tirto.id - Pada akhir pekan di musim panas yang panjang, kamu berencana untuk menikmati sore. Sepeda kesayangan dengan keranjang yang terbuat dari anyaman bambu pun segera kamu keluarkan. Tak lama berselang, kamu mengayuh sepeda dengan pelan, menuju Pantai Villefranche yang lokasinya tak jauh dari tempatmu tinggal. Cuaca sore itu cukup cerah. Angin berhembus sepoi.
Sekitar 10 menit kemudian, kamu tiba di pantai. Tatapan matamu memandang sekeliling dengan seksama. Memastikan bahwa hal-hal yang biasanya kamu saksikan, dari gulungan ombak, burung camar yang terbang rendah, hingga hamparan pasir putih pantai yang bersih, tetap ada. Kamu tersenyum simpul.
Dari pantai, kamu melanjutkan perjalanan. Kali ini, kamu menuju taman. Sesampainya di sana, kamu langsung duduk di spot favorit: bangku panjang berwarna cokelat muda yang berada tepat di bawah rindangnya pohon angsana. Kamu lapar dan kemudian membuka kotak bekal yang berisikan beberapa potong sandwich tuna. Kamu melahapnya sembari menyaksikan orang lalu-lalang.
Ketika kamu hampir menghabiskan sandwich tersebut, tiba-tiba pikiran kamu melayang hingga ke kampung halaman. Kamu diajak mengingat satu per satu kenangan yang pernah hadir bersama orang-orang yang kamu cintai.
Di saat bersamaan, pikiran kamu juga merekam kembali alasan mengapa kamu memutuskan untuk pergi ke tempat yang berjarak ribuan kilometer dari rumah, tempat yang kamu ketahui begitu asing. Kamu merasa rindu, tapi sama sekali tak menyesal sebab ini adalah hal yang kamu dambakan.
Kamu kembali mengayuh sepeda. Sekarang, kamu pergi ke pusat kota untuk mampir ke toko buku dan kaset langganan. Kamu mencari satu-dua judul yang sudah kamu pesan sejak bulan lalu. Kamu berhasil mendapatkannya. Setelah itu, kamu menuju pasar guna membeli buah maupun sayuran untuk mengisi dapur selama beberapa hari ke depan.
Orang-orang yang kamu temui di pusat kota bukanlah orang yang asing. Kamu mengenalnya dengan dekat. Kamu menanyakan kabar mereka dan berbincang soal apa saja yang menarik dalam seminggu ini.
Perjalanan sore kamu akhirnya berakhir di flat yang ukurannya tak seberapa. Kamu menghempaskan diri ke kasur, memejamkan mata, dan tak lama setelahnya kamu sadar bahwa di antara rutinitas yang begitu-begitu saja, hidupmu sungguh menyenangkan.
Kira-kira seperti itulah gambaran Primavera, album baru solis asal Jakarta, Vira Talisa. Mendengarkan keseluruhan lagu dalam Primavera tak ubahnya seperti melakukan perjalanan menyelami tiap bagian hidup, dari yang remeh hingga yang berat, secara berulang-ulang sampai akhirnya berhenti di satu titik untuk menyadari bahwa modal hidup bahagia adalah dengan tak kelewat banyak berekspektasi.
Nama Vira Talisa tergolong baru dalam kancah musik independen. Sepak terjangnya berangkat dari dunia SoundCloud. Di kanal ini, Vira unjuk kemampuan membawakan lagu-lagu pop dan jazz baik dari musisi dalam maupun luar negeri. Suaranya sendu, dingin, sekaligus memikat di waktu bersamaan.
Popularitas Vira di SoundCloud cukup melambung. Ia punya sekitar 7 ribu pengikut. Tiap lagu yang ia cover rata-rata mendapat ratusan likes━ada yang sampai ribuan kala ia membawakan ulang “Kisah dari Selatan Jakarta” milik White Shoes and the Couples Company.
Dari SoundCloud, Vira mencoba merambah pasar yang lebih luas. Pada 2016, ia melepas mini album, Vira Talisa EP. Album ini langsung diganjar masuk nominasi Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2017 untuk kategori Pendatang Baru Terbaik.
Mini album Vira tak terdengar maksimal, setidaknya bagi saya. Vira seperti main aman dan masih berlindung pada zona nyamannya sebagai “musisi SoundCloud.” Tak ada perbedaan signifikan antara mini album Vira dengan Vira versi SoundCloud. Lagu-lagu di mini album tersebut, mudahnya, adalah versi lain dari lagu cover di SoundCloud yang dibawakan dalam format full-band. Dengan kata lain, Vira belum punya visi yang jelas tentang musiknya.
Saya sempat kehilangan harapan terhadap sosok Vira usai mendengarkan album pendeknya. Pasalnya, sejak pertama kali mengetahui nama Vira, saya punya ekspektasi yang cukup tinggi akan kiprahnya. Bahwa dengan potensi yang kuat, terpancar dari sinar kualitas cover lagu yang dimainkannya, Vira punya kans besar untuk tak sekadar mentok di SoundCloud.
Sampai akhirnya, pada awal Maret lalu, Vira berhasil mengembalikan harapan yang sempat memudar manakala ia merilis Primavera. Debut album panjangnya yang dibikin selama kurang lebih setahun ini bisa dikata melebihi ekspektasi. Vira berhasil keluar dari zona nyamannya. Musik-musiknya memiliki karakter yang kuat dan resonansi yang jelas.
Album Primavera memuat delapan lagu. Nomor pertama adalah “Primavera” yang terdengar catchy dan elegan. Semua elemen dalam lagu, dari ritmis hingga melodi, disusun dengan takaran yang tepat. Memilih “Primavera” sebagai lagu pembuka kiranya merupakan strategi yang tepat karena lagu ini mampu menaikkan mood pendengarnya.
Selanjutnya ada “Janji Wibawa” yang masih mempertahankan kedinamisan ritme sebagaimana lagu pertama. Vira membungkus kesedihan dalam lagu ini dengan nada-nada yang ceria. Aura gloomy terpancar lewat lagu berikutnya, “Through the Shades of Paradise.” Kredit tersendiri harus diberikan pada permainan bassline yang menggugah selera.
Pada “He’s Got Me Singing Again,” yang dinyanyikan bersama Bilal Indrajaya, Vira menurunkan tempo. Jika Anda butuh lagu yang mampu mengusir kepenatan, lagu ini rasanya jadi opsi yang tak boleh ditepikan. Dari semua lagu Primavera, saya paling jatuh hati dengan “Down in Vieux Cannes.” Progresi chord-nya tak bisa ditebak, struktur lagunya pun tersusun secara rapi.
Musik Vira, pada dasarnya, tak bisa dilepaskan dari warna pop, terutama yang berasal dari Perancis. Pengaruh musisi-musisi pop Perancis dekade 1960-an macam Francoise Hardy (terlebih ketika melepas Tous les garçons et les filles pada 1962), France Gall, hingga Serge Gainsbourg terasa sangat jelas di setiap lagu Vira. Hal ini tidak mengagetkan mengingat Vira sempat tinggal di Perancis beberapa tahun lamanya untuk keperluan studi.
Tapi, yang harus dicatat, Vira tak melulu bertumpu dimensi pop Perancis 1960-an. Ia berani mengambil keputusan untuk meleburkan kecintaannya terhadap pop Perancis dengan warna musik lainnya. Anda bisa menyimaknya lewat nomor “Primavera” dan “Down in Vieux Cannes” di mana dalam dua lagu ini, Vira menyertakan ketukan-ketukan bossanova.
Sementara di nomor lain, “For the Time Being” katakanlah, Vira memainkan pop yang subtil selayaknya Camera Obscura, band indie pop asal Glasgow, tatkala membawakan “Llyod, I’m Ready to Be Heartbroken”━yang diambil dari album Let’s Get Out of This Country (2006).
Secara musikalitas, Primavera lebih beragam dan terasa sekali semaraknya━sesuatu yang absen dalam mini album terdahulunya.
Namun, di luar aspek musikalitas yang matang, kekuatan album ini justru terletak pada bagaimana Vira meramu keseluruhan lagu sebagai satu garis benang merah yang utuh. Menjadikan tiap lagu seperti pengalaman personal yang tidak hanya bisa dirasakan oleh Vira sendiri, melainkan juga oleh mereka yang jatuh cinta, ditinggal saat sedang sayang-sayangnya, maupun mereka yang tengah berada dalam fase lelah dilibas ekspektasi.
Ada kebahagiaan, kesedihan, keniscayaan, kerinduan, sekaligus keinginan yang, dalam satu waktu, membawa pendengar larut kepadanya. Vira Talisa, lewat album barunya, berhasil menjadikan pengalaman personal sebagai sesuatu yang sifatnya universal. Dan kita semua tak masalah untuk merayakannya.
Editor: Nuran Wibisono