tirto.id - Jalan Braga memang selalu ramai di Sabtu malam. Baik warga Bandung maupun turis dari luar Bandung menikmati akhir pekan di sekitaran Museum Konferensi Asia Afrika. Namun, Sabtu malam 30 September 2023 ada penampakan berbeda. Sejak pukul 18.30 WIB, ada antrian manusia sepanjang hampir 50 meter di jalan itu.
Pangkal antrian manusia itu adalah pintu masuk De Majestic, bekas gedung bioskop dan lokasi digelarnya “Konser 10 Tahun Roekmana’s Repertoire”.
Ada sekitar 300 orang yang mengantri saat itu. Mereka adalah orang-orang beruntung yang berhasil mendapatkan tiket konser perayaan album semata wayang Tigapagi. Pasalnya, 300 tiket berupa CD reissue album Roekmana’s Repertoire ludes dalam waktu tiga menit.
Tepat pukul 19.00 WIB, pintu De Majestic dibuka. Antrian yang mengular tadi memendek perlahan. Dua puluh menit berselang, 300-an orang memenuhi De Majestic, menanti perayaan atas usia satu dekade album yang sering disebut sempurna tanpa cacat.
***
Perjalanan 10 tahun album Roekmana’s Repertoire adalah perjalanan penuh pujian.
Album debut Tigapagi ini diganjar banyak penghargaan. Tidak lama dari perilisan pada 30 September 2013, Roekmana’s berada di urutan kedua Album Terbaik 2013 versi Majalah Rolling Stone Indonesia. Roekmana’s juga masuk 10 Album Terbaik 2013 Pilihan Tempo.
“Roekmana’s Repertoire mungkin adalah salah satu rilisan folk kontemporer terbaik di Indonesia saat ini,” klaim webzine Wasted Rockers.
Bertahun-tahun setelahnya, Roekmana’s masih terus dipuji. Vice Indonesiamenerbitkan “Album Terbaik Indonesia Satu Dekade Terakhir” pada 2019. Dari 20 album yang dipilih, Roekmana’s menempati posisi ke-11. Pada 2021, The Jakarta Postmenempatkan album ini sebagai salah satu dari empat album naratif terbaik di Indonesia.
Seluruh pujian ini punya satu benang merah: di tengah surplusnya musik folk Indonesia pada dekade 2010-an, Tigapagi menawarkan eksplorasi artistik berbeda.
Sejak EP Half-Awake (2006) dan single “Menari” (2008), Tigapagi ajeg mengawinkan musik folk modern Barat dengan tangga nada Sunda (da-mi-na-ti-la-da). Tiga gitar yang menjadi penopang musik Tigapagi dimainkan seperti kacapi, membuat komposisi lembut, tetapi juga menjadi bandul yang dapat mengayun dari suasana riang ke suasana tenang lalu mencekam.
Melalui eksplorasi tersebut, Tigapagi mendefinisikan ulang kata “folk” yang berarti rakyat dan “musik folk” yang kadung ajeg lewat katalog-katalog Bob Dylan, Pete Seeger, Joan Baez, Vashti Bunyan, dan sejawat mereka. Pendefinisian ulang tersebut dilakukan lewat menggali lebih dalam dan mengolah ulang akar kebudayaan mereka sendiri.
Roekmana’s Repertoire adalah puncak eksplorasi Tigapagi – setidaknya sampai saat ini. Sebanyak 14 lagu hibrida tersebut dirajut menjadi satu track sepanjang 65 menit. Selama itu lah para pendengar disuguhkan alur kisah penuh ratapan, kehilangan, kesedihan, juga penerimaan.
Melalui konsep ini, Tigapagi seperti sedang menantang para pendengarnya. Para pendengar Roekmana’s Repertoire “dipaksa” untuk menyimak album ini secara utuh. Para pendengar mesti menyediakan waktu khusus, setidaknya selama 65 menit, saat hendak mendengar album ini, lalu menyelami nuansa dan narasi setiap lagu, menghubungkan satu sama lain, juga mencoba menghubungkan narasi-narasi yang bertebaran di album ini dengan memori dan pengalaman mereka masing-masing.
Tantangan itu dijawab dengan apresiasi tak habis-habis. Baik oleh para awak media yang menyanjung album ini, juga oleh mereka yang rela mengantri selama hampir satu jam untuk memasuki Gedung De Majestic, tepat 10 tahun pascarilisnya Roekmana’s Repertoire.
Pertunjukan Dimulai
Orang-orang berdesis merinding tepat saat petikan intro gitar “Alang-Alang” dimainkan sebelum Bilal Indrajaya mengolah pita suaranya. Ada sejenis dingin yang merayap lalu menusuk para penonton malam itu. Padahal menurut Sigit Pramudita, “Alang-Alang” adalah lagu paling ngepop yang ditempatkan di awal album untuk menjebak pendengar mau menyimak album ini secara utuh.
Desisan merinding para penonton tidak hanya muncul sekali. Susunan lagu konser malam itu dirangkai sesuai dengan urutan lagu dalam album Roekmana’s Repertoire, lengkap dengan transisi-transisi antarlagu. Di setiap transisi itulah bulu kuduk banyak penonton tegak dan desisan lolos dari mulut mereka.
Saat transisi “Alang-Alang” ke “Erika” dimainkan dan Ida Ayu Sarasvati menyanyikan “hu’u huu huu’u huu’uuu huu’u huu’u huu’u huu’uuu”, tubuh saya membeku. Pundak dan nafas tertarik lalu tertahan. Tidak sadar, sedikit air lucut dari mata saya, tepat saat “You are just too good for me, but you are not so good for yourself” dikumandangkan. Air mata itu tak sempat saya seka. Sejak “Erika”, “S(m)unda”, “We Were Lost In Our Home Town”, sampai “Batu Tua” saya hanya tertegun.
Setelah “Tangan Hampa Kaki Telanjang”, diputar video testimoni para rekanan penggiat musik atas Roekmana’s, seperti Delphi Suhariyanto (Dongker), Ade Paloh (Sore), Bottlesmoker, Basboi, dan David Tarigan (Irama Nusantara, Demajors). Video tersebut diiringi lagu-lagu dalam EP Sembojan (2015).
Setelah video itu selesai, intro “Pasir” masuk bersama Monica Hapsari yang menggantikan Cholil Mahmud di departemen vokal. Kejutan berlanjut saat Danilla Riyadi menggantikan Sigit untuk menyanyikan “Vertebrate Song (The Maslow)” dan “Happy Birthday”. Selain di departemen vokal, penonton juga disuguhkan oleh pembacaan puisi Kidung Paramudita di track instrumental “De Rode Slaapkamer” dan isian bass Rendi M. Jamhur pada “The Way”.
Di fase kedua ini saya bisa melemaskan pundak yang sejak awal terangkat. Perubahan kolaborator dan penyanyi di beberapa lagu meruntuhkan harapan saya. Sampai sekarang saya percaya lagu “Pasir” memang diciptakan untuk dinyanyikan hanya oleh Cholil. Rasa terkejut karena pengambilalihan vokal oleh Danilla pun tidak bisa saya terima sebagai eksperimen yang menyenangkan.
Dalam rentang waktu 10 tahun, versi rekaman track-track berserta para kolaborator di album Roekmana’s begitu kuat mengakar dalam kepala. Apalagi panggung Tigapagi yang sudah langka sejak 2019 (pada tahun itu mereka hanya manggung tiga kali) membuat akses atas lagu-lagu Tigapagi, terkhusus di album Roekmana’s, hanyalah melalui versi rekaman. Tidak berlebihan jika pendengar, setidaknya saya, datang ke konser malam itu dengan harapan mendengarkan para kolaborator versi album untuk membawakan langsung lagu-lagu tersebut.
***
Tajuk "perayaan 10 tahun" membuat saya menaruh harapan tinggi dan tuntutan berlapis pada konser malam itu. Harapan dosis tinggi itu membuat saya lupa bahwa para personel Tigapagi adalah manusia, dan dalam rentang waktu 10 tahun, ada beragam peristiwa yang memengaruhi kondisi mereka.
Pada tahun 2019, Tigapagi mengambil keputusan untuk hiatus sementara. Kesibukan dan prioritas masing-masing personel sedang tidak memberi jalan untuk mereka mengelola Tigapagi secara intens seperti dulu.
Sigit mengalami hal lain. Saat itu ia melanjutkan kuliah untuk mempelajari linguistik. Mempelajari teori-teori tentang bahasa dan segala unsurnya membuat ia kehilangan kemampuan menulis lirik. Menurutnya, berkuliah linguistik membuat ia berada dalam posisi penganalisis, alih-alih penulis lirik. Padahal, album kedua sedang dalam penggarapan.
"Sama ketika kita kuliah seni rupa, misalnya, akhirnya kita punya kemampuan untuk mengajar, untuk menganalisis secara semiotik, ketimbang menjadi pelukis. Kira-kira mirip seperti itu," terang Sigit saat ditemui usai pertunjukan.
Kabar terakhir yang publik terima adalah Tigapagi merombak formasinya. Kesibukan dan kepindahan domisili Eko Sakti Oktavianto membuatnya keluar dari grup yang turut ia dirikan ini. Kini formasi Tigapagi ketambahan Aisyah Sekaranggi, Indra Kusharnandar, dan Achmad Kurnia.
"Akhirnya tinggal saya sama Prima. Ketika tinggal saya sama Prima, orang lama, idenya akan begitu-begitu aja," tutur Sigit.
Keterlibatan orang-orang baru dan pencarian kemungkinan-kemungkinan baru adalah semangat utama konser malam itu. Itu pula yang melatari pemilihan para kolaborator yang kebanyakan berbeda dari versi album. Kehadiran puisi Kidung Paramudita dan isian bass oleh Rendi M. Jamhur juga menjadi upaya eksperimen Tigapagi.
"Sebenarnya orang-orang itu semua masih relate dengan kolaborator sebelumnya. Misalnya Monic dulu sempet sama-sama di Pandai Besi, sama-sama di ERK. Dan Bilal itu masih satu circle dengan orang-orang di Keramat Lontar di studionya Awan (SORE). Beberapa kali juga Bilal sering ngegantiin Ade saat Ade lagi nggak bisa," terang Sigit.
Muara dari percobaan-percobaan ini adalah album kedua Tigapagi. Meski sudah mengeluarkan kisi-kisi berupa video 17 detik lewat kiriman Instagram pada 13 April 2023, album kedua ini masih dalam proses penggarapan. Kehadiran personel-personel baru, kolaborator baru, juga eksperimen-eksperimen dalam konser ini sebenarnya diperuntukkan pada para personel Tigapagi sendiri; sebagai pantikan kreatifitas untuk meramu album baru.
"Ini buat kami sendiri. Kami ingin balik lagi dengan energi yang baru, dengan hasil buah pikir dari temen-temen yang lebih banyak juga," aku Sigit. "Cari kemungkinan-kemungkinan dan ini distimuli oleh si konser ini sebenernya. Dengan orang baru, dengan ide-ide baru, saya bisa menemukan solusi-solusi baru," tambahnya.
Pernyataan Sigit tersebut seperti sinyal bahwa dalam album kedua Tigapagi akan terjadi perubahan, entah itu secara keseluruhan atau sebagian.
“Jelas pasti berubah, orang-orangnya berubah, entah total entah enggak, saya nggak bisa prediksi apapun. Pondasi sudah ada, pada akhirnya apa yang akan nempel di dinding, di jendela, bisa jadi bahannya berbeda, batanya warnanya apa, kalau analoginya bangunan ya,” terang Sigit.
Editor: Nuran Wibisono