Menuju konten utama

Jokowi Didesak Menolak Perwira Aktif Menjadi Pj Gubernur

Menurut Isnur, kebijakan mengangkat Pj Gubernur dari perwira tinggi aktif menggunakan nalar ala Orde Baru.

Jokowi Didesak Menolak Perwira Aktif Menjadi Pj Gubernur
Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meninggalkan ruangan seusai memberikan pembekalan pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Selasa (23/1/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Polemik penunjukan dua perwira tinggi Polri sebagai Penjabat (Pj) Gubernur di dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan Sumatera Utara oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo terus berlanjut. Presiden Joko Widodo diminta turun tangan menolak usulan yang dinilai berpotensi melanggar undang-undang dan konsep Nawacita Jokowi.

“Jokowi harusnya menolak usul Mendagri,” kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur saat dihubungi Tirto, Minggu (28/1/2018).

Kemendagri memang mengusulkan Asisten Operasi Kapolri, Irjen Pol M. Iriawan dan Kepala Divisi Propam Polri, Irjen Pol Martuani Sormin sebagai Pj Gubernur. Iriawan diusulkan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat, mengisi posisi yang ditinggalkan Ahmad Heryawan mulai 13 Juni 2018. Sementara, Martuani disiapkan mengisi posisi Pj Gubernur Sumut menggantikan Tengku Erry Nuradi yang habis masa jabatannya pada 17 Juni 2018.

Isnur beralasan, apabila Presiden Jokowi menerima usulan tersebut, maka sama saja ia menentang konsep Nawacita yang menjadi janji politiknya pada Pilpres 2014. Terutama poin-poin terkait profesionalisme dan reformasi sektor keamanan.

Poin yang dimaksud Isnur adalah poin nomor 4 Nawacita Jokowi yang berbunyi “Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.”

Sementara, kata Isnur, pengangkatan Pj Gubernur dari perwira tinggi aktif dapat membuat netralitas aparat keamanan, baik TNI maupun Polri diragukan. Menurut Isnur, untuk menjaga keamanan bisa diserahkan kepada kapolda di masing-masing daerah yang memang memiliki tupoksi untuk melakukan hal tersebut.

“Jadi kalau kemudian dia ngangkat penjabat gubernur adalah dari kepolisian, berarti itu menegasikan sistem keamanan di lapangan,” kata Isnur.

Selain itu, Isnur menilai, kebijakan mengangkat Pj Gubernur dari perwira tinggi aktif merupakan nalar yang kerap digunakan oleh Orde Baru, yakni menganggap pejabat sipil tidak mampu untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Sehingga, perlu untuk menyerahkan jabatan sipil ke TNI atau Polri.

"Padahal, kan, enggak juga. Selama ini toh sipil justru bisa mengendalikan keamanan," kata Isnur.

Pati Polri Tak Bisa Disetarakan dengan Pejabat Madya

Desakan yang sama agar Presiden Jokowi menolak usulan Tjahjo juga datang dari Fadli Ramdani, Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem). Menurut dia, usulan tersebut berpotensi melanggar peraturan yang ada, yakni UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada berbunyi “Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."

Fadhli menyatakan, terminologi 'jabatan pimpinan tinggi madya' dalam undang-undang tersebut merujuk kepada ASN, bukan Pati Polri. "Di dalam hukum kita, itu tidak ada penyetaraan hirarki antara pejabat sipil negara dengan kepolisian. Karena kepolisian, kan, bukan ASN," kata Fadli kepada Tirto, Minggu (28/1/2018).

Kemudian, kata Fadli, sesuai dengan maksud "pejabat tinggi madya" berdasarkan Pasal 131 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, adalah mereka yang tergolong ke eselon I A dan eselon I B."

“Salah satu yang memenuhi kualifikasi itu adalah Sekda Provinsi. Kenapa tidak Sekda Provinsi? Atau ada pejabat eselon I di Kemendagri dan dapat juga ditunjuk dari dinas yang lain," kata Fadhli.

Permendagri No. 1/2018, khususnya Pasal 4 ayat 2 yang berbunyi, "Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi," yang menjadi dasar Tjahjo dalam mengangkat Pj gubernur dari Pati Polri, menurut Fadhli juga akan menyulitkan kepolisian.

Karena Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebut anggota polisi aktif harus mengundurkan diri apabila menjabat di luar institusinya.

"Ini jelas merugikan kepolisian. Kalau mereka sudah mundur, kan, tidak bisa kembali lagi. Lagi pula itu tadi, tidak ada jabatan di kepolisian yang setingkat pejabat tinggi madya," kata Fadli.

Merugikan Jokowi Secara Politik

Peneliti CSIS, Arya Fernandez, menyebut usulan Tjahjo akan merugikan Jokowi secara politik bila disetujui. Usulan itu terbukti menimbulkan kegaduhan dan pandangan miring pada Jokowi dari publik dan partai pendukungnya.

"Karena di Jawa Barat, misalnya, ada cawagub yang juga merupakan perwira Polri dari partai Mendagri dan Jokowi. Sangat mungkin disebut ada kepentingan di baliknya," kata Arya pada Tirto.

Sedangkan, partai-partai pendukung Jokowi yang lain, menurut dia, tidak semuanya mendukung calon yang diusung partai mendagri dan Jokowi, yakni PDIP, di kedua provinsi tersebut. “Jelas akan gaduh. Apalagi dua provinsi itu memiliki efek kepada politik nasional," kata Arya.

Karena itu, kata Arya, tidak ada jalan selain bagi Jokowi, selain harus menolak usulan Tjahjo untuk menghindari kegaduhan-kegaduhan tersebut. Ia juga mengusulkan, apabila terpilih lagi, sebaiknya Jokowi memilih mendagri dari profesional dan pejabat karier. Bukan dari partai politik.

"Kebijakan kemendagri sangat berpengaruh pada proses dan tahapan pilkada. Kalau dari partai politik kebijakannya akan selalu menimbulkan bias dan anggapan-anggapan kepentingan politik," kata Arya.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz