upayakan ruang kerja di rumah berbeda dengan ruang di mana anda biasa beraktivitas.
Editor: Eddward S Kennedy