tirto.id - Iyansah, bapak empat anak dari Kota Mataram, menjalani malam Lebaran yang tak biasa. Saat umat Islam sedunia menyambut 1 Syawal dengan takbir, ia harus menyiapkan tahlilan putranya. Fahri, anak bungsunya berusia 9 bulan, meninggal malam itu. Kematian yang tiba-tiba.
Iyansah mengira anaknya diare, seperti dua bulan lalu, dan meyakini bakal sembuh. Ia membawanya ke dokter lalu diberi resep obat. Kondisi Fahri agak mendingan; ia membawanya pulang. Tak ada firasat buruk.
Esok harinya Fahri demam tinggi. Napasnya tersengal-sengal. Tubuh Fahri lemas. Iyansah segera membawanya ke rumah sakit. Persis ketika takbir menggema kencang selepas magrib, putranya meninggal.
Suara Iyansah bergetar ketika saya meneleponnya. Ia menyalahkan dirinya berkali-kali. Bagaimana jika kami menduganya bukan diare? Bagaimana jika kami tidak terlalu lama membawanya ke rumah sakit?
“Dia masih bayi … susah untuk bilang sakit,” katanya. Fahri mungkin bisa selamat bila dia lebih cepat menanganinya. Mungkin bisa dibawa ke rumah sakit yang lebih baik, pikirnya.
Sang bunda seketika depresi dan emoh makan. “Saya juga kacau,” tutur Iyansah, “sampai sekarang kami masih kacau.”
Dokter menduga pneumonia yang menyebabkan Fahri meninggal. Balita itu ditangani sebagai pasien dalam pengawasan COVID-19. Fahri diambil tes swab (PCR). Empat hari kemudian, hasilnya positif corona.
I Nyoman Swandiasa, anggota Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Mataram, berkata bahwa kasus Fahri adalah kasus “non-klaster.”
“Sampai saat ini kami belum mengetahui dia telah berkontak dengan siapa sehingga bisa terpapar,” kata Swandiasa kepada saya, 27 Mei lalu.
Bahkan saat saya mengontak Iyansah dua pekan kemudian, belum ada yang tahu dari mana putranya tertular COVID-19. Sehari setelah hasil swab Fahri diumumkan, seluruh keluarga Iyansah dan karyawan yang bekerja di rumah mereka dipanggil oleh dinas kesehatan untuk rapid test.
“Hasilnya non-reaktif. Bahkan saya dipanggil lagi, satu keluarga. Diminta rapid test lagi,” kata Iyansah. Senin pekan ini, ketika saya mengontaknya lagi, ia belum diberi kabar hasil selanjutnya dan menduga mungkin karena masih nonreaktif.
Dalam protokol penanganan, keluarga pasien positif COVID-19 harus diperiksa sesegera mungkin demi menelusuri sumber penularan virus. Dalam kasus Fahri, dugaan sementara dari orang-orang dewasa di sekitar.
“Tapi,” kata Iyansah, “kami sekeluarga sudah dites dan tidak ada yang reaktif.”
Bukan Cerita Baru: Data COVID-19 Semrawut, Data yang Tersebar Disebut 'Hoaks'
Pada 18 Mei, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merilis data yang menyebut 14 anak (usia 0-17 tahun) meninggal dari 584 anak positif COVID-19. Sementara dari 3.324 anak berstatus pasien dalam perawatan (PDP), ada 129 anak yang meninggal. Mereka meninggal sebelum dites swab atau hasil tesnya keluar. Angka-angka ini, bagaimanpun, dianggap belum menggambarkan pasien anak terpapar COVID-19 yang sebenarnya.