tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan pernyataan tentang polemik dan pro kontra penunjukan perwira aktif Polri menjadi pejabat gubernur di suatu provinsi masih bergulir.
Dia menyitir kenyataan tiga tahun lalu di Provinsi Sulawesi Barat, saat pemerintah menunjuk Inspektur Jenderal Polisi Carlo Tewu sebagai pejabat gubernur. Juga seorang mayor jenderal TNI untuk Aceh. Bedanya, sang mayor jenderal TNI ini sudah purnawirawan saat ditunjuk di Provinsi Aceh.
Kalla menyatakan, penunjukan itu terkait dengan kebijakan dan, "Ya itulah soal psikologis lokal, tapi secara umum boleh, tergantung kebijakan saja."
"Ya tentu tidak harus tapi juga boleh, karena tiga tahun lalu itu di Sulawesi Barat saya ingat benar, itu Polri pejabatnya dan itu tidak ada yang protes, dan jalan, jadi artinya tidak harus tapi boleh," kata Kalla, kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Alasan Wapres JK ini bercermin pada Pilkada 2017, saat itu Kemendagri menunjuk Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Pj Gubernur Sulbar. Persoalannya, ketika itu Carlo tak sedang menjabat sebagai anggota polisi aktif melainkan sedang ditugaskan sebagai Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Menko Polhukam.
Kalla yang pernah memimpin DPP Partai Golkar itu menyatakan, sesuai aturan maka untuk menjabat sebagai penjabat gubernur maka pejabat negara itu harus setara dengan eselon I. "Memang ada persamaan di TNI dan Polri, pangkat berapa ada memang rumusnya itu, jadi berarti, bintang dua sama dengan eselon satu," katanya.
Sebelum ini, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menginginkan ada pejabat gubernur dari polisi di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Mantan sekretaris jenderal DPP PDI Perjuangan ini mengungkap nama-namanya, yaitu Asisten Operasi Kepala Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Mochamad Iriawan (Jawa Barat), serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin (Sumatera Utara).
Tjahjo menyatakan hal ini sesuai pasal 201 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang menyatakan pengisian jabatan gubernur yang kosong dapat berasal dari jabatan pimpinan tinggi tingkat madya.
Di tingkat peraturan lebih bawah, dia menyitir pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/2018 yang menyatakan pejabat sementara gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkungan pemerintah pusat/provinsi.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Arief M Edie berkata, mengatakan salah satu dasar pengusulan nama Pj atau Pjs kepala daerah adalah faktor keamanan. Menurut dia, Pj atau Pjs dari unsur TNI/Polri bisa lebih mudah melakukan koordinasi pengamanan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
Anggapan Pj atau Pjs dari kalangan TNI/Polri lebih unggul dalam menjaga keamanan daerah penyelenggara Pilkada mendapat komentar negatif dari Direktur Imparsial, Al Araf. Menurut dia, penjagaan keamanan suatu wilayah menjadi tanggung jawab utama aparat keamanan di daerah, alih-alih gubernur atau Pj dan Pjs.
“Yang terdepan mengendalikan keamanan, kan, harusnya polisi, di daerah kapolda sehingga mereka yang lebih bertanggungjawab ketimbang gubernur," kata Al Araf kepada Tirto.
Al Araf mencontohkan, pada Pilkada DKI Jakarta 2017 kondisi keamanan ibu kota sempat dikhawatirkan. Namun, kala itu Kemendagri menunjuk Plt dari kalangan sipil, yaitu Sumarsono yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri.
Di Jawa Barat, seorang perwira tinggi polisi turut dalam kontestasi Pilkada Jawa Barat 2018, yaitu Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan (calon wakil gubernur) yang berpasangan dengan Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Tb Hasanuddin.
Mereka diusung PDI Perjuangan, partai politik yang sama dengan latar Tjahjo sebelum menjadi menteri dalam negeri.
Di Sumatera Utara, hanya seorang pensiunan perwira tinggi TNI AD saja yang berlaga. Dia adalah bekas Panglima Kostrad, yang telah mengajukan pensiun dini dan telah meletakkan jabatannya, Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Edy Rahmayadi yang berpasangan dengan Musa Rajekshah. Mereka didukung Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Partai NasDem.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri