tirto.id - Setidaknya, sebelum era webzine, menjadi jurnalis musik adalah mimpi basah. Ia termasuk salah satu pekerjaan impian. Bertemu dengan musisi idola, menyaksikan konser, dan dibayar. Apa yang lebih enak ketimbang itu? Tentu ada kerja keras, dikejar deadline, atau harus mewawancara musisi menyebalkan. Tapi itu lebih sebagai bagian dari pekerjaan, bukan hal yang benar-benar bikin darah tinggi.
Jika berbicara jurnalisme musik, nama Rolling Stone jelas tak bisa dilepaskan. Majalah musik yang pertama terbit pada 1967 ini bisa dibilang meletakkan standar baru dalam dunia jurnalisme musik. Seperti yang pernah dibilang oleh penulis musik Gene Sculatti: dalam semalam, Rolling Stone membuat jurnalisme musik jadi lebih profesional.
Liputan Rolling Stone banyak dipuji. Ia memperlakukan musik tidak sekadar sebagai hiburan atau bisnis semata. Tapi juga ada kisah hidup, dongeng, omong kosong para bintang rock. Dengan kata lain: mereka meletakkan musisi sebagai manusia yang punya banyak kisah menarik untuk diulik. Begitu pula wawancaranya yang padat berisi.
Rolling Stone datang ke Indonesia pada 2005. PT a&e Media memboyongnya. Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang menghadirkan Rolling Stone. Selain di Indonesia, Rolling Stone di Asia hanya terbit di Jepang (2007), India (2008), dan Cina (2006) --yang berhenti terbit dalam waktu setahun. Edisi pertama RSI terbit pada Mei 2005, dengan gambar sampul Bob Marley. Ia juga membahas tentang Linkin Park, Metallica, Britney Spears, hingga Slank.
Baca juga:Kita Kekurangan Penulis Musik yang Kreatif
Dalam perjalanannya, tim redaksi RSI adalah perwujudan dari tim impian di industri musik. Adib Hidayat sebagai Pemimpin Redaksi pernah berkarir di Pikiran Rakyat, MTV Trax, hingga Warner Musik Indonesia. Ricky Siahaan saat itu dikenal sebagai gitaris Stepforward dan produser di MTV On Sky. Wendi Putranto sudah menulis musik sejak 1996 dan menjadi manajer The Upstairs. Begitu pula nama lain yang punya pengalaman panjang di dunia musik Indonesia. Mulai dari Hasief Ardiasyah, Wening Gitomartoyo, juga Soleh Solihun yang bergabung pada 2008.
RSI kemudian memang memacak standar baru dalam penulisan musik di Indonesia. Tulisan-tulisan di dalamnya jelas lebih panjang dan mendalam ketimbang majalah musik lain. Mereka juga menerbitkan tulisan-tulisan eksklusif dari Amerika Serikat.
Bekerja di RSI kemudian menjadi cita-cita banyak penulis musik muda. Apalagi setelah membaca wawancara Wendi Putranto di situs Jakartabeat. Wenz, panggilan akrab Wendi, menggambarkan bagaimana suasana kerja di majalah musik terbesar Indonesia.
"Cukup mirip dengan yang anda lihat di film Almost Famous, hehe. Malah terkadang menurut saya jauh lebih mendebarkan dan tidak dimiliki oleh RS USA. Rock & Roll memang sejatinya tinggal permanen di kantor kami. Suatu sore tiba-tiba bisa menyaksikan Shaggydog melakukan sound check pada lagu favorit Anda di belakang kantor. Mendengar Bimbo menyanyikan 'Tuhan' dan kami kira MP3 padahal mereka sedang soundcheck. Menemukan Ahmad Albar tengah diam terpukau mengamati cleveage Britney Spears di koridor depan kantor kami. Terlibat obrolan inspirasional dengan Fariz RM di beranda belakang, atau sekadar menyaksikan sesi pemotretan Club 8 di pinggir kolam renang kantor. Belum termasuk malam-malam menyaksikan aksi panggung Santamonica dari atas rooftop kantor, hehe. Juga bersyukur bisa menyaksikan live show para musisi legendaris negeri ini hanya dengan berdiri di halaman belakang kantor anda sendiri. Sebut saja mulai dari Koes Plus, God Bless, Fariz RM, The Rollies dan nanti Iwan Fals! Dan, pssstt, kami juga punya bar di bawah ruang kerja kami, berikut tangga akses untuk madol yang sialnya belakangan ini selalu digembok oleh HRD. Terkadang ditambah bonus traveling keliling dunia gratis untuk meliput musik, dan anda digaji pula untuk melakukan semua itu."
RSI memberikan banyak kesempatan bagi penulis muda maupun kontributor untuk menulis di sana. Maka bermunculan nama-nama penulis musik yang sebelumnya tak banyak dikenal. Berkat RSI, karier mereka di dunia jurnalisme musik terbuka makin lebar. Sebut saja Fakhri Zakaria, Idhar Resmadi, Samack, Ardi Wilda, Ayos Purwoaji, hingga Soni Triantoro.
Namun kemudian RSI menghadapi tantangan besar berupa webzine. Menulis musik kini bukan hanya domain para jurnalis profesional. Penulis amatir yang berangkat dari blog, juga bisa mengunggah reportase atau review sendiri. Beberapa orang membuat webzine, yang pada akhirnya juga melahirkan para penulis-penulis baru.
Keadaan ini kemudian melahirkan pertanyaan: apakah menulis musik harus menjadi wartawan profesional dan penuh waktu? Pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya seiring banyaknya webzine musik yang muncul --tapi juga tumbang dengan cepat. Karena kebanyakan webzine itu dikelola dengan semangat bersenang-senang. Ketika rasa bosan menjalar atau kesibukan mengambil alih, ya tinggal menunggu kematian saja.
Baca juga:Jangan Ada Perbedaan Kualitas Jurnalisme, Apapun Mediumnya
RSI tetap berdiri di antara gelombang itu. Sayang, Indonesia memang bukan negara yang ramah untuk majalah musik. Soleh Solihun pernah menuliskan tentang ini. Menurut penelitiannya, majalah musik di Indonesia yang bisa bertahan lama hanyalah Aktuil, yang hidup dari era 1967 hingga 1981. Itupun, kata Soleh, masa jayanya hanya pada periode 1970-1975. Sisa waktunya hanya upaya untuk menunda kematian.
Di era 1990-an, muncul tabloid Citra Musik. Tak bertahan lama. Hai jelas berusia panjang, tapi ia tak hanya majalah musik, lebih ke majalah remaja. Pada 2000-an, ada tabloid Mumu, majalah NewsMusik, juga tabloid Rock. Semua mengalami nasib yang sama. Begitu pula saat Ripple muncul, juga tak sampai usia satu dekade. Majalah musik lain yang bisa berusia panjang hanyalah Trax, yang terbit pada 2002 dan berhenti terbit di 2016.
Tahun 2017 memang masa yang kelam bagi banyak majalah musik. Hai yang sudah terbit sejak 1977, memutuskan berhenti cetak pada Juni 2017. Mereka beralih ke format online. Seolah tak cukup, a&e Media juga mengumumkan pada penghujung 2017: mereka tak lagi memegang lisensi Rolling Stone. Dengan kata lain, per Januari 2018, Rolling Stone Indonesia sudah tak ada lagi.
Baca juga:Majalah Rolling Stone Indonesia Berhenti Terbit per 1 Januari 2018
Pengumuman itu membuat sedih banyak orang. Beberapa orang kontributor dan mereka yang pernah magang di sana, menulis pengalamannya di media sosial. Fakhri Zakaria, misalkan. Ia pertama menulis untuk RSI pada 2010 silam. Saat itu ia bersama Ayos Purwoaji mendapat tugas untuk menulis tentang Lokananta.
"Itu adalah mimpi basah buat saya. Bayangkan, bertahun-tahun belajar jurnalistik lalu diberi kesempatan untuk menulis di salah satu referensi pembentuk budaya pop. Bangga rasanya waktu datang ke Lokananta, membawa surat tugas liputan, dan memperkenalkan diri sebagai penulis untuk Rolling Stone Indonesia. Dari situ terbukalah pintu-pintu yang lain. Sampai kapan pun, saya selalu menempatkan Rolling Stone Indonesia dalam setiap ucapan terima kasih atas setiap pencapaian karir kepenulisan saya. Untuk segala ilmu penulisan, terbukanya simpul-simpul pertemanan, dan segala kesempatan lain," tulis Fakhri.
Sedangkan Samack mengingat betapa berwarnanya liputan yang pernah ia kerjakan untuk RSI. Penulis asal Malang yang banyak mengulas musik metal ini pernah ditugaskan untuk meliput Rock In Solo, Pas Band, hingga ST12 dan Zygas.
"Itu pengalaman yang sangat berharga, dan banyak belajar dari teman-teman redaksi di sana," katanya.
Idhar Resmadi punya pengalaman personal soal RSI. Saat itu, 2010, ia menjelang dikeluarkan dari kampus. Agar lebih cepat dan mudah dikerjakan, Idhar memilih untuk menulis tema yang ia kuasai: industri budaya digital di salah satu edisi Rolling Stone Indonesia. Ternyata, di tengah penelitian skripsi, ia ditawari sebagai kontributor RSI untuk area Bandung. Ia gamang.
"Saya berjanji untuk tidak menulis dulu dan fokus untuk mengerjakan skripsi," kata Idhar yang lama berkarier di majalah musik Ripple ini. " Tapi ini Rolling Stone lho!" Akhirnya Idhar mengambil kesempatan itu dan bisa menyelesaikan kuliah. Sekarang ia menjadi pengajar di salah satu kampus teknologi di Bandung.
"Rasanya hanya di RSI terakhir kali saya merasa menjadi jurnalis. Karena setelah itu saya fokus menjadi dosen dan lebih memilih menjadi penulis buku dan artikel lepas," ujarnya.
Mungkin, dengan berhenti terbitnya Rolling Stone di Indonesia, berakhir pula era anak muda yang bercita-cita jadi jurnalis musik. Sekarang siapapun bisa membangun media musiknya sendiri. Dunia jurnalisme musik pun sudah banyak berubah. Bahkan kini Jann Wenner tak lagi menguasai Rolling Stone setelah Penske Media Coorporation membeli saham mayoritas senilai lebih dari $100 juta.
Bagaimanapun juga, perjalanan RSI selama 12 tahun lebih adalah hal yang layak diberikan aplaus panjang. Mereka tak akan bisa bertahan kalau hanya berorientasi pada masalah finansial, apalagi di negara yang tak ramah terhadap majalah musik. Ini murni perkara dedikasi dan sejauh mana dedikasi itu bisa jadi bahan bakar yang membuat RSI terus menggelinding.
Terima kasih, Rolling Stone Indonesia!
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono