Menuju konten utama

Kami Biarkan Maut Rebah Sementara

Kita bisa melacak kenapa Explosions in the Sky menjadi salah satu band Texas yang berpengaruh di Amerika.

Kami Biarkan Maut Rebah Sementara
Ilustrasi Awan. foto/IStockphoto

tirto.id - Catatan Penampilan Explosions in the Sky di Soundrenaline 2023

Peringatan (trigger warning): Tulisan ini mengandung konten eksplisit percobaan bunuh diri yang dapat memicu perasaan tidak nyaman bagi pembaca. Kami menyarankan Anda tidak meneruskan membacanya jika mengalami kecemasan dan mempertimbangkan untuk meminta bantuan profesional.

***

Pada petang di penghujung Oktober 2020, Freya terus menatap kanula infus yang tertancap di punggung tangan dan lipatan lengan atas sang ibu. Perlahan, ia pun mengamati cairan yang mengalir lewat selang infusan itu. Ia dan dua adik laki-lakinya hanya berharap cairan infus itu bisa membangunkan ibunya setelah dua belas hari koma.

Freya saat itu masih bekerja sebagai manajer operasional ritel di area Bandung untuk sebuah merk sepatu lokal. Ia tahu bahwa hidup ibunya tak lama lagi. Sudah nyaris separuh dasawarsa, Ibunya mengalami autoimun PBC yang menyebabkan gagal hati. Lantaran hal itu, Freya merasa kalau maut seakan terus mengintip dari celah pintu kamar ICU Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung.

Pukul 20.15 WIB, Ibu Freya menghembuskan napas terakhirnya. Tangis Freya dan kedua adiknya pecah.

“Kami tahu saat itu kalau Ibu sudah menyusul Ayah yang lebih dahulu pergi di 2017,” kata Freya di pesan suara.

Dua jam sebelum sang ibu mangkat, Freya memutar “First Breath After Coma” dari album The Earth Is Not a Cold Dead Place milik Explosions in the Sky, lewat pemutar musik portable-nya. Ia memutar lagu itu hingga tiga kali.

Bagi Freya, album itu telah menemani masa-masa paling gulita dalam hidupnya. Jika Avianti Armand menyebut bahwa “selalu ada musik untuk setiap tragedi” di salah satu puisinya, maka bagi Freya, justru selalu ada Explosions in the Sky ketika langit seakan rubuh dan gantungan tali goni merayu untuk menyodorkan lehernya.

“Pernah lakuin percobaan bunuh diri di tahun 2018. Tali gantungan dan kursi udah siap di kamar. Tapi gagal pas inget Ibu dan denger “The Only Moment We Were Alone” waktu itu,” lirih Freya.

Tiga tahun pasca ibunya mangkat—tepatnya di medio 2023—Freya mendapati kabar bahwa Munaf Rayani dkk. bakal tampil di Soundrenaline Festival pada 2 September 2023. Ia tak perlu waktu lama untuk memutuskan berangkat ke festival itu. Setelah pengajuan cuti kerjanya diterima oleh atasan, ia langsung membeli tiket Soundrenaline 1 day pass karena hanya berniat ingin menonton Explosions in the Sky.

The Earth is Not a Cold Dead Place

Freya mengenal album The Earth Is Not a Cold Dead Place dari rekomendasi teman di kampus semasa kuliah. Sebelumnya, ia memang sudah mendengar Mogwai dalam perjalanan menyusuri direktori post-rock. Namun perkenalan dengan Explosions in the Sky terasa begitu istimewa bagi Freya. Di mana bertahun-tahun setelahnya, band asal Texas itu tak pernah luput berada di daftar putar yang sehari-hari Freya dengarkan.

Ketika waktunya tiba pada malam 2 September 2023, Freya akhirnya bisa melihat langsung semua personil Explosions in the Sky dari dekat. Tampil di panggung Next Level Stage, Munaf Rayani dkk. mulai membuka penampilan mereka dengan “First Breath After Coma”.

Ada yang menarik sejak semua personil Explosions in the Sky menaiki panggung. Ini bukan tentang bagaimana Munaf Rayani menyapa penonton dengan sambutan pendek berbahasa Indonesia. Melainkan soal bagaimana mereka terasa begitu dekat dengan penonton yang menyaksikan Explosions in the Sky malam itu.

Panggung Next Level Stage memiliki dua level: yang di depan, tingginya lebih rendah dari bagian belakang. Malam itu, semua speaker ampli beserta wheel board-nya ditaruh di bagian depan. Tidak hanya itu, set drum milik Chris Hrasky dan keyboard dari personil tambahan juga digeser ke depan. Bagian belakang panggung jadi kosong.

Jarak antar personil serta penonton yang berdekatan, memberi kesan penampilan Explosions in the Sky malam itu begitu intim.

“Sejak set awal, saya kayak ngerasa dipeluk almarhum ibu,” kata Freya.

Dari setlist Explosions in the Sky di Soundrenaline, separuhnya berasal dari album The Earth Is Not a Cold Dead Place. Mulai dari “First Breath After Coma”, “Your Hand in Mine”, hingga “The Only Moment We Were Alone”, menjadi tiga dari enam nomor yang Explosions in the Sky bawakan secara langsung.

“Saya memejamkan mata selama “Your Hand in Mine” dibawakan. Saya genggam tangan pacar saya erat-erat. Ketika menjelang akhir part, saya baru sadar kalau pipi saya sudah basah,” tutup Freya di ujung pesan suara.

Seperti halnya Freya, album The Earth Is Not a Cold Dead Place punya tempat istimewa juga bagi Gita Andani. Sebagai seorang pekerja kantoran pada satu instansi di Jakarta Timur, album The Earth Is Not a Cold Dead Place semacam ingredien keharuan dari hari-hari yang Gita lewati dalam hidup kesehariannya.

“Seems like an obvious choice, tapi bagi saya, album tersebut memang seindah itu. Saya mendengarkan banyak sekali musik post-rock (dan aliran-aliran turunan pop dan rock lainnya) dan hanya sedikit album yang saya beri nilai 10/10. Salah satunya adalah The Earth is Not a Cold Dead Place,” akui Gita di pesan balasan surel.

Lebih lanjut Gita mengaku kalau album itu telah menemaninya dalam kondisi-kondisi ketika isi kepalanya sedang riuh. “To say and evoke so much without a single word is amazing. Saat ini, saya juga sedang mengasosiasikan "The Only Moment We were Alone" dengan satu orang tertentu,” imbuh Gita.

Dalam liner-notes album The Earth is Not a Cold Dead Place, keempat personil menceritakan kisah-kisah di balik penggarapan album ketiga mereka yang dirilis oleh Temporary Residence pada November 2003 itu.

Pada musim panas tahun 2002, mereka berempat (Munaf Rayani, Michael James, Chris Hrasky, dan Mark Smith) memutuskan untuk pindah sementara ke Midland, Texas. Mereka pikir akan lebih baik untuk keluar dari Austin dan bersembunyi di suatu tempat sehingga bisa fokus menulis musik untuk album ketiga.

Mereka berempat yakin tidak banyak yang bisa dilakukan di Midland sehingga hanya ada sedikit gangguan dalam proses penggarapan album. Sesampainya di sana, mereka menghabiskan hari-hari secara terpisah.

"Michael mendapat pekerjaan di toko video, Munaf bekerja di restoran Thailand, Mark bekerja sebagai penulis serta penyunting kopi lepas, dan Chris kerap mengajak anjingnya berjalan-jalan melewati tempat parkir yang sepi. Menjelang sore, kami akan mencari makan dan kemudian berangkat berlatih. Kami memiliki ruang latihan di rubanah sebuah gedung perkantoran tua di pusat kota (yang kemungkinan besar berhantu)," tulis Explosions in the Sky dalam liner-notes.

Munaf dkk. bisa berada di sana dari jam 9 malam hingga jam 6 pagi. Mereka memasang beberapa lampu Natal dan mulai bekerja, layaknya karantina di sebuah tempat terisolir untuk penggarapan album. Beberapa minggu pertama cukup sulit. Mereka mengalami kesulitan dalam menemukan apa pun yang mereka sukai. Hal itu membuat Munaf dkk. frustrasi dan merasa putus asa.

"Suatu malam kami memutuskan untuk beristirahat dan berkendara ke Bukit Pasir Monahans, beberapa mil di luar Midland. Tempat ini sulit untuk dijelaskan. Anda hanya dikelilingi oleh gurun yang aneh dan belum tersentuh. Dan Anda bisa melihat semua bintang di langit," imbuh mereka.

Mereka berempat membawa boombox dan berbaring di pasir Monahans sambil mendengarkan musik. Untuk beberapa alasan, hal ini membuat mereka merasa lebih baik tentang berbagai hal, termasuk penggarapan album ketiga mereka. Malam berikutnya mereka kembali ke ruang latihan di rubanah mengerjakan materi baru.

"Kami tidak dapat mengingat apakah ini menjadi lebih mudah atau tidak membuat frustrasi, tetapi entah bagaimana semuanya mulai berjalan sesuai rencana. Beberapa minggu kemudian kami berkemas dan pindah kembali ke Austin [untuk menyelesaikan album The Earth is Not a Cold Dead Place," tutup mereka.

Kabut Kontroversi Explosions in the Sky

Joseph P. Fisher dan Brian Flota yang menulis The Politics of Post-9/11 Music: Sound, Trauma, and the Music Industry in the Time of Terror, menyebut bahwa lagu-lagu seperti “First Breath After Coma”, “Your Hand in Mine”, dan “Memorial”, adalah sebuah reaksi personal maupun kolektif terhadap sebuah krisis.

Stempel itu berasal dari pendedahan Joseph P. Fisher dan Brian Flota terhadap kontroversi yang menyeret Explosions in the Sky pada peristiwa 9/11. Mereka berdua melihat album The Earth is Not a Cold Dead Place adalah perpanjangan narasi dari album Explosions in the Sky sebelumnya yang menjadi kayu bakar di pendiangan media-media massa Amerika, ketika peristiwa 9/11 terjadi.

Tak lain album itu adalah Those Who Tell the Truth Shall Die, Those Who Tell the Truth Shall Live Forever yang dirilis pada 4 September 2001.

Pada tampilan sampul album kedua Explosions in the Sky itu, terlihat sebuah ilustrasi pesawat dengan lampu sorot yang mengarah ke sosok yang digambarkan seperti malaikat. Di antara sapuan awan (atau bahkan asap?) pada sampul, di bagian bawah terdapat siluet delapan orang yang menyerupai tentara, yang sedang memegang senjata api laras panjang dengan bayonet di ujungnya.

David Logan adalah sosok yang mengerjakan artwork pada sampul album kedua Explosions in the Sky itu. Ia menyebut bahwa artwork itu terinspirasi dari Angels of Mons.

Angels of Mons sendiri merupakan antologi cerita tentang kemunculan berbagai entitas supernatural yang melindungi Angkatan Darat Inggris dari kekalahan oleh pasukan penyerang Kekaisaran Jerman, pada awal Perang Dunia I selama Pertempuran Mons di Belgia pada tanggal 23 Agustus 1914.

Yang membuat album ini terasa profetik adalah fakta bahwa album ini dirilis tepat satu pekan sebelum peristiwa 9/11 terjadi. Ditambah, pada liner-notes terselip kalimat “this plane will crash tomorrow”. Bahkan beberapa bulan kemudian, Michael James ditahan di bandara Amsterdam karena di hardcase gitarnya terdapat stiker dengan kalimat yang sama.

Berbagai rumor maupun sentimen negatif dialamatkan pada Explosions in the Sky saat itu. Terlebih saat banyak orang tahu bahwa Munaf Rayani adalah seorang muslim keturunan India-Pakistani dan besar di keluarga Syiah Ismaili.

Dalam wawancara Joseph P. Fisher dan Brian Flota dengan Chris Hrasky yang juga termaktub di buku mereka berdua, Hrasky membantah semua keterkaitan maupun framing kebanyakan media Amerika tentang Explosions in the Sky dengan peristiwa 9/11.

“Seolah-olah mereka sedang memburu kita untuk mengatakan sesuatu seperti, “Kami tahu hal itu [9/11] akan terjadi” atau bahwa kami mempunyai firasat atau semacamnya. Kami akan memberi tahu mereka bahwa sampul album dan liner-notes telah diselesaikan enam bulan sebelum 9/11, dan beberapa jurnalis tampak kecewa dengan jawaban itu,” bantah Hrasky dalam wawancara.

Bahkan Hrasky juga membantah koneksi atau cocoklogi menjijikkan tentang Explosions in the Sky yang berasal dari kota yang sama dengan presiden—yang oleh Hugo Chavez disebut sebagai si keledai dan pemabuk—Bush. Baik Explosions in the Sky dan Bush berasal dari kota Texas.

Kendati demikian, Hrasky tak menampik jika kemudian album kedua dan ketiga mereka dimaknai secara politis oleh pendengar. Entah lewat bagaimana mereka menyusun konsep album, judul lagu, komposisi auditif, atau bahkan “kode” lain yang terserak di liner-notes.

“Jadi saya kira dalam beberapa hal, itu [album Explosions in the Sky] bisa dianggap politis. Sejauh menghubungkan antara musik dan politik kami: hanya karena kami berempat di band tidak menampilkan hal tersebut, bukan berarti argumen tersebut tidak valid. Hal ini kembali lagi pada cara orang melihat rekaman kami sendiri,” tutup Hrasky dalam wawancara.

Menurut Archy Sinatrya, seorang pekerja yang tinggal di Tangerang dan menyaksikan juga penampilan Explosion in the Sky di Soundrenaline, menganggap bahwa album Those Who Tell the Truth Shall Die, Those Who Tell the Truth Shall Live Forever punya ‘keanehan’ tersendiri.

“Sebagai orang grafis, saya melihat mood album art-nya [Those Who Tell the Truth Shall Die, Those Who Tell the Truth Shall Live Forever] lebih gelap dari album yang lain. Kontroversi di album ini bagi saya cuma kebetulan ataupun cocoklogi, sama seperti rumor yang beredar tentang Abbey Road-nya The Beatles,” kata Archy di pesan surel.

Explosions in the Sky di Urat Sinema Amerika

Kurang lengkap rasanya jika membicarakan Explosions in the Sky tanpa membahas katalog mereka dalam sinema. Karya-karya Explosions in the Sky seringkali menjadi soundtrack maupun theme-song beberapa program komersil di TV, film layar lebar, bahkan untuk video game. Dari mulai mengisi soundtrack serial drama Friday Night Lights, sampai jadi pengisi di cuplikan Street Fighter V.

Kita bisa melacak kenapa Explosions in the Sky menjadi salah satu band Texas yang berpengaruh di Amerika, terutama ketika menjadi pengisi soundtract maupun scoring film.

Dalam kesaksian Explosions in the Sky kepada harian Texas Monthly, mereka berempat mengaku pertama kali bertemu di Milto's, sebuah restoran Italia yang jaraknya cukup dekat Universitas Texas. Di sana, mereka bersaksi bahwa Explosions in the Sky terbentuk karena kecintaan yang sama terhadap Bottle Rocket karya Wes Anderson.

Bottle Rocket sendiri merupakan film drama komedi-kriminal karya Wes Anderson, yang menceritakan soal sekomplotan sahabat yang menyusun rencana perampokan sederhana sekaligus skenario pelariannya. Namun, petualangan mereka ternyata jauh dari apa yang diharapkan siapa pun, termasuk penonton.

Bahkan nama pertama yang dipakai sebelum akhirnya mereka berempat sepakat untuk memakai Explosions in the Sky, diambil dari sebuah judul film asal Australia: Breaker Morant.

“Menurut anggota band lainnya, Michael James adalah vokalis yang tangguh. Namun mereka ingin membuat musik dengan kualitas sinematik, tidak seperti band post-rock Skotlandia Mogwai,” tulis Joe Levin masih dari artikel di Texas Monthly.

Sejak awal, film telah menjadi bagian integral dari DNA Explosions in the Sky. “Sebelum kami bergabung dengan band ini, kami berempat sudah yakin bahwa kami akan terjun ke dunia film,” kata Rayani kepada Joe Levin.

Awalnya Hrasky sedang mengerjakan sebuah film dokumenter, sementara tiga anggota lainnya akan syuting film Super 8 dan menulis musik untuk mengiringi mereka. “Saat kami membuat musik pendek Super 8 kami sendiri, musiknya menjadi sedikit lebih mudah dibandingkan pembuatan filmnya,” imbuh Rayani.

Produser film Kat Candler, bekerja dengan Hrasky di toko buku independen BookPeople di Austin, dan akhirnya menggunakan lagu-lagu dari album debut Explosions in the Sky di filmnya tahun 2000, Cicadas.

Momen itu menandai pertama kalinya musik Explosions in the Sky digunakan di film layar lebar. “Ada sesuatu yang istimewa dari orang-orang ini [Explosions in the Sky] dan musik mereka. Suara, emosi, dan sinema yang dapat Anda rasakan, benar-benar membuka narasi di kepala Anda,” akui Candler soal karya-karya Explosions in the Sky dalam mengisi soundtrack atau scoring film.

Archy juga salah satu pendengar sekaligus yang mengikuti karya-karya Explosions in the Sky di film-film. Salah satunya adalah Lone Survivor, yang merupakan film drama perang Amerika Serikat pada tahun 2013 yang diproduseri sekaligus disutradarai oleh Peter Berg.

Dalam film yang menceritakan tentang pasukan Navy SEAL yang terkepung oleh pasukan Taliban dan harus bertahan hidup atau mati itu, Explosions in the Sky menjadi pengisi music scoring bersama dengan Steve Jablonsky.

“Film [Lone Survivor] diawali pakai track “Waking Up” yang ciamik. Keseluruhan film makin dramatis karena lagu-lagu dari Explosions in the Sky. Sampai sekarang Lone Survivor masih jadi salah satu film perang terbaik menurut saya,” imbuh Archy di pesan surel.

Selain Archy, Gita juga punya film favorit di mana Explosions in the Sky jadi pengisi music scoring-nya. Film yang dimaksud Gita adalah Me and Earl and the Dying Girl yang disutradarai oleh Alfonso Gomez-Rejon pada tahun 2015.

“Karena salah satu lagu mereka [Explosions in the Sky], “Remember Me as a Time of Day” menjadi salah satu pengisi soundtrack di film itu [Me and Earl and the Dying Girl]. Kebetulan, sinopsis ceritanya pun menarik perhatian saya sehingga saya langsung gercep menonton film itu. Air mata saya banjir ketika lagu itu dimainkan di adegan klimaks dalam film,” akui Gita.

Malam Ekstatik dan Post-Concert Depression

“I still haven't recovered from post-concert depression as I'm writing this,” kata Gita saat menjawab pertanyaan wawancara saya tentang impresi dari konser Explosions in the Sky di Soundrenaline.

Gita menambahkan kalau penampilan Explosions in the Sky telah sesuai harapannya. Pengalaman yang terasa sangat singkat itu begitu intens. Hanya dengan sedikit usaha—hadir 4 jam sebelum penampilan mereka—Gita berhasil mendapatkan posisi terbaik untuk menyaksikan Explosions in the Sky: barisan paling depan dan paling tengah.

“Nyawa saya seperti disedot ketika mereka membuka dengan “First Breath After Coma”,” imbuh Gita.

Gita merasa beruntung juga ketika ia bisa mendengarkan pembuka album Those Who Tell the Truth Shall Die, Those Who Tell the Truth Shall Live Forever, yakni “Greet Death”, secara langsung.

Namun yang kemudian membuat konser Explosions in the Sky itu menjadi arena ekstase, berada di momen ketika mereka membawakan nomor penutup. Nomor yang di banyak setlist penampilan Explosions in the Sky selalu menuai takjub, dan sesekali Munaf Rayani membanting Lake Placid Blue Fender Stratocaster-nya: “The Only Moment We Were Alone”.

Gita ingat persis bahwa malam itu hujan sudah mulai turun di penghujung “Your Hand in Mine”. Langit seolah turut menangis saat penampilan Explosions in the Sky berlangsung. Puncaknya, hujan kian menderas saat Explosions in the Sky membawakan “The Only Moment We Were Alone”. Gita menilai nomor itu menjadi sebuah penutup yang layak bagi penampilan Explosions in the Sky malam itu.

Bagi Gita, jika mesti menyebut siapa sosok krusial pada penampilan Explosions in the Sky di Soundrenaline, sosok itu jatuh kepada Chris Hrasky. “Semua gitaris terlihat sangat menghayati musik yang mereka bawakan, tapi Chris-lah yang menjadi "detak jantung" mereka. Jangan lupa, Chris jugalah yang mencetuskan frasa “explosions in the sky” sebagai nama band mereka," tutup Gita.

Selain Gita, Archy juga merasakan rasa syukur pasca menyaksikan penampilan Explosions in the Sky secara langsung. Ia bersyukur karena masih bisa diberi kesempatan dekat dengan orang-orang yang kita sayangi.

“Paling kena di track “Your Hand in Mine”, gara-gara dulu liat fanmade MV di channel YouTube otherwisepandemonium,” jawab Archy ketika ditanya nomor mana yang punya kesan luar biasa saat Explosions in the Sky membawakannya secara langsung.

Salah satu bucket list akhirnya bisa dicoret Archy tahun ini karena berhasil menyaksikan penampilan Explosions in the Sky. Di malam itu, Archy juga menganggap kalau Explosions in the Sky sudah selayaknya tidak berada di panggung utama yang lebih besar. Menurutnya, jika Munaf Rayani dkk. tampil di A Stage yang lebih besar, niscaya bakal mengurangi keintimannya.

“Rasanya nggak percaya bisa liat band idola setelah 14 tahun dengerin lagu-lagunya. Impresinya? Kurang lama maennya! Hahaha,” tutup Archy di balasan pesan suara.

Seperti halnya Gita dan Archy, Freya juga pulang dari Soundrenaline hari pertama dengan hati penuh. Selepas malam ekstatik itu, ia dan pacarnya langsung bertolak kembali ke Bandung karena esoknya ada acara keluarga.

“Tubuh saya memang ada di mobil yang melaju pulang ke Bandung malam itu. Tapi nyawa saya serasa tertinggal di Pantai Karnaval Ancol,” pungkas Freya soal apa yang ia rasakan pasca menyaksikan penampilan Explosions in the Sky.

Enam tahun lalu, saya sebenarnya telah menyaksikan penampilan Explosions in the Sky ketika tampil di The Coliseum, Singapura. Saya masih bekerja di sebuah perusahaan manufaktur milik keluarga Kalla dan sedang ditempatkan di Batam.

Ketika ada kesempatan kedua untuk menyaksikan kembali mereka di kota tempat saya berdomisili sekarang (baca: kuburan masa depan), tentu tidak bisa saya lewatkan begitu saja.

Seperti halnya Gita, Archy, maupun Freya, saya juga merasa takjub dan bersyukur bisa melihat penampilan Munaf Rayani dkk. malam itu. Tepukan seorang sahabat sekaligus kolega kantor malam itu, ditambah putaran gelas anggur lokal, sudah cukup membuat malam 2 September itu begitu purna bagi saya.

Tak ada lagi perangko jamur lysergic yang saya tempel di langit-langit mulut, yang membuat saya teler ketika menyaksikan separuh set Explosions in the Sky di The Coliseum pada waktu silam. Di depan Next Level Stage, hujan yang tiba-tiba turun, dan babakan akhir “The Only Moment We Were Alone”, hanya asin dari air mata yang terasa di lidah saya.

Baca juga artikel terkait JRENG atau tulisan lainnya dari Fajar Nugraha

tirto.id - Musik
Penulis: Fajar Nugraha
Editor: Nuran Wibisono