tirto.id - Hasil revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui pemerintah pada Kamis (2/6/2016) lalu masih menyisakan berbagai persoalan. Pasalnya, masih ada beberapa pasal bermasalah yang tidak direvisi, seperti calon yang berstatus sebagai tersangka.
Penilaian tersebut disampaikan organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pilkada Berintegritas. Menurut lembaga yang fokus pada isu pemilu dan pilkada ini, kelemahan pertama berkaitan dengan perbaikan syarat calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU tersebut, di mana rekomendasi larangan kepada seseorang yang berstatus tersangka untuk maju sebagai calon kepala daerah, tidak jadi disepakati oleh pemerintah dan DPR.
“Padahal poin ini penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat,” kata Koordinator Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi publik di Jakarta, Minggu (5/6/2016).
Kedua, lanjut Fadli, terkait dengan keharusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melakukan konsultasi melalui rapat dengar pendapat dengan DPR dalam penyusunan peraturan pilkada, yang kemudian keputusannya bersifat mengikat.
Menurut Fadli, ketentuan ini merusak prinsip kemandirian KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen.
“Tidak ada satu pun lembaga independen yang harus mengonsultasikan peraturan yang dibuat lembaganya kepada DPR karena sudah ada ruang untuk menguji peraturan yang bertentangan dengan UU melalui judicial review ke Mahkamah Agung,” kata dia.
Selain itu, forum konsultasi teknis penyelenggaraan pilkada ini juga dianggap sarat kepentingan politik di mana kader-kader partai yang duduk di DPR terkesan ingin menunjukkan dominasinya terhadap penyelenggaraan pemilu sekaligus terhadap calon independen.
Untuk itu, Perludem dan beberapa organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pilkada Berintegritas mendesak KPU dan Bawaslu menguji ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Model konsultasi yang sifatnya mengikat ini harus diantisipasi sejak sekarang melalui judicial review dan yang bisa melakukan cuma KPU dan Bawaslu karena mereka punya legal standing,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz