Menuju konten utama

Vaksin Nusantara Tabrak Aturan tapi Pemerintah Lepas Tangan

Vaksin Nusantara tabrak aturan tapi risetnya terus lanjut. Pemerintah pun diminta menindak tegas.

Vaksin Nusantara Tabrak Aturan tapi Pemerintah Lepas Tangan
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan keterangan pers seusai meninjau RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (2/3/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/ama.

tirto.id - Pengembangan Vaksin Nusantara yang dipimpin mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang terus saja berlanjut dianggap membahayakan karena banyak cela dalam prosesnya. Pemerintah pun diminta bertindak.

"Kalau masih nekat [uji klinis Vaksin Nusantara], saya usulkan dihentikan saja. Bisa dilakukan oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan,” kata epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (15/4/2021) sore.

Masalahnya lembaga yang semestinya ikut campur menghentikan penelitian belum melakukan langkah-langkah yang tegas. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, misalnya, hanya mengatakan bahwa Vaksin Nusantara harus dibuat berdasarkan kaidah ilmiah dan tak boleh ditabrak. "Itu benar-benar harus dibikin berdasarkan kaidah ilmiah dan protokol kesehatan yang baku dan tetap. Itu tolong jangan di-shortcut," kata Budi.

Pun dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), meski mereka telah mengungkap sejumlah catatan panjang soal pengembangan Vaksin Nusantara.

"Apa yang sekarang terjadi [Vaksin Nusantara lanjut uji klinik] itu di luar BPOM, bukan kami untuk menilai itu. BPOM adalah melakukan pendampingan pada saat uji klinik sesuai standar good clinical trials internasional dan berlaku umum," kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito saat jumpa pers, Jumat (16/4/2021).

Ia enggan berkomentar lebih lanjut jika peneliti memilih tak acuh dan ngotot melaksanakan uji klinis.

Sementara Tentara Negara Indonesia (TNI), lembaga tempat bernaung RSPAD Gatot Soebroto, tempat pengembangan vaksin, mengatakan Vaksin Nusantara bukan program TNI. Meski begitu Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Achmad Riad mengatakan TNI akan mendukung pengembangan vaksin tersebut dengan syarat. "Telah memenuhi kriteria yang ditetapkan BPOM," kata Riad saat konferensi pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Senin (19/4/2021).

BPOM meninggalkan banyak catatan atas uji klinis fase 1 Vaksin Nusantara. Catatan diberikan berdasarkan inspeksi ke pusat uji klinik RSUP Dr. Kariadi dan laboratorium pemeriksaan imunogenisitas Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan pada 12-13 Maret 2021.

Dari aspek pemenuhan Good Manufacturing Practice (GMP), disimpulkan produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril. Pembuatan vaksin itu semestinya close system, artinya darah tetap berada di tabung sejak diambil, dipaparkan ke antigen virus, hingga disuntikkan kembali ke dalam tubuh. Namun, pembuatan vaksin ini dilakukan secara manual dan open system.

Produk antigen yang digunakan juga tidak dijamin sterilisasinya. Pengujian sterilitas terhadap produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. "Hal tersebut berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin," jelas Penny.

Dari aspek pemenuhan Good Laboratory Practice (GLP), BPOM menyatakan sebelum penelitian tidak dilakukan validasi dan standardisasi. Lalu, dari aspek pemenuhan Good Clinical Practice (GCP), ditemukan tidak dilakukan persetujuan lolos kaji etik penelitian oleh Komite Etik (KE) tempat penelitian dilakukan.

Catatan bertambah panjang berdasarkan pertemuan dengar pendapat antara tim peneliti dengan BPOM dan tim Komnas Penilai Obat pada 16 Maret 2021. Hasil pertemuan di antaranya menyimpulkan bahwa uji non klinik hanya dilakukan pada satu jenis hewan uji (mencit) sehingga tidak dapat diambil kesimpulan terkait keamanan dan imunogenisitas produk uji.

Sebanyak 20 dari 28 orang subjek (71.4%) mengalami kejadian yang tidak diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2. Terdapat 3 dari 28 subjek (10.71%) yang mengalami peningkatan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan, namun 8 dari 28 subjek (28.57%) mengalami penurunan titer antibodi dalam periode yang sama.

BPOM menyimpulkan data interim uji klinis fase 1 yang diserahkan belum cukup memberikan landasan melanjutkan uji klinik ke fase 2 karena ada beberapa perhatian terhadap keamanan vaksin, kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi, dan juga pembuktian mutu yang belum memadai.

Lalu BPOM memberikan rekomendasi agar penelitian dikembangkan dahulu di preklinik sebelum masuk uji klinik, yang tujuannya untuk mendapatkan basic concept yang jelas sehingga pada uji klinik manusia bukan sekadar subjek percobaan yang mendapatkan hasil tak pasti. Kegiatan penelitian pre klinik juga sebaiknya didampingi Kemenristek/BRIN.

Berdasarkan temuan-temuan itu, diduga terdapat sejumlah ketentuan dalam Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik yang ditabrak. Salah satunya Pasal 16 yang menyatakan, "produk uji yang akan digunakan dalam uji klinik harus memiliki data keamanan awal dan persyaratan mutu sesuai dengan tahapan uji kliniknya”. Sementara pasal 6 menyatakan pelaksanaan uji klinis harus mendapatkan persetujuan Komite Etik.

Peraturan itu pun mengatur soal sanksi. Pasal 22 menyatakan sanksi administratif berupa peringatan, penangguhan, dan/atau penghentian uji klinik.

Epidemiolog dari Centre of Enviromental And Population Health Griffith University Australia Dicky Budiman menilai rekomendasi dari BPOM sudah benar. Dicky mengatakan BPOM merupakan lembaga pengawas dan pemeriksa yang diakui di dunia dalam aspek integritas dan kapabilitas. Jika rekomendasi lembaga seperti saja diabaikan, maka sama saja "orang ini atau institusi ini tidak paham etika riset."

"Kemudian tidak paham metode ilmiah karena melibatkan relawan yang sudah divaksin. Ini saja sudah sangat sederhana dan fatal. Ini saya prihatin, ini harus diberi ketegasan," kata Dicky saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu sore waktu Jakarta.

Sama seperti Pandu, menurutnya jika ada organisasi yang mengabaikan BPOM, ia "harus disanksi."

“Sekali lagi, kalau bicara riset, itu yang diajukan adalah rujukan ilmiah, bukan tokoh. Mantan Menteri Kesehatan bukan peneliti vaksin, epidemiolog, penyakit menular, ini tentu hal yang berbeda dengan hal politik," tambahnya.

Baca juga artikel terkait VAKSIN NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino