tirto.id - Diakui atau tidak, kehadiran Barasuara, grup rock asal Jakarta, telah membikin obrolan kancah musik independen kian menarik untuk disimak. Tentu saya tidak asal mengobral pujian. Indikatornya cukup banyak.
Barasuara, misalnya, membuat penggunaan lirik berbahasa Indonesia kembali terdengar seksi. Mereka juga menjadi contoh band yang dikelola dengan baik dan benar sehingga dapat hidup serta berdikari di luar hitung-hitungan berapa banyak album yang berhasil dijual. Dan jangan lupakan pula berkat Barasuara, batik lebih digandrungi anak-anak muda dan istilah “polisi skena” dirayakan secara gegap gempita di tiap konser.
Tak heran bila dari situ, popularitas Barasuara dalam beberapa tahun terakhir seperti tanpa tanding. Panggung-panggung, baik yang skala kecil maupun besar, rutin mereka okupasi. Jumlah fans mereka, Penunggang Badai (nama yang elegan, bukan?), pun tersebar di seantero negeri; militan, loyal, serta segenap hati mendukung band yang beranggotakan Iga Massardi (gitar), TJ Kusuma (gitar), Gerald Situmorang (bass), Marco Steffiano (drum), Asteriska (vokal), dan Puti Chitara (vokal) ini.
Terjebak dalam Patron yang Sama
Album debut Barasuara dilepas pada 2015. Judulnya cukup nyaring: Taifun. Tak lama usai rilis, album dengan gambar sampul yang dibikin seniman visual bernama Rewinda Omar ini langsung mendatangkan sensasi. Barasuara seperti meneteskan kesegaran di tengah gelombang folk yang tengah menyapu kancah musik arus pinggir.
Pujian yang ditujukan kepada album tersebut mengalir begitu deras. Indra Lesmana, misalnya, menyebut Barasuara sebagai band dengan kualitas bernas di Indonesia. Sementara Abdee Negara, gitaris Slank, bahkan mengatakan bahwa Barasuara mengingatkan dirinya pada band progresif rock asal Inggris, King Crimson.
Selain banjir pujian, Taifun juga diganjar banyak penghargaan. Mulai dari Pendatang Terbaru Terbaik dan Produksi Alternatif Terbaik dalam hajatan AMI (Anugerah Musik Indonesia) hingga Best Live Act dalam Rolling Stone Editors’ Choice Awards yang diselenggarakan majalah Rolling Stone Indonesia.
Saya sebetulnya tak kelewat suka dengan Taifun (kecuali dengan cover albumnya). Hemat saya, Barasuara terlalu mendramatisir aspek kemegahan di tiap lagu. Album ini berupaya menawarkan klimaks kepada para pendengar yang, sayangnya, justru berakhir antiklimaks. Hanya satu nomor yakni “Api & Lentera” yang menurut saya dibikin dengan racikan yang pas. Selebihnya, Barasuara tak ubahnya seperti band-band New York yang berusaha keras menghidupkan marwah rock usai Interpol melepas Turn On the Bright Lights (2002).
Butuh waktu sekitar empat tahun bagi Barasuara untuk merilis album barunya, Perjalanan dan Pikiran. Dalam keterangan resminya, Barasuara menyebut bahwa album ini adalah gambaran soal kalut dan harapan, yang dibungkus dalam bentuk musikal. Atau dengan kata lain, Barasuara ingin menyajikan memoir tentang kompleksitas perasaan, ekspektasi, kebahagiaan, kekecewaan, dan naik turunnya mental manusia.
Album Pikiran dan Perjalanan berisikan kalimat dan kata-kata yang ditulis dengan sangat personal terhadap setiap kejadian; tentang bertahan hidup, tentang melaju, dari dalam gelap, dan merayakannya. Dengan kata lain, Barasuara, lewat album barunya, ingin mengajak para pendengar dan Penunggang Badai untuk tetap menancapkan harapan, optimisme, dan mimpi yang menyala terang di tengah hidup yang tak baik-baik saja.
Belum sampai album tersebut keluar seutuhnya, kritik sudah lebih dulu bermunculan. Raka Ibrahim, dalam tulisannya berjudul “Mencari Guna Barasuara” yang dipublikasikan Jurnal Ruang, ambil contoh, mencela habis-habisan materi anyar Barasuara. Begini bunyi salah satu kritikannya:
“Ayolah. 'Guna Manusia' terdengar seperti jerit minta tolong band yang kehilangan arah, yang tak tahu di mana ia mesti berpijak. Pada haribaan lick gitar liar dan chorus penggebrak stadion yang mereka kenal dengan pastikah? Atau pada pelukan warm tone dari synthesizer yang begitu menggoda? Mereka tidak memilih sisi mana pun secara simpul. Imbasnya, Barasuara mencomot kedua pengaruh tersebut secara berantakan.”
Album Pikiran dan Perjalanan memuat sembilan track. Lagu pertama adalah “Seribu Racun” yang bertempo cepat. Selanjutnya ada “Guna Manusia” yang kental akan warna indie-rock. Gebukan drum Marco di lagu ini begitu bertenaga dan tanpa kendor.
Sementara di “Pancarona,” Barasuara sedikit menurunkan intensitas: mencoba menawarkan balada yang lembut sekaligus lambat. Dua nomor berikutnya, “Tentukan Arah” dan “Masa Mesias Mesias,” Barasuara memasukkan nada-nada dari Timur. Malah, di nomor yang disebut terakhir, terdapat sentuhan dangdut yang mengajak pendengar untuk (sedikit) bergoyang. Lalu di tiga nomor menjelang penutup, “Haluan,” “Samra,” serta “Tirai Cahaya,” Barasuara semakin menginjak pedal gasnya.
Nyaris tak ada perbedaan signifikan yang muncul dalam album ini bila dibandingkan album mereka sebelumnya. Barasuara masih mempertahankan signature yang sama: lagu-lagu energik yang (sengaja) dibikin untuk mengundang koor massal para Penunggang Badai di tiap konser-konser yang mereka sambangi.
Mungkin yang jadi pembeda yakni peran Iga Massardi. Di Pikiran dan Perjalanan, Iga tak lagi malu-malu untuk unjuk kemampuan dalam kapasitasnya sebagai sosok frontman. Iga lebih berani memainkan gitarnya, mengisi ruang-ruang kosong dengan distorsi yang menggelegar, serta beberapa kali pamer solo yang berkualitas. Contoh terbaik bisa Anda simak lewat “Masa Mesias Mesias.”
Namun, rasanya itu saja yang jadi daya tarik dalam album ini. Waktu empat tahun kiranya tidak dimaksimalkan dengan baik oleh Barasuara untuk mengembangkan elemen-elemen baru. Barasuara masih terjebak dalam patron yang sama, yang jika makin diselami lebih dalam, makin kelihatan betapa membosankannya musik mereka.
Formula lagu-lagu megah dengan nada-nada yang saling ditabrakan agar mampu menghasilkan senyawa fusion yang menggoda kali ini tidak membuahkan hasil maksimal. Banyak nomor di Pikiran dan Perjalanan malah berujung klise. Salah duanya yaitu “Tentukan Arah” dan “Pancarona.” Pada dua lagu tersebut, Barasuara seperti tak tahu ingin memainkan musik seperti apa dan sebagai solusinya mereka hanya melakukan repetisi (mencakup struktur nada hingga melodi) sebagaimana yang terjadi dalam Taifun.
Keadaan yang serupa juga tersaji pada tema lagu-lagu di Pikiran dan Perjalanan. Barasuara terlampau nyaman menjalani perannya sebagai sosok protagonis yang menyebarkan pesan maupun harapan yang baik di tengah hidup yang amburadul. Barasuara lebih mirip guru moral atau motivator di layar kaca yang senantiasa berkhotbah soal pentingnya optimisme, senyum di atas penderitaan, hingga ajakan untuk tetap bersemangat menghadapi realita yang seringkali tak sesuai ekspektasi.
Sebagai band yang sudah punya reputasi menjulang, Barasuara setidaknya bisa membikin album lebih dari ini. Dengan kualitas personel yang mumpuni maupun kolektivitas yang begitu solid, Barasuara tak seharusnya terjebak dalam hal-hal yang klise, menjual barang yang sudah basi, serta mampu menciptakan kebaruan dalam karyanya. Album Pikiran dan Perjalanan selayaknya punya “bara” dan “suara,” alih-alih hanya terpaku pada jalur yang itu-itu belaka.
Namun, siapa juga yang peduli, bukan? Selama konser-konser mereka sold out dan barisan Penunggang Badai yang militan itu bisa bernyanyi bersama dengan idolanya, album dengan kualitas biasa saja pun kiranya termaafkan.
Editor: Nuran Wibisono