Menuju konten utama

Melancholic Bitch: "Orde Baru Cerdas Ganti Baju"

Penantian delapan tahun terbayar tuntas selepas melihat mereka kembali lagi di panggung musik.

Melancholic Bitch:
Grup musik asal Yogyakarta, Melancholic Bitch. FOTO/Istimewa

tirto.id - Ambalika Larasati tentu tak menyangka jika malam itu, Sabtu 9 September 2017 menjadi salah satu malam yang tak terlupakan. “Gue hampir nangis. Badan merinding liat tata suara, lampu, dan nyanyian-nyanyian intim yang memberi kesakralan,” begitu kira-kira isi pesan yang ia kirim kepada saya.

Ambalika jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menyaksikan lahirnya kembali band veteran Yogyakarta, Melancholic Bitch yang pada 9 September 2017 lalu melangsungkan konser peluncuran album baru bertajuk NKKBS Bagian Pertama. Euforia terhadap Melancholic Bitch tak bisa disangkal semenjak mereka memutuskan kembali lagi ke studio, merekam materi, hingga akhirnya menyapa publik Yogyakarta yang sudah menantikannya.

Rencana pembuatan album baru kiranya sudah mereka susun sejak jauh-jauh hari. Antara bulan Juni dan November 2016, Ugoran Prasad, Yennu Ariendra, Richardus Arditta, dan Yossy Herman mulai membicarakan wacana tentang album baru yang menurut catatan, terakhir kali mereka rilis adalah saat Balada Joni dan Susi (2009). Pada Januari 2017, Melancholic Bitch melakukan workshop materi yang menjadi landasan komposisi tiap lagu di akhir bulan.

“Dalam album baru ini kami ketambahan personel baru yakni Nadya Hatta dan Danish Wisnu Nugraha. Semua berlangsung deras dan cepat seperti dikejar setan. Problemnya persis seperti itu, dikejar setan lalu bikin deg-degan. Dan belum tertangkap setan bukan berarti tidak akan tertangkap. Siapa tahu dia menunggu di kelokan. Maka kami memutuskan daripada pasif dikejar mending kami mengejar,” terang Ugo mengenai fase awal pembuatan album baru kepada Tirto.

Dalam album barunya, Melancholic Bitch mengusung keluarga sebagai tema utama. Mereka menelusuri apa dan bagaimana keluarga disusun serta dibayangkan secara sosial. Di Indonesia, salah satu manifestasinya adalah NKKBS.

Tajuk NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) tak bisa dilepaskan dari jargon propaganda yang dilahirkan pemerintah Orde Baru di era 1980an. Lewat NKKBS, Soeharto bercita-cita menyelaraskan tujuan percepatan ekonomi dan persemaian ideologi politik Orde Baru melalui kehidupan rumahtangga.

“NKKBS mungkin saja dianggap barang lama, hasil produk Orba. Tapi tak semua barang lama basi. Orba misalnya, barang lama yang sepertinya enggak mati-mati. Cerdas ganti baju. Layaknya setan, Orba masih setia di balik setiap kelokan,” ungkap Ugo yang saat wawancara dengan Tirto berada di Sydney, Australia untuk menyelesaikan disertasinya.

Ketika ditanya apakah album ini mencerminkan sisi politis Melancholic Bitch, Ugo menjawab, “Enggak juga. NKKBS Bagian Pertama enggak lebih politis dari Balada Joni dan Susi atau Anamnesis. Kalau lebih lugas, mungkin.”

Selama proses pembuatan album, Ugo mengakui bahwa kurasi nada dan lirik saat menyusun komposisi adalah bagian terpenting agar tercipta hasil yang sesuai. Bahkan tak jarang beberapa lagu harus direkam ulang akibat terdapat lirik yang kurang tajam.

Total terdapat 10 lagu dalam NKKBS Bagian Pertama. Tiap lagu memberikan penggambaran khas dari situasi tertentu yang tak lepas dari benang merah keseluruhan. Misalnya dalam “Normal, Moral” yang kental akan simbol-simbol Orde Baru, mulai dari Babinsa hingga Pendidikan Moral Pancasila.

Begini bunyi liriknya: Pos Ronda Berencana/Babinsa Bahagia/Pak disepakpak para preman/Awas awas bahaya anjing gila/Ada guru Pendidikan Moral Pancasila.

Atau di “Cahaya, Harga” yang menyentil kondisi perekonomian dan kesenjangan dalam negeri (Radio mengumumkan kematian harga cabai/Bahan bakar minyak dicampur air untuk obat/Pusing pusing menahun sembuh dalam sekejap/Padamu negeri jiwa raga ampas kami/Radio mengumumkan kematian harga diri).

Sementara itu pada “Dapur, NKK/BK,” Melancholic Bitch bertutur tentang aksi militer dalam tragedi 1965 (darah kupu-kupu/tentara/Kota sudah dikepung tentara/Sudah dikepung tentara).

Tak ketinggalan pula melalui “666,6”, Melancholic Bitch ingin memperlihatkan kelakuan para begundal yang berkedok pembela agama (apa yang berdarah dan luka apa yang terengah tak pernah bisa kau kurung dengan sejuta kerudung/apa yang surga apa yang neraka/kumpul kumpul tukang pukul/benda-benda tajam tumpul/kumpul kumpul tukang pukul).

Namun di antara lagu lain, balada berjudul “Bioskop, Pisau Lipat” dianggap menjadi kekuatan penting dalam album NKKBS Bagian Pertama. Lagu tersebut terinspirasi oleh pengalaman Ugo ketika menyaksikan film propaganda Orde Baru, Pengkhianatan G30S/PKI. Jika dikaitkan dengan situasi terkini, lagu “Bioskop, Pisau Lipat” kiranya relevan untuk didengar.

“Pada titik tertentu relevansi adalah kerja politik (negara, media, warga) agar sesuatu menjadi relevan. Tapi subyek propaganda ini sebagai problem yang berkelanjutan, agak berbeda. Misalnya, kerja IPT (International People Tribunal) 65 belum selesai dan perjuangannya masih harus diteruskan.

Terus ada jargon-jargon yang terus jadi hantu hari ini, berkat keberhasilan propaganda Orba. Ini problem berkelanjutan. Kekusutan politik sejarah membuat kita akan sulit memahami hari ini, apalagi besok,” terang Ugo.

Baca juga: Memahami Selera Musik Milenial

Keseluruhan lagu di NKKBS Bagian Pertama digarap oleh Ugo, yang mengibaratkan menulis lirik lagu tak ubahnya kegiatan belanja di pasar atau supermarket. Mulanya membuat daftar namun di tengah-tengah bisa saja terjadi improvisasi untuk membeli apa yang tidak tertera dalam daftar. “Akhirnya, kesetiaanku pada daftar adalah 60 banding 40.”

Bagi Ugo, perbedaan mencolok album ini dibanding Balada Joni dan Susi ialah ketiadaan penggebuk drum Septian Dwirima yang dalam kata-kata Ugo adalah "sosok drummer penuh magis". Menurut Ugo, ketidakhadiran Septian dirasakan sebagai kehilangan besar.

“Tapi di album ini kami kedatangan Nadya Hatta, keyboardist yang juga magis, serta Danish Wisnu, drummer yang energinya sangat muda. Hasilnya membuat kami merasa sedang mencuri usia. Ini sepertinya menjadi perbedaan mendasar,” terang Ugo.

Cita-Cita yang Belum Kesampaian

Melancholic Bitch dibentuk pada tahun 1999 oleh Ugoran Prasad dan Yosef Herman Susilo di sela-sela aktifitas mereka dalam proyek kesenian Performance Fucktory. Setahun kemudian menyusul masuk Teguh Hari Prasetya, Yennue Ariendra, Septian Dwirima, Richardus Ardita, dan Pierna Harris.

Melancholic Bitch sesekali mengisi panggung lokal, bermain di luar kota, meramaikan musik teater dan film, akan tetapi mereka lebih sering duduk bersama, bercanda, lalu berdamai sebelum memulai "permusuhan" berikutnya.

Dalam perjalanannya, Melancholic Bitch lebih menempatkan diri sebagai keluarga yang kerap mengutip kalimat pembuka novel Anna Karenina bahwa “seluruh keluarga bahagia selalu sama; keluarga tidak bahagia, selalu tidak berbahagia dengan caranya masing-masing.”

Sejauh ini Melancholic Bitch sudah menghasilkan beberapa karya dan terlibat pentas panggung. Untuk albumnya sendiri, Melancholic Bitch tercatat telah mengeluarkan Anamnesis (2005), Balada Joni dan Susi (2009), Lagu-lagu Yang Tidak Bisa Dipercaya (2011), serta album rilis ulang Re-Anamnesis (2013).

Album Balada Joni dan Susi, yang berkisah tentang petualangan sepasang kekasih mewujudkan impian di tengah peliknya dunia, diganjar sebagai satu dari 20 Album Indonesia Terbaik 2009 versi Rolling Stone Indonesia.

Sementara itu untuk urusan pementasan panggung sendiri Melancholic Bitch terhitung telah melakukan pelbagai pementasan mulai dari konser penuh Balada Joni dan Susi di gedung parkir Koran Tempo (diproduksi bersama Kelas Pagi Anton Ismael pada 2009), pementasan di Yayasan Bagong Kussudiarja (produksi bersama Kua Etnika pada 2009), pementasan di Teater Salihara (produksi dengan Teater Salihara, pada 2010), serta pementasan di Langgeng Art (produksi bersama Kongsi Jahat Syndicate pada 2011).

Tak hanya itu, Melancholic Bitch juga pernah terlibat dalam pertunjukan "Waktu Batu #3: Deus Ex Machina and My Feeling For You" (produksi bersama Teater Garasi pada 2004) yang dipentaskan di Jakarta, Singapura, Berlin, hingga Tokyo antara 2004 hingga 2006. Banyak beranggapan konser dan pementasan Melancholic Bitch merupakan hasil kolaborasi dari seluruh unsur pertunjukan mulai dari tata suara, ruang, cahaya, komposisi, teks, hingga dramaturgi yang tereksekusi dengan baik.

Secara gaya bermusik, Melancholic Bitch menolak untuk mendefinisikan sekaligus terjebak dalam putaran genre yang sudah akrab di khalayak ramai. Menurut Ugo, genre musik sebaiknya hanya digunakan untuk membantu saat belajar tentang ragam dan variannya. Tak lebih dan tak kurang.

Baca juga: Kebangkitan Musik Folk Indonesia

Infografik Melankolia NKKBS Orba

“Perasaan kita awalnya main band karena enggak suka diseragamin di sekolah, kok begitu main band malah sibuk cari seragam baru. Ini indikasi dari bibit paramiliter dan parafasis yang berkerak di tubuh semua institusi sosial, termasuk jangan-jangan di musik juga ada hal semacam ini. Biar yang sibuk ngomong baju seragam itu kalo enggak pramuka ya kaum fundamentalis agama aja,” papar Ugo.

Meski demikian, Melancholic Bitch dikenal sebagai entitas musik yang kerap ‘menghilang’ dari peredaran akibat kesibukan masing-masing personelnya, entah itu di Teater Garasi Yogyakarta, membikin musik latar film, hingga proyek seni lainnya. Bagi para penggemar, Melancholic Bitch tak ubahnya mitos yang selalu dinanti.

Menanggapi hal tersebut Ugo berpendapat. “Ini patut dicurigai. Operasi mitos kan terjadi karena jarang keluar ke permukaan tapi sekalinya muncul jadinya menggelegar. Hal itu sebenarnya enggak ada urusannya sama nilai atau isi yang ada di dalamnya.”

Baca juga: Musik Rock Perlahan Ditinggalkan Generasi Z?

Sementara ketika disinggung tentang karya-karya Melancolic Bitch yang dianggap monumental bagi perkembangan musik Indonesia, Ugo justru mengungkapkan keengganannya disebut demikian.

“Karya yang monumen itu phallic, konstruksi patriarki, dan wujud glorifikasi. Sungguh seram kalau kami dianggap bikin karya monumental dan terus kegeeran sendiri, lalu mematut matut diri supaya cocok dengan anggapan ini. Bagi kami hal itu sangat ngeri.”

Album sudah ada, konser juga telah terlaksana. Untuk Melancholic Bitch, kiranya ada keinginan yang urung terlaksana.

"Sepertinya salah satu cita-cita kita yang belum tercapai itu malah kepengin jadi band."

Baca juga artikel terkait BAND atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf