Menuju konten utama

Album Baru Danilla Riyadi, "Album Galau Dewasa"

Album Lintasan Waktu terasa lebih gelap dan murung ketimbang album perdananya.

Album Baru Danilla Riyadi,
Danilla. Instagram/@danillariyadi

tirto.id - Depok sedang diberkahi hujan malam itu. Pukul 6 sore, Stasiun Depok Baru menunjukkan wajah sehari-harinya. Orang yang pulang kerja berlalu lalang dengan muka lelah. Mereka bergegas dengan cepat. Tangan saya meraih ponsel, membuka aplikasi layanan streaming lagu. Memilih "Entah Ingin Ke Mana" dari Danilla.

Mendadak, semua gerak cepat orang-orang yang ingin segera lekas sampai rumah menjadi pelan. Seperti di film-film drama yang banyak memasukkan adegan slow motion. Hal ini seperti memberi jeda untuk memikirkan banyak hal dalam hidup, yang kerap mustahil muncul di pikiran ketika sedang bekerja atau terburu-buru.

Saya melompat naik kereta, menuju arah Jakarta Kota. Rencananya turun di Cikini, lalu berjalan kaki sebentar ke Gedung CCM yang hanya sepelemparan tombak dari stasiun. Secara acak, lagu memutar "Ini dan Itu", lalu "Laguland", hingga "Ikatan Waktu Lampau." Efeknya masih sama. Papan stasiun terasa berkelebat dengan lambat. Pasar Minggu. Duren Kalibata. Tebet. Manggarai. Cikini. Gondangdia.

Saya mendecak kesal. Kebablasan. Kemudian mengutuk diri sendiri karena menghilangkan kesempatan untuk berjalan kaki. Di Jakarta, berjalan kaki sembari melamun adalah kemewahan. Kalau sedang bernasib baik, paling hanya suara klakson yang menyuruhmu untuk minggir. Kalau nasibmu buruk, seorang pengendara motor bisa saja membanting helm di depanmu sembari meneriakkan kelamin hanya karena kamu berjalan di trotoar dan enggan memberikan jalan bagi motor.

Lagu Danilla dalam Lintasan Waktu adalah teman berjalan kaki yang baik. Andai saja saya tak bablas melewati stasiun tujuan.

Tapi peduli amat. Saya toh sedang menuju Gedung CCM untuk menonton konser Simak Lintasan Waktu. Ini semacam konser dengar bareng album terbaru penyanyi bernama lengkap Danilla Riyadi. Sebenarnya, pada Agustus 2017, album kedua Danilla ini sudah dilepas via Spotify.

Baca juga:Menimbang Musik Digital di Indonesia

Pertama kali mendengarnya pada pertengahan September lalu, ada impresi berbeda yang ditinggalkan oleh Lintasan Waktu. Semacam ada perasaan nelangsa lamat-lamat. Di album pertamanya, Telisik (2014), masih ada keriangan dan romantisme polos ala anak muda di sana-sini. Jurang lebar ini membuktikan betapa besar perubahan yang bisa terjadi dalam diri seorang penyanyi dalam waktu 3 tahun.

Danilla naik panggung selewat pukul 8 malam. Ia tampil sederhana dengan kaus turtleneck lengan panjang berwarna kuning yang dipadukan dengan jeans biru gelap. Senyumnya mengembang, tapi matanya tak bisa berbohong: ia grogi. Di depan panggung, ada ibu dan kakaknya yang turut hadir.

Lagu "Lintasan Waktu" dimainkan pertama. Di album, lagu ini ada di urutan terakhir, lagu ke 10. Suara alto Danilla menggema di seluruh ruangan. Seorang guru vokal suatu ketika pernah menyebutkan bahwa, "Kalau kamu punya suara alto, akan ada banyak kehangatan, ada banyak gaung." Suara Danilla menampilkan itu semua: rendah, hangat, sekaligus memberikan kesan gema yang bisa menghantui.

Danilla banyak bercerita malam itu. Mungkin usaha untuk mengusir kegugupan. Ini sekaligus memberikan banyak perspektif tentang bagaimana ia membuat lagu-lagunya.

"Album ini dibuat waktu sedang masa susah. Kalau album pertama itu galau remaja, ini album galau dewasa," katanya.

infografik danila

Dari cerita-ceritanya, setidaknya ada dua hal yang menjadi bahan bakar utama bagi Danilla untuk membuat lagu. Pertama, ketakutan. Ini bukan sejenis ketakutan terhadap hantu atau fobia terhadap laba-laba, melainkan ketakutan yang bercampur dengan kecemasan. Dengan kata lain: angst.

Angst, oleh filsuf Søren Kierkegaard, digambarkan sebagai hasil dari kebebasan memilih yang dipunyai oleh manusia. Kebebasan itu menghasilkan dua perasaan. Pertama jelas rasa senang karena kita bisa bebas memilih. Namun, kebebasan ini pula yang melahirkan angst: kecemasan karena kita tidak tahu apa saja kemungkinan tak terbatas yang lahir karena pilihan kita.

Baca juga:Keluar dari Bayang-Bayang Kecemasan

Kecemasan dan ketakutan ini yang kemudian seolah membayangi Danilla. Dalam "Meramu", katakanlah. Danilla merasakan kecemasan yang lahir karena kebebasan memilih. Ia merasakan betul bahwa sebagai manusia biasa, ia selalu punya kemauan dan keinginan.

"Tapi kemudian saya berpikir, apakah kemauan itu akan merugikan orang lain?" tanyanya.

Tapi tak semua ketakutan Danilla berwatak eksistensial seperti itu. Tak perlu rumit seperti apa yang diartikulasikan oleh Kierkegaard atau Jean Paul Sartre. Kecemasan Danilla adalah kecemasan biasa, yang bisa langsung terasa mengena dengan pengalaman penyimak lagunya.

Ia misalkan, takut akan menua dan sakit-sakitan. Siapa yang tidak? Ketakutan itu dituliskannya pada "Lintasan Waktu". Danilla beruntung, ia punya partner ideal dalam membuat lagu: Lafa Pratomo. Bantuannya besar sekali dalam menerjemahkan perasaan Danilla ke lirik dan musik yang terasa klop.

Baca juga:Hipokondria, Kecemasan yang Malah Memicu Penyakit

Ketakutan yang sama juga muncul di "Usang". Danilla menyebut lagu ini lahir karena ketakutan akan rasa sekarat. Ia membayangkan manusia dalam kondisi sekarat. Bagi yang melihat, "mungkin akan terlihat sebentar. Tapi yang merasakannya mungkin seperti ribuan tahun, ya."

Hal kedua yang kemudian menjadi benang merah lagu Danilla adalah: rasa sakit. Suatu hari, ia bermimpi: lelaki yang paling dicintainya melakukan adegan panas dengan perempuan yang paling ia benci. Setelah bangun, sangat besar kemungkinan jantungnya seperti diremas sarung tangan berduri.

Danilla kemudian menulis "Dari Sebuah Mimpi Buruk." Di sana, ia bukan lagi seorang perempuan yang merasakan kecemasan hari tua atau perasaan sekarat. Ia bersulih rupa menjadi perempuan yang patah hati dan merasakan sakit tak terpermanai. Untuk sebuah lagu sakit hati, ia sama sekali tak buruk. Sayatan biola membuat suasana makin terasa menusuk. Tapi apalah arti air mata bagi sebuah kemarahan. Setelah ia kering, yang tersisa hanya murka, bukan? Maka ia mengutuk, alih-alih masih terisak.

"Bila terungkap mereka memadu syahdu, terkutuk! Kelak kan membekas, mendendam hingga akhirku runtuh. Runtuh. Runtuh."

Malam itu Danilla memainkan 10 lagu dari album Lintasan Waktu. Sesekali diselingi pertanyaan dari kawan-kawannya. Suasana sendu dari musik terasa berimbang dengan cerita-cerita Danilla yang seringkali lucu, bahkan ajaib. Misal tentang pulau khayalannya.

Sebagai penyanyi, ia sadar betul ada perbedaan besar antara album pertama dan kedua. Para penggemar Danilla di album pertama punya kemungkinan tidak menyukai album keduanya yang mengusung corak berbeda. Baik tema maupun kegelapan pandangannya. Tapi bukankah musisi yang baik adalah ia yang selalu berubah, seiring pola pikir yang turut bergerak pula? Untuk itu, Danilla layak diberi acungan jempol karena berani mentas dari kolam kenyamanan di album pertama.

Usai konser selesai, saya memutuskan jalan kaki ke Stasiun Cikini. Kereta menuju Depok lebih ramai, lengkap dengan orang-orang dengan wajah letih usai dipukuli kerasnya kehidupan di Jakarta. Ponsel masih memutar Lintasan Waktu. Efeknya tetap sama. Kereta dan orang-orang di dalamnya seperti bergerak amat lambat.

Saya berharap kali ini tak kebablasan lagi.

Baca juga artikel terkait MUSIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani