Menuju konten utama

Tjahjo Abai UU Demi Tunjuk Jenderal Polisi Jadi Pj Gubernur

Mendagri Tjahjo Kumolo mewacanakan untuk menunjuk jenderal polisi aktif sebagai penjabat atau Pj gubernur, padahal potensi melanggar Undang-undang (UU).

Tjahjo Abai UU Demi Tunjuk Jenderal Polisi Jadi Pj Gubernur
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghadiri rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/7). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan dimulai pada 15 Februari nanti. Sebelum masa "panas" dalam Pilkada ini dimulai, satu per satu polemik sudah mengemuka. Misalnya soal wacana pengangkatan polisi aktif sebagai penjabat (Pj) gubernur yang diusulkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Wacana ini pertama kali diungkapkan oleh Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul setelah rapat pimpinan Polri di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (25/1/) kemarin.

Saat itu Martinus hanya mengungkapkan "informasi yang dia terima," bahwa "untuk Provinsi Jawa Barat, pelaksana tugasnya akan diisi oleh Asisten Operasi Kapolri Irjen M. Iriawan dan untuk Provinsi Sumatera Utara, direncanakan Irjen Martuani Sormin yang menjabat sebagai Kadiv Propam Polri saat ini."

Jika terealisasikan, Iriawan akan menggantikan Ahmad Heryawan yang habis masa tugasnya per 13 Juni 2018 nanti, ketika gubernur dan wakil gubernur baru belum terpilih. Sementara Martuani ditugaskan menggantikan Tengku Erry yang akan bebas tugas per 17 Juni nanti.

Isu ini terus bergulir sampai kemudian Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sendiri yang memberikan klarifikasi. Ia mengatakan kalau dua nama yang disebut Martinus atas usulannya sendiri. Menurutnya usulan ini lebih karena kurangnya sumber daya yang ada.

"Bagi saya sebagai Mendagri, saya tidak mungkin melepas 17 Provinsi seluruhnya ke pejabat eselon I [sebagai pj gubernur]. Kalau semua dilepas kosong Kemendagri," ujar Tjahjo.

Namun, hal ini katanya, baru sebatas usulan, dan baru akan benar-benar resmi ketika ada keputusan dari presiden.

Melanggar Aturan

Ada dua dalil hukum yang dipakai Tjahjo. Pertama Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada; kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara.

Dalam Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016, disebutkan bahwa "untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."

Sementara dalam Permendagri No 1/2018 Pasal 4 ayat 2: "penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi."

Apa yang dimaksud "pejabat tinggi madya" berdasarkan Pasal 131 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah mereka yang tergolong ke eselon I A dan eselon I B. Sementara dua orang calon Pj tersebut, menurut Tjahjo, setara pejabat tinggi madya.

Persoalannya Polri punya aturan sendiri yang bertolak belakang dengan wacana tersebut. Segala yang berkaitan dengan Polri diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dalam Pasal 28 ayat (3) UU tersebut jelas diatur "anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."

Menurut Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio, pasal tersebut cukup jelas dan tidak multi tafsir. Kalau memang tetap jadi Pj dan tetap berstatus polisi aktif, maka aturan jelas dilanggar. "Aturannya harus mundur. Dampaknya jika mereka tidak mundur akan muncul anggapan pro pada partai yang mengusung, meskipun mereka bilang tidak," ujar Agus kepada Tirto, Jumat (26/1/2018).

"Asal keduanya sudah mengundurkan diri dari Polri tidak masalah. Itu aturannya," katanya.

Tjahjo jelas sama sekali tidak melirik aturan ini, meski dasar hukumnya sama-sama punya posisi setara: UU (antara UU Pilkada dan UU Polri).

Dalam kondisi dimana ada dua subjek hukum yang diatur dengan dalil UU yang berbeda, Hifdzil Alim, Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan semua harus dikembalikan pada konteksnya.

"Tidak bisa polisi kemudian masuk ke dalam pemerintahan. Ini bukan lagi Orde Baru yang di mana militer maupun polisi masuk dalam struktur pemerintah daerah. Original intent [interpretasi yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang yang merumuskan peraturan] aturan itu bilang pejabat daerah bukan dari polisi," katanya kepada Tirto via telepon.

"[Polisi jadi pj gubernur] tidak kuat kalau pakai dalil UU Pilkada. Meski mereka pakai dasar itu, tapi mesti lihat apa dasar pembentukannya. Itu harus dilihat, tidak bisa tiba-tiba boleh begitu, sebab dari reformasi kita sudah menolak polisi dan militer masuk struktur sipil," katanya.

Direktur Imparsial Al Araf berkata, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebaiknya tidak menunjuk Pj Gubernur yang berpotensi mengundang sorotan publik. Menurutnya, penugasan Pj Kepala Daerah dari unsur kepolisian dapat menarik kecurigaan masyarakat.

"Apalagi jika di wilayah itu terdapat kandidat dari latar belakang TNI atau Polri, maka sebaiknya Pj gubernurnya jangan berasal dari TNI atau Polri untuk menghindari kecurigaan publik bahwa hal itu bagian dari langkah demi kepentingan politik tertentu," ujar Al Araf kepada Tirto.

Pembelaan Kemendagri yang Kontradiktif

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Arief M Edie mengatakan ada alasan mengapa bukan Sekretaris Daerah (Sekda) saja yang jadi Pj gubernur–yang jelas lebih tidak menimbulkan polemik. Menurutnya, penunjukan Sekda berpotensi menguntungkan petahana.

"Pembicaraan di tingkat [pemerintah] pusat, Sekda kan ASN, punya anak buah, dikhawatirkan [kalau jadi pj gubernur] akan berpihak pada petahana yang akan maju. Kalau di daerah takutnya akan men-setting. Supaya jaga netralitas saja, kita isi yang lain," ujar Arief di kantornya.

Namun Direktur Imparsial, Al Araf, justru mengatakan bahwa penunjukan polisi (dan TNI) sebagai pj lah yang justru akan bermasalah.

"Jika di wilayah itu terdapat kandidat dari latar belakang TNI atau Polri, maka sebaiknya Pj gubernurnya jangan berasal dari TNI atau Polri. Ini untuk menghindari kecurigaan publik bahwa hal itu bagian dari langkah demi kepentingan politik tertentu," ujar Al Araf.

"Presiden juga seharusnya dapat memerintahkan Mendagri untuk memilih Pj yang nantinya tidak akan menimbulkan kecurigaan," tambahnya.

Kecurigaan Al Araf senada dengan wacana yang berkembang. Di dua tempat dimana polisi aktif diwacanakan jadi Pj gubernur, di sana lah ada kandidat yang berlatar sama. Pada Pilkada Jawa Barat, jabatan terakhir Tubagus Hasanuddin adalah Staf Mabes TNI Angkatan Darat, sementara Anton Charliyan pernah jadi Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Mereka diusung PDI Perjuangan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jabar.

Sementara untuk Pilkada Sumatera Utara, kandidat yang memiliki latar belakang TNI adalah Edy Rahmayadi. Edy pensiun dengan jabatan terakhir Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad). Ia diusung PKS, Gerindra, PAN, Demokrat, dan NasDem.

Baca juga artikel terkait PJ GUBERNUR atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino