Menuju konten utama

Wangi Mawar dan Secangkir Americano di Puncak Alhada Thaif

Rata-rata para pengunjung ke kawasan Puncak Alhada khusus mencari parfum, membeli oleh-oleh camilan khas Arab Saudi.

Wangi Mawar dan Secangkir Americano di Puncak Alhada Thaif
Makam dan Perpustakaan di Sebelah Masjid Ibnu Abbas. (Tirto.id/M Taufiq)

tirto.id - Ahmad Ali Mahmod masih sibuk melayani pesanan para pengunjung di mini bar kafe Rashed Al Qurashi Factory Store, kawasan Puncak Alhada Kota Thaif. Padahal matahari mulai beringsut di ufuk. Ia masih sibuk mengaduk cangkir.

Meskipun tidak sedingin Puncak Bogor, tapi kawasan Alhada di Pegunungan Thaif Arab Saudi memberi nuansa tidak biasa bagi para pengunjungnya. Mereka termasuk jemaah haji Indonesia terlihat asyik bercengkerama sambil menikmati kue, kopi, dan tentu saja berselfie ria di teras kafetaria.

Saya pun menikmatinya. Sebuah nuansa yang belum pernah saya jumpai selama 37 hari di Tanah Suci. Syahdan, ketika mega membentang di kaki langit barat, sementara gelap dari Timur berancang melipat siang, saya nikmati pengalaman ini.

Akhirnya secangkir kopi saya sudah siap untuk dinikmati.

"Black coffee kan?" saya bertanya pada Ahmad.

"Ya, ini Americano. Paling banyak dipesan di sini," jawabnya dengan bahasa Indonesia belepotan.

"Indonesia?" dia balik bertanya.

"Ya, Indonesia. Kenapa?"

"Oh, tidak apa-apa. Orang Indonesia baik-baik, syukron [terima kasih],"

Kami berbincang tak lama. Setiap musim haji, katanya, kawasan Puncak Alhada selalu ramai pengunjung dari Indonesia. Mereka memburu parfum masyhur dari Thaif, salah satunya di tempatnya kerja Rashed Al Qurashi Factory Store.

Sejak pagi, Ahmad melayani para peziarah silih berganti yang singgah di cafenya selepas berburu oleh-oleh di outlet penyulingan mawar Rashed Al Qurashi Factory Store, sebuah pusat oleh-oleh parfum tersohor di Arab Saudi itu.

Sudah enam tahun Ahmad bekerja sebagai barista di sana. Hampir setiap hari dia selalu berjumpa dengan pengunjung dari Asia, termasuk orang Indonesia seperti pada puncak season bisnisnya saat musim haji seperti sekarang ini.

Ahmad Ali Mahmod

Ahmad Ali Mahmod masih sibuk melayani pesanan para pengunjung di mini bar kafe Rashed Al Qurashi Factory Store, kawasan Puncak Alhala Kota Thaif. (Tirto.id/M Taufiq)

Rata-rata para pengunjung ke sana khusus mencari parfum, membeli oleh-oleh camilan khas Arab Saudi, berbagai jajanan coklat yang juga dijual di sana. Selebihnya, hanya datang menikmati udara sejuk di lereng pegunungan batu setinggi 1.700 mdpl sambil makan bakso, jus, dan kopi.

Obrolan basa-basi kami harus berakhir seiring dengan orderan pelanggan lain yang datang setelah saya. Kawannya, pramusaji asal Bangladesh mengingatkan agar cepat menyiapkan pesanan.

"Kapan-kapan kamu harus datang ke Indonesia!"

"Insyaallah, sudah lama saya ingin ke sana," kata Ahmad, pria Arab kelahiran Thaif itu.

Bagi para peziarah asal Indonesia, kawasan Thaif memang menjadi salah satu destinasi populer city tour umrah dan haji. Lokasi persisnya di sebelah Tenggara Kota Makkah. Jaraknya sekitar 130 kilometer dan biasanya ditempuh sekitar dua jam perjalanan.

Kota ini menjadi satu-satunya kota di Arab Saudi beriklim sejuk pada siang hari dengan suhu sekitar 35 derajat celcius, mirip dengan suhu udara Jakarta ketika sedang panas-panasnya. Tapi di Arab, angka suhu itu bisa dibilang sejuk mengingat daerah lain suhunya bisa mencapai 45 derajat.

Berada di lereng Pegunungan Ghazwan, masuk wilayah Hijazz -- dulu bagian dari Kesultanan Utsmaniah sebelum diambil Arab Saudi -- Thaif memiliki berbagai destinasi wisata alam dan sejarah yang acap kali menjadi jujukan para peziarah.

Lokasi wisata ini mulai dari Masjid Abdullah Ibnu Abbas di jantung Kota Thaif. Masjid megah berarsitektur kubus khas negeri Jazirah Arab ini dibangun pada 592 H dan sekarang menjadi peninggalan sejarah kota.

Masjid Ibnu Abbas

Masjid Ibnu Abbas. (Tirto.id/M Taufiq)

Di sebelah masjid juga ada makam Ibnu Abbas, sahabat sekaligus sepupu Rasulullah Muhammad SAW. Nama Abdullah Ibnu Abbas masyhur sebagai orang cerdas di kalangan umat Islam dan menjadi salah satu sahabat dengan riwayat hadits terbanyak.

Kemudian ada juga spot wisata Masjid Wadi Mahram atau Qarn Al-Manazil. Masjid ini berada di kawasan antah berantah yang dulu disebut Wadi Qarn, sebuah padang belukar Yamaniah sebelum era Islam. Lokasi persisnya di tepi jalan penghubung antara Kota Makkah dan Thaif. Jaraknya 58 kilometer dari Makkah ke arah tenggara dan 40 kilometer dari Thaif ke arah utara.

Masjid dengan gaya arsitektur modern ini juga dikenal sebagai Miqat Qarn Manazil bagi para jemaah haji dan umrah yang masuk ke Tanah Haram dari arah tenggara. Tempat ini dulu juga disebut-sebut sebagai lokasi pertemuan Muhammad dengan Malaikat Jibril saat curhat tentang perlakuan masyarakat Thaif waktu itu.

Masjid Qarn Manazil

Masjid Qarn Manazil. (Tirto.id/M Taufiq)

Dari Qarn Manazil kemudian melanjutkan perjalanan ke Puncak Alhada. Ada waktunya para peziarah bakal melewati jalanan berkelok dengan pemandangan pegunungan batu dengan tebing-tebing yang bikin merinding.

Konon, banyak penelitian menyebut kalau pegunungan batu yang membentang di kawasan Hijaz sampai Makkah Al-Mukarramah ini sudah ada sejak zaman Pra-kambrium. Itulah yang membuat struktur pegunungan batu tersebut sangat keras dan padat.

Struktur bebatuan kuno itu merupakan bagian paling awal dari sejarah bumi -- sebelum era Eon Fanerozoik, sebuah periode geologikal pertama yang dipelajari manusia bumi. Rentang waktu pra-kambrium ini sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu (Ga) hingga awal periode kambrium, yaitu sekitar 542 juta tahun lalu (Ma), ketika makhluk hidup bercangkang keras mulai ada.

Sampel penelitian ini adalah bebatuan di Gua Hira yang berada di Jabal Nur, sebuah pegunungan tandus di sebelah Timur Masjidil Haram. Artikel tentang bebatuan di Makkah ini pernah ditulis Suharwanto, Pengajar Jurusan Teknik Lingkungan Kebumian, Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta.

Ia menyebut, secara geologi Mekkah terletak di atas Perisai Arabia, sebuah daratan berbatu yang berada di Jazirah Arab. Sebagian besarnya disusun oleh batuan kristalin Pra-kambrium. Luas Perisai Arabia ini mencapai 610.000 kilometer persegi, setara sepertiga dari wilayah Jazirah Arab.

Namun tidak semua kawasan menuju Puncak Alhada berupa bebatuan. Ada momen-momen ketika para peziarah juga bakal disuguhi pemandangan hamparan ladang pertanian; seperti anggur, delima, buah ara, madu, kurma, dan mawar. Dan yang terakhir itu paling masyhur sampai membuat Thaif dijuluki sebagai Kota Mawar.

Ada banyak warga setempat menggantungkan hidupnya dari pertanian mawar. Mereka mengolahnya menjadi berbagai jenis parfum tersohor sampai penjuru negeri dan Rashed Al Qurashi Factory Store ini merupakan salah satu tempat penyulingan parfum mawar tertua di Thaif.

Tidak terasa kopi panas saya tandas. Beberapa menit lagi Maghrib sehingga obrolan ringan bersama kawan-kawan peziarah lain di teras kafe juga harus segera disudahi. Angin utara bertambah kencang, suhu juga kian dinginnya ketika kami harus melepas pengalaman menghirup berbagai wangi parfum dan menyesap kopi sore itu.

Sebelum pantat kami beranjak dari kursi, tiba-tiba seorang pengunjung di seberang meja kami berseloroh: "Tenang sekali kota ini,"

Lalu kawan saya yang lain tiba-tiba menyitir sebuah tarikh perjalanan Nabi, yang terasa begitu kontrasnya dengan kondisi saat ini. Dulu, pada zaman kenabian, ketika Islam masih didakwahkan sang utusan, Thaif bukanlah tempat ramah. Muhammad mendapat penolakan begitu keras dari warga di sana.

Warga Thaif saat itu bahkan menghina Nabi, melakukan berbagai persekongkolan dengan menghasut masyarakat dan budak-budaknya untuk meneriaki, mengusirnya sambil melemparinya menggunakan batu.

Hikmah cerita pahit perjalanan dakwah Muhammad ditolak oleh masyarakat Thaif ini mirip cerita di film-film.

"Ini ceritanya dramatis kan ya di awal, tapi damai di akhir," ujarnya.

Saya menimpali, "Happy ending,"

Baca juga artikel terkait HAJI 2024 atau tulisan lainnya dari Muhammad Taufiq

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Muhammad Taufiq
Penulis: Muhammad Taufiq
Editor: Intan Umbari Prihatin