Menuju konten utama

Di Antara Trompet dan Punk Rock: Redup Nyala Ska di Bali

Album ...And Out Come the Wolves (1995) milik Rancid jadi semacam portal bagi komunitas punk di Bali, melek dengan ska.

Di Antara Trompet dan Punk Rock: Redup Nyala Ska di Bali
Racun Timur Menggoda. FOTO/Bayu Andhika

tirto.id - Bali mungkin dikenal luas berkat band-band punk, folk, dan rock. Kita bisa menyebut nama seperti Superman Is Dead, Navicula, Dialog Dini Hari, hingga Jangar. Namun, salah satu musik yang punya sejarah cukup lama di Bali adalah Jamaican music.

Jamaican music cakupannya agak luas. Dimulai dari ska, lalu bermutasi menjadi rocksteady, kemudian reggae, dan bermetamorfosis lagi menjadi dub, dance hall, ragamuffin, dan seterusnya. Namun di Bali lebih dulu reggae yang masuk, kemudian (third wave) ska dan lain sebagainya.

Emma Baulch dalam buku Making Scenes: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali (2007), mencatat band reggae pertama Bali adalah Jamasyah. Setelah itu muncullah nama-nama seperti Legend, Sunshine, Reggae-Mylitis, dan lain sebagainya, yang berisi musisi-musisi lokal Bali.

“Masuknya reggae di Bali itu kira-kira akhir 1980an. Saya waktu itu masih nonton-nonton, masih groupies mereka (Legend) lah, terus saya membentuk Sunshine," kata Joni Agung, salah satu musisi reggae masyhur di Bali.

Aktifitas band-band reggae tersebut banyak terkonsentrasi di Bruna Bar yang terletak di wilayah Pantai Kuta, Denpasar. Setelah Bruna Bar tidak beroperasi pada pertengahan dekade 1990, penggiat reggae di Bali bergeser ke Apache Reggae Bar yang masih berada di satu kawasan, hingga sekarang.

Pada penghujung dekade 1990 dan awal 2000, ska mulai merebak di Bali. Meski begitu, Joni Agung mengaku sudah memainkan tembang-tembang ska milik Toots and the Maytals, sejak awal dekade 1990.

“Tapi (style) saya lebih ke Jamaican ska ya, bukan British ska,” pungkasnya. Menurut Joni Agung, di Bali ska berkembang dalam komunitas punk.

Jenis Musik Baru

Album ...And Out Come the Wolves (1995) milik Rancid jadi semacam portal bagi komunitas punk di Bali, melek dengan ska. Baru kemudian merambah ke band-band ska (third wave) lainnya.

Hal tersebut dikemukakan pula oleh Dodix, manajer Superman Is Dead (SID) yang juga seorang ska fanatik. “Yang paling sering didengar memang Rancid awalnya, tapi kemudian kami mengulik yang lain. Saya pribadi akhirnya menemukan Reel Big Fish, The Mighty Mighty Bosstones, Sublime, sampai Hepcat.”

Rancid sendiri bukan bagian dari third wave ska. Tapi lewat single “Time Bomb”, mereka memicu orang jadi tertarik dengan ska (third wave), dan itu dinyatakan oleh Tony Kanal (No Doubt) dalam sebuah wawancara, di tabloid Billboard terbitan 18 November 1995.

Desta gitaris band Adina menambahkan bahwa kultur skateboard juga memberi dampak besar bagi para anak muda yang tertarik dengan musik ska.

"Saat itu banyak anak-anak skate yang dengerin (third wave) ska.”

Argumentasinya cukup beralasan, mengingat third wave ska di Amerika memang bersinggungan dengan kultur skateboard. Contoh konkrit ada pada soundtrack gim video Playstation: Tony Hawk's Pro Skater (1999), di situ The Suicide Machines, Goldfinger, serta The Ernies, turut menyumbang karya. Sehingga secara tak langsung, gim tersebut ikut memengaruhi anak-anak muda di Tanah Air suka ska.

“Sayangnya kaset-kaset (ska) asli susah didapat di sini, tidak seperti di Jakarta atau Bandung. Jadi kebanyakan kami dapatnya yang fotocopian itu loh. Kaset-kaset fotocopian itu, dulu kami beli di toko Green Corner, yang terletak di Denpasar Utara,” jelas I Gde Lastiana alias Dedut drummer Storing.

Timeline Ska di Bali

Meski komunitas saat itu sudah aware terhadap ska, tapi menurut pengarsip musik Pande Oka Atmaja, ska (third wave) di Bali baru teraplikasi lewat empat rilisan: Rude Devils dengan self-titled (1999), Adina yang punya Rat Generation (1999), kompilasi Act To Freedom (2000), dan Percuma yang dirilis The Croto Chip (2001).

Rude Devils dan Adina sebetulnya bukan band ska, melainkan band punk rock yang kebetulan memasukkan anasir ska dalam lagu-lagunya. Bahkan nama Adina terinspirasi dari salah satu lagu Rancid. Act To Freedom, juga bukanlah kompilasi ska tulen, sebab dua dari lima band yang berkontribusi bukan band ska.

Rude Devils memainkan lima lagu yang mengandung unsur ska, berjudul “Alright”, “R.E.O.B”, “What for”, “Released Your Heart”, dan “Jobless Style”. Sedangkan dalam album Rat Generation-nya Adina, ada sekitar empat trek yang mengandung unsur ska, di awali pada bagian Introduksi, terus “Adina”, Waiting For You”, dan “Fuck Up Religion”.

Lalu dalam kompilasi Act To Freedom, ada tiga band ska lokal yang berkontribusi, yaitu; Storing yang menyumbang lagu; “Terbang”, “Dont Worry”, dan “Feeling the Same”. Bore File dengan lagu; “Friendship”, “Enjoy for Yourself”, dan “Problema”. Serta Kweker Jack dengan lagu; “Jangan”, “Masa kecil”, dan “Termenung”. Band-band ini sudah tampil dengan instrumen alat tiup.

Dari keempat rilisan itu, hanya Rude Devils yang masih aktif hingga sekarang. The Croto Chip yang diperkuat oleh Bobby Kool sebelum SID, pernah kembali aktif sekitar medio dekade 2010, tapi vakum tak lama kemudian setelah melepas album Terompet Berkarat (2016).

Di samping mereka, jejak ska di Bali bisa ditemukan pula dalam album perdana The Brews bertajuk Melodycore Never Die (2000). Dalam album tersebut, The Brews menyelipkan elemen ska dalam lagu "Why?". Menurut Copletz, drumer The Brews, lagu itu terinspirasi dari NOFX yang suka memasukkan ska di tengah-tengah lagu.

Ska Tak Lagi Populer

Namun seiring dengan over exposure ska punk/core di ranah mainstream nasional, scene ska di Bali pun ikut mengalami deklinasi.

Made Rembo menuturkan “Kweker Jack dulu pernah dijegal, dimusihin oleh komunitas, hanya karena kita mainin ska. Genre itu terlanjur dicap komersil, akhirnya kita tutup buku aja lah, dan band-band ska (seangkatan) juga pada bubar,” ujarnya.

Setelah itu Rembo pergi membentuk band punk rock, Chick Magnet dan sempat menghasilkan album, berjudul Dunia Baru (2004).

Pair A Dice

Pair A Dice. FOTO/Made Rembo

Pair A Dice live, Circa 2007. Courtesy of Made Rembo

Tetapi pada tahun 2005, Rembo kembali membentuk band ska punk bernama Pair A Dice, yang menjumput pengaruh dari Mad Caddies dan Streetlight Manifesto. Pair A Dice hanya menghasilkan satu album, bertajuk Heaven and Hell on Earth (2007). Meski materinya cukup rancak, tapi band ini pun tidak bertahan lama.

Menurunnya tren ska saat itu dirasakan pula oleh Dedut.

“Ketika di gig underground pas band punk dan hardcore (yang main), penonton pada pogo…giliran ska yang main, yang nonton pada menghindar,” kenangnya.

Toto, gitaris band Rude Devils turut berkomentar, “waktu itu yang ska-ska pada ilang, tenggelam, berganti dengan emo, metal, dan pop-punk.”

Situasi tersebut, membuat Rude Devils mengubah style bermusiknya di album kedua. “Hasilnya (album kedua) amazing sih. Yang saya sayangkan cuman lepas dari konsep ska punk yang saya suka, yang jadi jiwa saya. Tapi saat itu ska emang lagi ngga asik buat didengerin, ya sudah saya (akhirnya) ikut saja,” terang Toto.

Resureksi Ska di Bali

Diselenggarakannya Bali Skinhead Jambore pertama,yang berlangsung di Jak Resto, Kuta, pada 20 Mei 2006 Seakan memberi angin segar munculnya band-band ska generasi berikutnya. Hal itu dibenarkan oleh Ketut Alit vokalis The Harmoniska, dan Wisnu gitaris The Boldness/Racun Timur Menggoda (RTM).

Pada periode ini muncul The Harmoniska, dan Metromini. Saat itu RTM belum memainkan ska. Mereka baru memainkan ska pada album kedua For Environment (2017), itupun hanya dua lagu; “Investor Land”, dan “Party In Town”.

Yang membedakan band pengusung ska Bali periode ini dengan sebelumnya adalah pada sound-nya. Bila pada periode sebelumnya cenderung ke ska punk (imbas dari third wave ska), maka pada periode ini band-band yang eksis, lebih berkiblat ke two tone, rocksteady, bahkan tradisional ska.

Alit dan The Harmoniska

Alit dan The Harmoniska. FOTO/Super DYG

Alit performing with The Harmoniska, circa 2007. Courtesy of @superdyq

Baik The Harmoniska, dan Metromini, turut berpartisipasi dalam kompilasi Oi! Attack yang rilis di bawah bendera Indonesian Records, pada 2007. Sampai saat ini The Harmoniska masih eksis, sedangkan Metromini bertransformasi menjadi Pride of Lion.

Ska punk kembali berdenyut, berkat band punk rock asal Denpasar, Roots Radicals, yang melepas debut album The Skunk (2007). Dalam The Skunk terdapat dua lagu ska, yakni; “City Life”, dan “Just For Me And”, selebihnya mereka memainkan nomor-nomor kencang ala Rancid.

Setelah itu ska di Bali mengalami stagnasi, dalam beberapa tahun. Hingga akhirnya Dodix mengurasi delapan band lokal yang masih memainkan ska, untuk disatukan dalam proyek kompilasi Island Skank - Never Forget Your Roots yang dirilis oleh Pukul Rata Records pada Januari 2014.

Band-band yang terlibat di antaranya: The Croto Chip, Ska Teenagers Punk, Garden Grove, Roots Radicals, hingga The Kool Katz band side-project Jerinx penggebuk dram SID.

Kehadiran kompilasi itu bak oase di tengah gurun, dan menjadi bukti bahwa ska ─atau Jamaican music secara general─ di Bali tidak padam. Di era sekarang, scene ska Bali diramaikan oleh band-band semisal The Balitones, Vibration of Dance (VOD), Templar0362, Pride of Lion, Skankin’ Hawks, RTM, hingga The Eastbay. Kultur Sound System di Bali juga tumbuh subur, banyak deejays selector tempatan yang muncul seperti; Kreot Klepet, Moddes, Pandumb, Denny Candrawan, dan lain sebagainya.

Rasa-rasanya memang musik ska dan Jamaican memang sulit untuk padam, karena secara vibe Bali memang ideal bagi Jamaican music.

Baca juga artikel terkait JRENG atau tulisan lainnya dari Nor Rahman Saputra

tirto.id - Musik
Penulis: Nor Rahman Saputra
Editor: Nuran Wibisono