tirto.id - Pada 18 Mei 2020 Ikatan Dokter Anak Indonesia atau IDAI merilis data bahwa ada 14 anak usia 0-17 tahun yang meninggal dari 584 pasien anak positif COVID-19.
Sementara itu, dari 3.324 anak berstatus pasien dalam perawatan atau PDP, 129 di antaranya meninggal sebelum dites swab atau hasil tesnya keluar.
Empat hari kemudian data Dirjen Pelayanan Kesehatan yang bertajuk “Laporan COVID-19 Pasien Anak” tersebar di kalangan dokter anak melalui WhatsApp dan Facebook. Isinya menyebut ada 19.196 anak di bawah 18 tahun yang terpapar COVID-19, dan 452 di antaranya meninggal dunia.
Saat kami menghubungi Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Bambang Wibowo, ia menyebut data itu sebagai hoaks.
Kami kemudian menghubungi dua narasumber lain, satu pejabat Kemenkes, satunya lagi pernah mengikuti rapat di mana data itu dipaparkan. Dua-duanya meminta hak anonim, dan menjelaskan bahwa data itu benar, namun sebenarnya bersifat internal, alias tidak untuk disebar ke publik.
Angka dari Kemenkes terhitung lebih sedikit ketimbang yang disampaikan Ketua IDAI, Dr. Aman Pulungan, dalam agenda pemaparan di Komisi X DPR RI pada Kamis, 25 Juni 2020.
Menurutnya, total pasien anak yang meninggal karena corona per Juni 2020, baik langsung maupun tidak, bisa mencapai 200-an. Aman pun berkesimpulan: kematian anak akibat corona di Indonesia sebagai yang paling tinggi di Asia, bahkan dunia.
Berbagai lembaga, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, mendorong pemerintah untuk lebih peka terhadap masalah ini. Apalagi sejumlah kasus COVID-19 pada anak juga muncul karena orang tua yang menyepelekan protokol kesehatan.
Pertanyaannya: mengapa situasi ini seperti kurang mendapat perhatian? Benarkah karena pemerintah sejak awal pandemi lebih fokus pada warga usia dewasa dan/atau lanjut yang dinilai lebih rentan terpapar virus corona?
Simak jawabannya dalam video Catatan Reporter berikut ini:
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Fahri Salam