tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi dengan modus pekerjaan fiktif pada 14 proyek infrastruktur di sejumlah daerah yang dikerjakan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Akibat kasus ini, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga sebesar Rp186 miliar.
Dalam perkara ini, komisi antirasuah menetapkan dua orang sebagai tersangka, antara lain Kepala Divisi II PT Waskita Karya periode 2011- 2013 Fathor Rachman, dan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya periode 2010-2014 Yuly Ariandi Siregar.
Ketua KPK Agus Rahardjo mendesak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pelaku usaha lainnya untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance untuk mencegah hal ini terjadi lagi.
Selain itu, Agus juga mendesak agar dilakukan pengawasan yang lebih ketat dalam proyek-proyek yang ditangani pemerintah, utamanya proyek yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik.
“KPK sangat menyesalkan terjadinya korupsi pada sektor infrastruktur,” kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (17/12/2018).
Apalagi, kata Agus, proyek besar yang dikerjakan oleh BUMN yang seharusnya lebih memiliki perspektif pelayanan ke masyarakat, seperti yang dikerjakan Wastika Karya.
Terkait ini, Corporate Secretary PT Waskita Karya Shastia Hadiarti mengatakan, perusahaannya telah menonaktifkan dua orang pejabat yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi lewat pekerjaan fiktif di 14 proyek infrastruktur yang ditangani perusahaan pelat merah itu.
“Untuk tetap menjalankan GCG [Good Corporate Governance] dan mempermudah proses hukum, pada saat ini yang bersangkutan telah di non-aktifkan dari jabatan masing masing serta tetap dipenuhi haknya sebagai pegawai,” kata Shastia kepada reporter Tirto, Selasa (18/12/2018).
Favorit untuk Dikorup
Agus memang pantas menyayangkan kasus korupsi yang melibatkan BUMN ini. Sebab korupsi yang melibatkan Waskita Karya itu menambah panjang daftar korupsi dalam pembangunan infrastruktur.
Sepanjang 2018, misalnya, KPK telah menersangkakan puluhan kepala daerah, yang di antaranya dijerat korupsi di bidang pembangunan fisik.
Salah satunya, Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan yang didakwa menerima suap sebesar Rp72,7 miliar dari sejumlah kontraktor. Uang itu merupakan fee atas proyek-proyek di Dinas PUPR Pemkab Lampung Selatan sejak 2016 hingga 2018.
KPK juga mentersangkakan seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri Dudy Jocom terkait kasus pembangunan kampus IPDN di sejumlah daerah.
Tak hanya itu, KPK pun menjerat korporasi PT Duta Graha Indonesia (kini bernama PT Nusa Konstruksi Enjiniring) karena memanipulasi 8 proyek pemerintah, salah satunya pembangunan RSP khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Udayana. Akibat perbuatan ini, negara dirugikan hingga Rp25,9 miliar.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengakui memang proyek infrastruktur jadi salah satu favorit untuk jadi bancakan. Modus yang digunakan entah di daerah dan pusat relatif sama, salah satunya mengurangi spesifikasi bahan dan bangunan.
“Kadang proyek fiktif, kadang belum selesai ditinggalkan, tapi duitnya sudah dikeluarkan, atau proyek-proyek yang enggak dibutuhkan masyarakat, misalnya membangun jembatan, tapi dibangun di tempat yang orang enggak pernah [orang] lewat," kata Adnan kepada reporter Tirto, Selasa (18/12/2018).
Adnan pun menyebut sejumlah alasan yang membuat proyek konstruksi rawan dikorup. Alasan pertama, karena anggaran yang dikucurkan untuk infrastruktur memang besar, bisa mencapai angka miliaran atau bahkan triliunan rupiah.
Selain itu, kata Adnan, proyek infrastruktur relatif lebih kompleks dibanding proyek pengadaan lainnya. Dalam artian, pembangunan infrastruktur kerap kali melibatkan banyak transaksi dan banyak pihak. Akibatnya, banyak celah yang terbuka untuk melakukan korupsi.
Perusahaan yang mampu mengerjakan proyek infrastruktur juga relatif sedikit sehingga kompetisi bersifat semi-monopoli. Adnan mengatakan, praktik semi-monopoli tersebut mendorong terjadinya praktik korup, seperti pemberian fee dan proyek fiktif.
“Memang kita tidak bisa sebut semuanya [proyek infrastruktur] dikorupsi, tapi kalau melihat dari kebiasaan, tradisi, dan karena memang kompetisinya terbatas nah itu kan potensi korupsinya jadi lebih besar," kata Adnan.
Atas maraknya korupsi infrastruktur itu, Adnan menyoroti fungsi pengawasan malah diserahkan ke Kejaksaan Agung melalui Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4).
Ia menjelaskan, lembaga pengawas mestinya memahami proses pelaksanaan proyek dari perencanaan hingga penyelesaian. Selain itu, pengawas memiliki kemampuan audit investigatif sehingga bisa mendeteksi terjadinya kejanggalan dalam pelaksanaan proyek.
“Kejaksaan itu, kan, penegak hukum, dia enggak punya keahlian konstruksi kemudian diminta presiden mengawasi proyek infrastruktur,” kata Adnan.
Pada Oktober 2015, Jaksa Agung H.M Prasetyo memang pernah mengeluarkan keputusan nomor: KEP-152/A/JA/10/2105 tentang Pembentukan TP4 Kejaksaan RI. Tujuan TP4 adalah mengawal dan mengamankan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan.
TP4 terdiri dari TP4 Pusat (TP4P) yang berkedudukan di Kejaksaan Agung, TP4 Daerah (TP4D) di Kejaksaan Tinggi dan TP4D di Kejaksaan Negeri.
Untuk itu, Adnan menyarankan agar tugas pengawasan pembangunan infrastruktur diserahkan ke lembaga yang lebih kompeten. Tak hanya itu, Adnan juga mendorong BPK mengaudit semua proyek infrastruktur yang dikerjakan, utamanya yang jadi prioritas pemerintah.
"Bayangin kalau proyek ini dilakukan serentak, tapi korupsinya di mana-mana. Apakah ini bisa menjamin keamanan pegunanya?" katanya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz