Menuju konten utama

COVID-19 Mengancam Jutaan Anak Indonesia, Minim Respons Pemerintah

Anak-anak Indonesia jadi kelompok rentan tertular COVID-19. KPAI bahkan menyebut situasi itu mengancam satu generasi.

COVID-19 Mengancam Jutaan Anak Indonesia, Minim Respons Pemerintah
Ilustrasi Covid-19 pada anak Indonesia. tirto.id/Lugas

tirto.id - Qabila, bukan nama sebenarnya, bersiap mengajak anaknya berusia tiga tahun untuk imunisasi lagi pada Juli nanti. Namun, pandemi COVID-19 membuatnya serba waswas. Kasus corona di Indonesia belum landai, bahkan angkanya terus naik dan tertinggi di Asia Tenggara. Pemerintahan Joko Widodo memang menganjurkan kegiatan ekonomi mulai dibuka perlahan, dalam apa yang disebut "new normal", yang dinilai oleh epidemilog dipaksakan karena tanpa dasar data yang kuat.

Rumah sakit yang biasa jadi tempat imunisasi bagi anak Qabila adalah RS rujukan COVID-19. Risikonya besar, kata Qabila, yang juga seorang bidan. Dokter anaknya berkata ada jeda 6-12 bulan pemberian vaksin berikutnya dari imunisasi terakhir .

Juli nanti batas interval itu makin dekat, sementara pandemi SARS-CoV-2 di Indonesia belum stabil. “Angka (kasus teridentifikasi corona) nasional, kan, naik terus,” katanya kepada saya via telepon. Untungnya rumah sakit rujukan anaknya diimunisasi kini punya dua gedung baru khusus pasien COVID-19, yang menempati area belakang. Sementara gedung anak berada di depan.

"Jadi, kalau saya bawa bulan depan, Insyaallah sudah tidak lebih berisiko. Bagian depan seenggaknya sudah zona hijau,” ungkap Qabila.

Keputusan menunda imunisasi tak cuma diambil Qabila demi menghindari bayi tertular COVID-9. Sutan, juga bukan nama sebenarnya, berkata banyak orangtua takut ke rumah sakit untuk membawa anaknya imunisasi.

"Ini sangat masuk akal, tapi risikonya juga besar,” kata Sutan, dokter anak yang telah menangani 30-40 anak dalam kategori pasien dalam pengawasan (PDP) dan empat pasien positif COVID-19 selama pandemi.

“Salah satu pasien saya sempat menunggu satu bulan lebih baru membawa anaknya imunisasi ke rumah sakit. Padahal bayinya lahir kurang tiga kilogram. Sekarang anaknya malah gizi buruk," tambahnya.

“Ketakutan itu wajar," ujar Sutan. "Karena siapa yang menduga kedatangan pandemi ini?"

Sejumlah rumah sakit dan kebanyakan fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti posyandu di banyak daerah tidak memberikan layanan alias tutup, ujar Sutan. Kini banyak rumah sakit telah mempersiapkan fasilitas dan protokol khusus agar anak bisa kembali imunisasi.

Masalahnya, dalam sistem kesehatan publik kita yang belum mumpuni, tingkat imunisasi di Indonesia belum maksimal.

Sebelum pandemi, data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan hanya 58 persen bayi di bawah dua tahun yang telah diimunisasi lengkap, 33 persen diimunisasi sebagian, dan 9 persen tidak diimunisasi sama sekali.

Hasil penelitian terbaru Save the Children memprediksi pandemi COVID-19 membuat cakupan imunisasi menurun hingga 30 persen. Maka, sekitar 10 juta anak berpotensi tidak mendapatkan imunisasi.

Akibatnya, selain berpotensi tertular COVID-19, jutaan anak rentan terhadap berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, tetanus, pertusis, tuberkulosis, campak, atau pneumonia.

IDAI: 200-an Anak Meninggal per 22 Juni

Dalam rapat dengan Komisi X (pendidikan) pada Kamis kemarin, 25 Juni, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan, menyebut per 22 Juni ada 36 anak dari sedikitnya 1.543 anak tertular COVID-19 meninggal dunia. Sementara ada 204 anak dengan status pasien dalam perawatan (PDP) meninggal, yang menunjukkan gejala tertular SARS-CoV-2 tetapi belum sempat dites swab atau hasil tesnya belum keluar.

Data itu memperbarui data mereka pada 18 Mei lalu ketika kasus positif meninggal ada 14 anak dan PDP yang meninggal ada 129 anak.

"Jadi, meninggal PDP maupun confirmed ada 200-an," kata Aman dikutip dari Republika. "Makanya kami bisa katakan untuk saat ini yang meninggal anak kita paling banyak di Asia bahkan mungkin di dunia saat ini untuk masa pandemi Covid-19, direct atau indirect."

Data terakhir IDAI itu tak berbeda jauh dengan situs resmi pemerintah per 22 Juni: 37 anak meninggal karena COVID-19. Namun, data pemerintah tidak memasukkan PDP anak yang meninggal.

Angka itu memang hanya 1,5 persen dari total 2.500 kematian nasional, tidak lebih tinggi dari 43,4 persen kematian pasien di atas 60 tahun, kelompok umur paling terpapar SARS-CoV-2. Tapi, kematian bukan cuma statistik.

Susianah Affandy dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai pemerintahan Jokowi lengah menangani secara serius kasus-kasus COVID-19 pada anak karena lebih terfokus pada kelompok rentan usia lansia.

“Ada banyak hak anak yang terlanggar. Mereka cenderung lebih pasif, lebih sering tertular dari orang dewasa yang mobilitasnya lebih tinggi, jadi [harusnya] masuk kelompok paling rentan dalam pandemi,” ujarnya.

Deteksi dini terhadap anak diduga tertular COVID-19 biasanya dilakukan pemerintah setelah ada anggota keluarga terpapar corona, menurut KPAI. “Artinya, anak tidak jadi prioritas padahal ada ancaman generasi yang hilang di sini,” ungkap Susianah.

Juru bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyebut banyak anak-anak Indonesia tertular corona meski mereka tidak pernah keluar rumah. Mereka berinteraksi dengan “orang dewasa yang mobilitasnya cukup tinggi, misalnya orangtua sendiri,” kata Yuri pada 25 Mei.

Infografik HL Indept Covid Anak

Infografik HL Indept Covid Anak. tirto.id/Lugas

Anak Menjadi Kelompok Rentan dalam Pandemi COVID-19

Selain pandemi COVID-19 mengancam hak kesehatan seperti imunisasi, kondisi ekonomi orangtua yang terpuruk akibat pandemi juga menjadi faktor pendorong anak-anak termasuk kelompok rentan.

“Ada banyak orangtua yang dipecat dan kehilangan pekerjaan. Sehingga berdampak ke kemampuan mereka untuk merawat anak. Bahkan, anak-anak rentan jadi korban kekerasan dalam rumah tangga karena, misalnya, orang tua stres,” ungkap Susianah dari KPAI.

Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2018, satu dari 10 anak Indonesia tinggal di rumah kontrakan dan atau di wilayah kumuh; serta 1 dari 3 anak tidak dapat mengakses fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) yang memadai. Sekitar 15 persen dari 270 juta penduduk Indonesia hidup di dua rumah yang relatif sempit, kurang dari 8m per kapita (kepala).

Dari survei Save the Children, 7 dari 10 responden atau sekitar 72 persen mengalami penurunan pendapatan selama pandemi. Imbasnya, mereka sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan 3 dari 10 responden atau 32 persen kehilangan pekerjaan atau mata pencarian.

“Yang tidak banyak dibicarakan memang hak anak-anak terlantar,” kata Susianah. “Kesenjangan ini banyak yang enggak menyuarakan.”

Ia mencontohkan kasus terpaparnya 14 anak positif Covid-19 yang tinggal di panti sosial di Kalimantan Selatan dan salah satu panti sosial di Jakarta.

“Protokol dan penyampaian informasi buat anak-anak di panti sosial atau rumah singgah tentu saja tidak sama dengan anak-anak yang tinggal di rumah dengan orangtua. Selama ini, anak baru dites kalau orangtuanya kena. Gimana dengan anak-anak yang enggak ada orangtuanya? Gimana dengan anak jalanan yang enggak pakai masker bahkan enggak mampu beli masker?” kata Susianah.

Tak cuma anak jalanan. Dokter Sutan di rumah sakit swasta tempatnya praktik tak jarang bertemu keluarga yang tak mampu atau enggan membayar biaya tes swab (PCR) untuk anak mereka seharga antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta per sekali tes.

“Akhirnya, banyak juga yang dirujuk ke rumah sakit rujukan supaya biayanya lebih ringan.”

Ancaman pada hak-hak anak inilah yang membuat KPAI mendorong pemerintahan Jokowi agar melakukan deteksi dini COVID-19 bagi anak-anak terlantar: anak jalanan, anak yang bekerja di sektor informal, anak penyandang disabilitas, dan anak-anak yang tinggal di panti sosial.

KPAI, kata Susianah, tengah menyusun protokol penanganan anak-anak itu untuk diserahkan ke Kementerian Kesehatan sebagai acuan.

Saat angka rata-rata kasus terkonfirmasi positif COVID-19 sekitar 300-400 per hari pada April kemarin, Save the Children mencatat 60 persen lebih kasus yang ada terjadi pada orang-orang usia produktif (30-45 tahun). Pada usia itu umumnya orang Indonesia telah menikah dan memiliki 1 sampai 3 anak. Artinya, ada jutaan anak yang terdampak langsung karena orangtuanya terinfeksi, diisolasi, dirawat di rumah sakit atau bahkan meninggal dunia.

Belakangan, angka kasus terkonfirmasi per hari antara 900-1.200 kasus. Dan yang positif corona pada rentang umur 31-45 sebanyak 30,2 persen dengan angka kematian 12,6 persen.

“Situasi ini harus benar-benar diperhatikan,” kata Susianah, mewanti-wanti.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam