tirto.id - Setelah merilis trailer resmi pertama pada April dan bermacam-macam jenis iklan, termasuk dalam bentuk tutorial membuat kue, Venom akhirnya ditayangkan di bioskop-bioskop di Indonesia mulai Kamis, 4 Oktober 2018.
Eddie Brock (Tom Hardy) adalah reporter asal San Fransisco. Ia punya acara TV sendiri, The Eddie Brock Report. Program tersebut membawanya ke ranah investigasi serta berurusan dengan banyak isu sensitif yang tidak digarap awak media lain. Bidang ini sesuai dengan sifatnya yang kritis.
Tapi sifat kritis itu pula yang mengacaukan wawancara eksklusifnya bersama bos korporasi bioteknologi Life Foundation, Carlton Drake. Ia tak mematuhi arahan atasannya untuk berbincang hal-hal yang ringan saja. Wawancara dihentikan saat Brock bertanya soal isu kematian para sukarelawan dalam riset Life Foundation.
Data tersebut seharusnya bersifat rahasia. Brock mendapatkannya dari komputer pacarnya, Anne Weying (Michelle Williams). Anne adalah karyawan firma yang punya relasi dengan korporasi Drake.
Konsekuensinya mahal. Anne dan Brock dipecat. Anne meminta putus, padahal Brock sedang sayang-sayangnya. Anne segera menggandeng pacar baru, sementara Brock pindah ke apartemen yang lebih jelek sembari frustrasi karena tak kunjung dapat pekerjaan baru.
Di masa-masa tak menyenangkan itulah ia mau bekerja sama dengan seorang karyawan pembelot, Dr. Dora Skirth (Jane Slate), untuk membongkar skandal di laboratorium Life Foundation.
Drake ternyata sedang bereksperimen untuk mengintegrasikan beberapa alien Symbiote dengan manusia, namun terus-terusan gagal. Ia mengajak kaum miskin Kota San Fransisco sebagai sukarelawan, yang akan dibuang secara semena-mena jika mati akibat gagal bersimbiosis dengan Symbiote selama menjalani eksperimen.
Brock sukses mendapatkan bukti-bukti. Tapi, secara tak sengaja, ia terpapar Symbiote saat mencoba menyelamatkan sukarelawan sekaligus pengemis yang ia kenal akrab.
Narasi selanjutnya adalah upaya Brock untuk melawan Symbiote selaku parasit yang membuatnya bersikap tak normal. Di sisi lain, Symbiote-lah yang menyelamatkannya dari upaya pembunuhan yang dilancarkan oleh anak buah Drake. Ini lah salah satu sisi menegangkan dari sebuah film superhero yang belakangan antre di layar lebar.
Memasuki akhir tahun 2018, warga dunia masih disuapi film-film superhero, dan belum akan berakhir hingga beberapa tahun ke depan. Marvel Cinematic Universe (MCU) dan DC Extended Universe masih punya banyak stok untuk sekuel, prekuel, spin-off, cross-over, remake, atau reboot.
Sony Pictures rupanya tak mau ketinggalan. Mereka telah melakukan pembelian hak cipta atas karakter Marvel sejak beberapa tahun terakhir. Jumlah totalnya, mengutip Variety, ditaksir sudah mencapai 90-an. Salah satunya adalah Venom, alien parasit yang 30 tahun silam muncul pertama kali sebagai tokoh utama di sebuah komik Marvel.
Venom akan menjadi film pertama dalam semesta baru yang diciptakan Sony: Sony's Universe of Marvel Characters (SUMC). Produksinya mengalami tarik-ulur selama satu dekade belakangan. Setelah berhasil mendapatkan hak atas film Venom, Sony memulai proses pra-produksi pada Maret 2017.
Setelah gagal dimasukkan ke MCU, Venom diputuskan sebagai film yang punya semestanya sendiri. Cita-cita Sony untuk menyandingkan Venom dengan Spiderman untuk sementara belum bisa terwujud. Kabar baiknya, sebagai film stand-alone, Venom punya segudang modal untuk jadi film alternatif.
Di tengah gelontoran pahlawan konvensional beserta gengnya, Venom masuk jajaran anti-hero. Sony sempat menggadang-gadang Venom akan mengikuti resep Deadpool (2016 dan 2018) dan Logan (2017): dibikin berdarah-darah, brutal, dan mengandung banyak elemen vulgar.
Sayangnya, rencana ini juga gagal di tengah jalan. Film dengan rating R (yang menghendaki anak di bawah usia 17 tahun ditemani orang tua atau orang dewasa ketika menonton) terlalu terbatas segmen penontonnya. Rating ini tidak memungkinkan Venom untuk menjadi gerbang pembuka menuju SUMC. Sony juga tetap ingin membuka peluang kerja sama dengan Marvel.
Melalui pertimbangan-pertimbangan tersebut, keputusan final Sony mengecewakan sebagian fans: rating Venom diturunkan ke PF-13. Walhasil, ia tidak akan sebrutal Logan apalagi Deadpool.
Keputusan ini menyia-nyiakan banyak hal. Sosok Venom, misalnya, sudah ganas dari tampilan luarnya. Ia adalah alien pemakan manusia, terutama di bagian kepala. Rating PG-13 menghilangkan adegan yang seharusnya berdarah-darah dan sadis—spesialisasi sutradara Ruben Fleischer yang dulu sukses mengemas seni darah, keringat, dan nanah di Zombieland (2009).
Fleischer sebenarnya memasukkan elemen humor ke dalam film keempatnya tersebut, tapi sayangnya tidak berfungsi dengan baik. Hal ini berbeda dengan Zombieland yang sejak awal didesain sebagai film bergenre komedi-horor. Venom tidak demikian, sebab sejak awal diproyeksikan sebagai film dengan bungkus yang serius.
Di satu adegan, Brock yang dikuasai Venom merasa kepanasan saat mengkonfrontasi mantan pacarnya di sebuah restoran. Ia lalu berendam di bak lobster sambil memakan isinya mentah-mentah. Adegan ini lucu, tapi tidak dieksplorasi lebih lama. Padahal, kata Hardy kepada Comics Explained, adegan tersebut aslinya sepanjang 40 menit, namun dipotong. Adegan-adegan favorit Hardy lainnya juga bernasib sama.
Adegan lain, yang semestinya romantis, berakhir cringy berat. Misalnya ketika Brock lepas dari Symbiote namun terancam nyawanya karena diburu anak buah Drake. Symbiote datang untuk menyelamatkannya dengan masuk ke tubuh Anne.
Saat menemui Brock, Anne yang berkostum Symbiote tiba-tiba menciumnya, sebab masih cinta, sekaligus menyalurkan Symbiote kembali ke tubuh Brock. Jadi, secara tidak langsung, Brock dan Symbiote telah berciuman.
Eww..
Cringe-fest pun muncul akibat kegagalan Fleischer membangun relasi antara Brock dan Symbiote. Bayangkan, penulis naskah dari film yang menelan biaya besar, diproduksi oleh korporasi terkemuka, dan didasarkan pada karakter komik kenamaan, meramu plot seperti ini:
Drake disusupi Symbiote lain bernama Riot, dan berniat pergi memakai pesawat luar angkasanya menuju planet asal Symbiote untuk membawa Symbiote-Symbiote lain ke Bumi. Venom berupaya menggagalkannya sebab Symbiote, secara tak terduga, curcol kepada Brock bahwa dirinya adalah pecundang (loser) di planet asalnya. Selama di Bumi ia tak lagi merasa demikian. Namun, jika ada Symbiote-Symbiote lain, ia akan menjadi jadi pecundang lagi.
Ya ampun.
Saya paham jika di akhir Brock dan Symbiote memang mesti akur. Tapi apakah prosesnya harus sepicisan itu? Apakah Sony tidak belajar dari busuknya resolusi konflik Batman dan Superman, yakni hanya karena ibunya sama-sama bernama Martha?
Citra menyeramkan Symbiote dari segi tampilan sampai makanannya runtuh seketika. Patah sepatah-patahnya.
Diperankan oleh Topher Grace, karakter Brock pernah muncul di Spider-Man 3 (2007). Venom-nya digambarkan punya niat serta kelakuan jahat karena membakar rasa dendamnya pada Peter Parker (Tobey Maguire).
Brock yang diperankan Tom Hardy agak berbeda. Ia adalah karakter protagonis yang mampu melawan dominasi Symbiote. Ia bisa mencapai “win-win solution”, yaitu mengajak Symbiote untuk memerangi kejahatan. Keuntungan bagi Symbiote, ia boleh memakan si penjahat—asal benar-benar jahat.
Plot ini turut menguntungkan penonton yang disuguhi performa apik Tom Hardy. Kualitas aktingnya sebagai aktor papan atas Hollywood keluar saat mencoba lari dari pengaruh jahat Symbiote. Seperti melihat performanya di Mad Max: Fury Road (2015) atau The Revenant (2015), Hardy mengeluarkan beragam ekspresi, mulai dari sakit, tertekan, dan tentu saja marah.
Sony punya setumpuk pekerjaan rumah jika ingin menyukseskan proyek waralabanya. Pasalnya, nada sumbang untuk Venom tidak keluar dari satu-dua kritikus saja, tapi dari sebagian besar di antara mereka. Cukup sekali Sony panik lewat kegagalan The Amazing Spider-Man (2012 & 2014). Seterusnya, semoga tidak.
Editor: Windu Jusuf