tirto.id - “Pernah dengar istilah grumpy old man?” tanya Arian Arifin.
Saya, berdiri dua meter di depannya, mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Ya itulah kami,” sambung Arian, ditimpali tertawa orang satu ruangan.
Grumpy old man adalah istilah untuk menyebut orang-orang yang makin tua makin gemar menggerutu. Di dunia kesehatan bahkan ada istilah grumpy old man syndrome, sindrom pria tua penggerutu, biasanya menyerang mereka yang memasuki usia kepala tujuh.Tanda-tandanya, antara lain: mudah merasa depresi, kecemasan yang meningkat, gampang tersinggung, hingga menyusutnya kemampuan bercinta.
Saya jelas tak tahu apakah personel Seringai mengalami penyusutan kemampuan bercinta atau tidak tapi satu yang pasti: mereka jauh sekali dari kesan pria penggerutu. Arian 13, Ricky Siahaan, Edy Khemod, dan Sammy Bramantyo tak akan menyangkal kalau diri mereka bertambah tua. Uban mulai tumbuh. Perut mulai ditimbuni lemak —kecuali Sammy. Namun mereka tetap tahu bagaimana cara untuk bersenang-senang layaknya remaja baru puber.
“Kami serius dalam bersenang-senang,” kelakar Ricky.
Sore itu (11/7), saya dan beberapa orang wartawan lain, juga belasan Serigala Militia (sebutan penggemar Seringai) datang untuk sesi mendengarkan album baru Seringai, band rock yang mulai memanaskan area moshpit sejak 2002. Album ini istimewa karena beberapa alasan.
Pertama, ini adalah album perdana sejak enam tahun terakhir. Rasanya jeda begitu lama ini bisa dimaklumi karena kesibukan para personel. Arian menjadi ilustrator. Sammy lama jadi penyiar radio, dan bersama Arian serta beberapa orang kawan lain, membentuk unit usaha Lawless —dari distro hingga salah satu restoran burger paling rock n roll di Jakarta. Ricky, selain jadi manajer Iko Uwais, adalah penulis musik masyhur yang membidani lahirnya Rolling Stone Indonesia dan tetap ada sewaktu majalah ini tutup buku. Sedangkan Khemod adalah direktur kreatif rumah produksi Cerahati.
“Kami tidak seperti beberapa musisi yang mengabdikan diri khusus untuk musik, karena kami juga harus kerja,” kata Khemod.
Alasan kedua yang membuat album ini spesial adalah apa yang dijawab oleh Arian dengan metafora grumpy old man: kemarahan.
Lawan dari istilah grumpy old man adalah angry young man. Istilah ini dibuat oleh penulis Irlandia Leslie Paul sebagai judul buku otobiografinya. Istilah itu kemudian dipakai untuk menggambarkan sindikasi novelis dan penulis drama yang berasal dari kelas pekerja Inggris di era 1950-an. Anak muda memang selalu diliputi sifat yang berapi-api. Penuh gairah dan hormon masa muda yang meledak-ledak. Maka bisa disaksikan, banyak karya seni terbaik dihasilkan ketika seseorang masih berusia muda.
Pada 2007, Seringai merilis album kedua, Serigala Militia. Meskipun mereka tak pernah memposisikan diri sebagai musisi politis, tapi tak ada yang bisa menyangkal kalau ada luapan kemarahan yang amat politis di album itu. Terutama di “Mengadili Persepsi”. Mereka adalah angry young men di sana.
Diawali dengan teriakan individu merdeka yang lantang, disertai kepalan tangan kiri ke udara —bisa ditengok di video klip buatan Anton Ismael— lagu ini tak hanya menghantam telinga, melainkan juga pikiran. Menyerap semangat lirikal Manic Street Preachers, “Mengadili Persepsi” adalah acungan jari tengah pada kaum fasis, terutama fasis beragama. Bahkan setelah lebih dari satu dekade, anthem ini tetap relevan, dan sedihnya, makin relevan di Indonesia kiwari.
Privasi. Seni.
Siapa engkau yang menghakimi?
Masih banyak masalah, dan lebih krusial,
tidak bicara asal.
Mereka bermain Tuhan.
Merasa benar, menjajah nalar.
Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.
Berikutnya!
“Jadi, apakah kemarahan itu masih ada?” tanya saya.
Ricky menjawab tegas bahwa kemarahan itu masih ada. Di antara empat personel Seringai, tiga orang sudah jadi bapak, ini jelas mengubah banyak hal. Kemarahan yang mereka lepaskan satu dekade lalu menjelma ganda jadi kemarahan dan kekhawatiran.
“Secara pribadi, saya malah semakin marah, karena sekarang risikonya anak gue, anak-anak kita,” ujar Ricky.
“Sampai kapanpun kami akan tetap marah. Tapi caranya berbeda. Kalau dulu (teriak) ANJEEEEENG! Kalau sekarang (berbisik) anjing,” timpal Arian.
Hal yang sama juga disampaikan Khemod. Ia mengakui bahwa: umur punya andil dalam menentukan sikap. “Dengan berjalannya umur, kami menemukan formula untuk mengemas kemarahan itu dengan fun, in a smarter way,” ujar drummer penggemar prog rock ini.
“In a dumber way, malah,” kata Arian meledek.
“It’s so stupid, it’s smart,” koreksi Sammy sambil tertawa.
Seringai memang tak melulu terbuat dari api kemarahan. Mungkin ini yang membedakan Seringai dengan banyak band berbahan bakar kemarahan lain. Seringai tahu cara untuk bersenang-senang. Di sela marah dan menggalang kesadaran pendengar, mereka menyelipkan pesta, moshing, sci-fi, juga kehidupan di atas roda.
Itu kembali tercermin di album barunya. Album penuh ketiga ini berjudul Seperti Api. Isinya 12 lagu, terdiri dari satu lagu intro dan 11 lagu full. Single pertamanya , “Selamanya”, sudah dirilis beberapa minggu lalu. Video klip lagu itu menunjukkan bahwa meski mereka semakin berumur, tapi mereka enggan berhenti bersenang-senang.
Jika dibandingkan dengan Taring (2012), Seperti Api lebih ada di atas. Jika Seringai di Taring tampak terlalu asyik sendiri, Seperti Api lebih cakap memotret isu-isu sosial terkini. Ia terdiri dari keseimbangan antara keinginan luhur bersenang-senang, kemarahan yang lebih tertata rapi, juga tema-tema kecil lain yang jadi sempalan.
Dalam “Disinformasi”, Seringai membicarakan tentang hoaks yang begitu cepat menyebar. “Omong Kosong” adalah lagu ledekan untuk tukang bacot yang dikemas dengan menyenangkan. Bikin orang melompat-lompat sembari tertawa. Sedangkan “Adrenaline Merusuh” punya kekuatan yang serupa dengan “Selamanya”, jenis lagu yang bisa membuat penonton manapun jejingkrakan dan lupa umur.
Seringai menggandeng biduanita Danilla Riyadi di tembang “Ishtar’s Cult”. Kehadiran musisi yang merilis album Lintasan Waktu di 2017 silam itu berhasil sedikit mengubah aura musikal Seringai. Sedikit mengawang, dengan percikan doom yang cukup kental.
Lagu “65” berkisah tentang tragedi paling kelam dalam sejarah Indonesia. Arian adalah salah satu yang punya ikatan personal dengan tragedi ini. Kakeknya, Sindoedarsono Soedjojono, adalah seniman lukis berjuluk Bapak Seni Rupa Indonesia Modern yang menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat. Nenek Arian, Mia Bustam, berulang kali dipenjara tanpa pengadilan selama pemerintahan Orde Baru. Pengalaman pahit itu yang kemudian dijadikan buku Dari Kamp ke Kamp: Catatan Seorang Perempuan (2008).
Namun lagu ini tak dimaksudkan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang enggan terang-terangan mengakui dosa masa lampau itu. “Ini lebih ke pelajaran sejarah saja,” kata Arian.
“Bisa dibilang targetnya adalah generasi berikutnya, anak-anak usia 15-16 yang suka metal dan denger lagu ini. Semoga mereka mencari tahu, kalau bisa melawan,” sambung Khemod.
Secara musik, apa yang disuguhkan oleh Seperti Api…ya seperti Seringai yang dikenal selama ini. Suara gitar yang tebal dan galak. Bass yang luwes tapi tetap tegas. Drum yang gedebukan, tapi berperan penting dalam menentukan mood lagu —salah satu ciri khas Seringai adalah gebukan drum yang berhenti sebentar, untuk kemudian disambung teriakan atau musik lagi. Dan vokal, ya vokal Arian yang menggeram dan kadang susah untuk didengarkan, butuh satu dua kali dengar untuk paham apa yang ia teriakkan. Namun seperti biasa pula, Arian menebusnya dengan penulisan lirik yang subtil dan langgas.
“Untuk sound, awalnya kami pengen sesuatu yang berbeda. Karena tim yang bekerja di produksi album ini adalah orang-orang yang sama di album sebelumnya. Karena takut sama, kami coba meramu sesuatu yang berbeda. Tapi ujung-ujungnya tergantung alat. Jadi pakai apa yang ada. Mungkin sebenarnya yang lebih enak di kuping gue aja sih, gak ada formulasi. Yang penting terdengar modern, berat, fresh, tapi tetap terdengar Seringai,” kata Ricky yang bertindak jadi produser di album ini.
“Itu yang gue dapatkan dari sudut pandang produser. Kami mau mainnya seprogress apapun, selama yang mainnya tetap ini-ini saja, akan selalu tetap terdengar Seringai. Entah ini karena keterbatasan skill kami, atau ya udah memang ya ini Seringai. Kami saling menerima saja, dan cari jalan tengahnya.”
Ciri dan benang merah yang amat terang ini sebenarnya punya dua sisi. Di satu sisi, ini membuktikan bahwa karakter Seringai sudah terbentuk, amat melekat di kuping dan ingatan penggemarnya. Ini seperti melongok, katakanlah, Motorhead, AC/DC, atau Slayer. Namun di sisi lain, ini bisa melahirkan kejumudan, baik bagi pendengar maupun bagi Seringai.
Walakin, Seperti Api adalah album yang unggul. Album yang direncanakan rilis akhir Juli atau awal Agustus 2018 ini tampil segar —terutama berkat lagu “Omong Kosong” yang ultra asyik itu. Di luar segala hal musikal, album ini adalah pembuktian Seringai, bahwa mereka belum menjadi kumpulan pria tua yang gemar menggerutu, tidak pula terjebak sebagai gerombolan pemuda pemarah.
Mereka adalah pria paruh baya yang tahu betul cara bersenang-senang.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti