tirto.id - Perlindungan hukum terhadap kerja-kerja jurnalis dinilai masih belum menyentuh kata ideal. Aksi kekerasan yang dialami jurnalis terus berulang, termasuk ketika melaksanakan tugas peliputan aksi demonstrasi akhir Agustus lalu. Pun, Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers dianggap belum mampu memberikan kepastian perlindungan hukum bagi jurnalis.
Desakan untuk memastikan perlindungan hukum bagi kerja-kerja jurnalis lantas coba disuarakan sejumlah jurnalis yang tergabung Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum). Pada 20 Agustus 2025, perwakilan Iwakum, melalui Irfan Kamil, selaku ketua umum, dan Ponco Sulaksono, sebagai sekretaris jenderal, melayangkan gugatan uji materil Pasal 8 UU Pers ke Mahkamah Konstitusi.
Dalil hukum pemohon dalam perkara yang teregistrasi Nomor 145/PUU-XXIII/2025 itu merujuk Pasal 8, yang dianggap tidak memuat penjelasan detail soal mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis. Pasal 8 berbunyi, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum”. Menurut pemohon, pasal ini belum bisa jadi jaminan keamanan bagi jurnalis saat bekerja, terutama saat meliput isu sensitif.
Terlebih, penjelasan pasal tersebut juga dinilai masih ambigu dalam menjabarkan apa saja kepastian hukum yang didapat jurnalis ketika bertugas. Merujuk UU Pers, penjelasan Pasal 8 berbunyi, "Yang dimaksud dengan 'perlindungan hukum' adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sepekan setelah ajukan gugatan, sidang pemeriksaan pendahuluan dimulai di MK. Ponco menekankan Pasal 8 beserta penjelasannya dalam UU Pers sarat multitafsir dan berpotensi merugikan jurnalis.
Yang dia maksud adalah kerugian saat berhadapan perkara hukum setelah pemberitaan yang digarap dipersoalkan. “Kerugian ini spesifik, aktual, atau setidaknya potensial, karena wartawan bisa terancam kriminalisasi atas pemberitaan maupun investigasi yang mereka lakukan,” ujar jurnalis dari Merahputih.com ini dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara MK pada Rabu (27/8/2025) di Ruang Sidang MK.
Seturut itu, Irfan menimpali bahwa norma dalam Pasal 8 UU Pers seharusnya menjamin perlindungan hukum, tetapi penjelasannya justru memperluas makna yang sulit ditafsirkan sehingga membuat posisi hukum jurnalis tidak begitu jelas.
Dia lantas menyerukan hal itu dinilai bertentangan dengan jaminan konstitusional atas kepastian hukum, perlindungan diri, sampai kehormatan dan martabat seperti amanah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Dalam permohonannya, mereka juga membandingkan rumusan perlindungan hukum antara pers dan profesi advokat maupun jaksa. Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan dinilai lebih tegas dan tidak multitafsir. Sebab, secara jelas disebut ada prinsip perlindungan profesi dari tuntutan hukum selama menjalankan tugas dengan itikad baik.
Sehingga, petitum pemohon pada intinya menuntut kepastian mekanisme perlindungan hukum. Persisnya menyatakan Pasal 8 UU Pers beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal ini sepanjang tidak dimaknai, sebagaimana mengutip petitum, termasuk tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers. Atau, termasuk tindakan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.
Merespons permohonan tersebut, Ketua MK Suhartoyo lantas meminta pemohon mempertimbangkan kembali petitumnya. Sebab, nantinya justru mempersempit cakupan perlindungan hukum dalam pasal a quo. Suhartoyo mengatakan, klausul perlindungan hukum itu pengertiannya universal, sehingga sangat disayangkan kalau hanya konteksnya sebatas perlindungan dari aksi hukum kepolisian dan hukum perdata.
“Bagaimana dengan tata usaha negara misalnya satu saat digugat ke TUN misalnya? Atau dipersoalkan lain dalam konteks yuridis juga, bisa jadi kan tidak ter-cover,” ujar Suhartoyo.
Iwakum lantas kembali dengan permohonan perbaikan, yang menghapus petitum terkait pertentangan terkait penjelasan Pasal 8. Sehingga, uji materil lebih fokus hanya pada isi pasal tersebut. Dalam permohonan teranyar, ditambah cerita atau rangkaian kronologi dugaan kekerasan dan penghalangan kerja jurnalis saat meliput aksi demonstrasi pada akhir Agustus lalu.

Rizky Suryarandika, jurnalis Republika yang mengalami kekerasan saat meliput demonstrasi, menjadi pemohon anyar dalam sidang perbaikan pada 9 September 2025. Dalam dokumen terbaru, unsur kerugian sisi jurnalis akibat tidak adanya kepastian hukum semakin dikemukakan. Saat meliput demonstrasi di depan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Rizky mengaku diintimidasi sejumlah polisi.
“Karena pemohon II khawatir ponselnya akan diambil, akhirnya Pemohon II terpaksa menghapus foto dan video, depan mereka. Namun setelah itu ponsel Pemohon II Jakarta diambil, mereka bongkar galeri HP pemohon II seenaknya buat pastikan foto dan videonya dihapus,” petik dokumen gugatan Iwakum.
Pengujian materil Pasal 8 UU Pers berlanjut pada sidang pleno 6 Oktober atau awal pekan ini. Di sidang ini, turut pula hadir Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Fifi Aleyda Yahya, selaku perwakilan pemerintah. Dia menepis isu soal tak adanya kepastian hukum bagi jurnalis dalam UU Pers. Pasal 8 beserta penjelasannya, menurut dia, sudah cukup menjamin keamanan individu jurnalis secara hukum saat bertugas.
“Dengan demikian, Pasal 8 UU Pers tidaklah multitafsir,” ujar Fifi, yang dulu sempat sebagai jurnalis di Metro TV.

Fifi juga menganggap ihwal dalil pemohon terkait perbandingan ‘imunitas’ dengan profesi seperti advokat dan jaksa merupakan hal yang tidak relevan. Sehingga, dia mengkhawatirkan kekebalan tanpa batas bagi profesi jurnalis jika petitum pemohon dikabulkan.
Menurutnya, profesi wartawan memiliki karakter yang berbeda, mulai dari bersifat terbuka, independen, yang merupakan bagian dari kemerdekaan pers.
“Menyamakan wartawan dengan profesi lain akan menimbulkan bias karena perlindungan hukum tidak sama dengan imunitas atau kekebalan,” kata dia.
Mendengar paparan perwakilan pemerintah, Hakim MK, Guntur Hamzah, lantas meminta penjelasan mengenai pendapat soal potensi imunitas tak terbatas profesi wartawan apabila permohonan a quo dikabulkan pihaknya.
Guntur juga merujuk Pasal 15 Ayat (2) UU Pers, yang berisi peran dan kedudukan Dewan Pers. Kata dia, pihak pemerintah belum menjelaskan bagaimana jadinya kalau Dewan Pers ditambah perannya sesuai petitum pemohon. Bahwa setiap penegakan hukum oleh kepolisian terhadap jurnalis, mesti melalui izin dari Dewan Pers, mulai dari soal pemeriksaan, penggeledahan sampai penahanan.
"Sebelum diambil tindakan polisionil, kemudian Dewan Pers dimintakan persetujuan terlebih dahulu, apakah itu tidak boleh? Nah ini yang barangkali belum terjawab dari keterangan pemerintah," kata hakim Guntur.
Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra meminta Pemerintah untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai berapa banyak kasus kriminalisasi wartawan yang pernah terjadi hingga saat ini.
Saldi Isra, hakim MK lain dalam sidang pleno itu juga melempar pertanyaan ke pemerintah terkait mekanisme apa yang bisa menjaga keseimbangan independensi dengan perlindungan hukum profesi bagi wartawan. Saldi mewanti-wanti adanya sengketa atau kasus hukum yang selama ini dialami wartawan.
Pemerintah Memang Seharusnya Bertanggung Jawab
Wakil Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Wahyu Triyogo, sepakat dengan langkah hukum yang ditempuh Iwakum. Menurutnya, pemerintah sudah seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan jurnalis yang memegang teguh kode etik jurnalistik.
Yang selama ini terjadi, kata dia, negara belum hadir memastikan keamanan secara hukum bagi kerja-kerja jurnalis. Sehingga terjadi pengabaian yang dilakukan pemerintah terhadap UU Pers.
Begitu pula di level aparat penegak hukum. Kasus kekerasan oleh aparat terhadap jurnalis saat demonstrasi menjadi preseden buruk implementasi UU Pers oleh negara.
“Ini yang harus jadi concern bersama agar kerja jurnalis tidak dibayang-bayangi kecemasan dan kekerasan,” kata Wahyu kepada Tirto, Rabu (8/10/2025).

Wahyu agak sepakat soal komparasi "imunitas" jurnalis dengan profesi lain diatur dalam UU Pers. Tapi sebelum itu, perlu dilihat pula, aturan lain yang diterbitkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan. Ada sembilan klausul dalam peraturan itu yang mengatur bagaimana kepastian perlindungan bagi jurnalis.
“Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun,” petik salah satu isi peraturannya.
Wahyu mengingatkan semangat membenahi aturan keamanan jurnalis jangan sampai ditunggangi di kemudian hari oleh pihak yang dapat melemahkan posisi jurnalis dan media di mata hukum. Sebab, potensi menjerat jurnalis kritis kini terbuka juga melalui delik pidana dalam UU ITE hingga UU KUHP.
“Jangan sampai jadi celah bagi pihak lain untuk mengintervensi maupun mengubah UU Pers,” ujarnya.
Ketua LBH Pers Mustafa Layong mengatakan isu imunitas kalangan jurnalis memang patut dibicarakan serius. Secara konsep, UU Pers sebetulnya tidak cuma Pasal 8 yang mengatur kepastian hukum jurnalis. Sederet pasal, mulai dari Pasal 4 tentang kemerdekaan pers, hingga Pasal 18 yang mengatur pidana pelanggaran aturan, dinilai sudah cukup sebagai pegangan jurnalis dalam menyuarakan kebenaran.
“Pembacaan kami soal pasal 18 itu memiliki dimensi luas, tak hanya sekedar imunitas. Tapi pasal ini adalah perintah untuk pemerintah menjamin perlindungan hukum. Bukan cuma pemerintah jangan sampai menggugat media atau wartawan. Tapi bagaimana pemerintah membantu media atau jurnalis yang sedang mengalami kekerasan,” kata Mustafa kepada Tirto, Rabu (8/10/2025).

Ihwal perbandingan imunitas dengan advokat, misalnya, Mustafa bilang UU Pers sudah cukup menjelaskan perlindungan hukum. Tapi lagi-lagi praktik atau implementasinya yang sering kali absen dilakoni penegak hukum atau pemerintah. Sehingga kekuatan hukum yang sebetulnya berdasar seakan hampa dimaknai.
“Kalau pun yang perlu dibenahi, bukan cuma perlindungan bagi wartawan, tapi juga media. Karena yang rawan diserang secara perdata juga media. Pemerintah yang harusnya memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis, justru memperkarakan media,” kata Mustafa merujuk gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo.
Mustafa juga mencermati petitum yang disampaikan Iwakum terkait pembatasan tindakan hukum kepolisian terhadap jurnalis. Apa yang dituntut itu masuk dalam istilah upaya paksa—yang kini dipermasalahkan juga dalam pembahasan revisi KUHAP.
Publik pun sedang memperjuangkan kewenangan berlebih kepolisian dalam penegakan hukum, termasuk jangan sampai ada penggeledahan tanpa ada surat perintah.
Merespons petitum Iwakum soal perluasan kewenangan Dewan Pers saat proses penegakan hukum yang mendera wartawan, salah satu anggota Dewan Pers, Abdul Manan, mengatakan itu sudah diatur sebelumnya.
Selama ini, sudah ada mekanisme koordinasi antara Polri dan Dewan Pers dalam menangani sengketa publik dengan wartawan dan media, termasuk jika ada pelaporan pidana terhadap wartawan terkait pemberitaannya.
Manan mengatakan skema itu diatur melalui MoU antara Dewan Pers dan Polri pada tahun 2022 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan serta Perjanjian Kerja Sama Dewan Pers - Polri tahun 2022 tentang Teknis Pelaksanaan Perlindungan Kemerdekaan pers dan Penegakan Hukum terhadap Penyalahgunaan Profesi wartawan.
Dengan MoU dan PKS itu, setiap polisi menerima laporan dari publik yang berhubungan dengan produk pers, maka polisi akan berkoordinasi dengan Dewan Pers. Sehingga, Dewan Pers akan memberikan pendapat apakah laporan itu merupakan sengketa pers atau bukan.
Kata Manan, jika Dewan Pers menilai subyek yang dilaporkan itu merupakan produk pers, maka polisi akan meminta pelapor untuk menyelesaikan kasus itu dengan mekanisme Undang Undang Pers, yaitu menggunakan hak koreksi, hak jawab, ke medianya, atau mengadukan kasusnya ke Dewan Pers.

“Wartawan yang mengaku dihalang-halangi oleh seseorang saat menjalankan profesinya, juga bisa mengadukan ke polisi. Saat memproses kasus ini, Polri akan berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk meminta pendapat apakah kasus yang dilaporkan itu merupakan bentuk penghalang-halangan terhadap kerja jurnalistik atau tidak,” jelas Manan kepada Tirto, Rabu (8/10/2025).
Lebih lanjut, Manan menjelaskan bahwa melalui skema MoU dan PKS itu, polisi juga akan berkoordinasi dengan Dewan Pers jika mendapatkan laporan soal dugaan tindak pidana atau penyalahgunaan profesi seperti pemerasan dan semacamnya oleh wartawan atau yang mengaku sebagai wartawan.
Dewan Pers mencatat setidaknya mengirimkan 30 surat untuk menjawab pertanyaan secara tertulis yang dilayangkan polisi terkait pengaduan yang berhubungan dengan wartawan dan media hingga September 2025.
“Dewan Pers juga mengirimkan 84 ahli pers untuk diminta keterangan oleh polisi. Sebagian besar kasusnya berhubungan dengan laporan dugaan tindak pidana terhadap wartawan dan media memakai UU ITE, selebihnya soal kasus dugaan upaya penghalang-halangan kerja jurnalistik,” urai Manan.
Adapun bicara soal kekerasan terhadap jurnalis, AJI Indonesia mencatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 1 Januari-31 Desember 2024.
Kasus-kasusnya mencakup mulai dari pembunuhan, sebanyak satu kasus, kekerasan fisik sebanyak 19 kasus, teror dan intimidasi 17 kasus, pelarangan liputan delapan kasus, ancaman delapan kasus, serangan digital enam kasus, pemanggilan klarifikasi oleh polisi tiga kasus, kekerasan berbasis gender tiga kasus, penuntutan hukum berupa gugatan perdata ke media dua kasus, perusakan alat/penghapusan data lima kasus, dan swasensor di ruang redaksi satu kasus.
Dari semua laku kekerasan, pelaku paling banyak berasal dari kepolisian, yakni 19 kasus. Lalu menyusul TNI sebelas kasus, warga termasuk ormas sebelas kasus, perusahaan terkait dengan staf/pegawai perusahaan lima kasus, aparat pemerintah empat kasus, pekerja profesional empat kasus, pejabat legislatif dua kasus, pejabat pengadilan satu kasus, pekerja profesional empat kasus, rektorat kampus satu kasus.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































