tirto.id - Pemimpin Gereja Katolik Keuskupan Timika mengkritik keras kebijakan pemerintah di Papua yang terus memberikan izin pembukaan lahan kepada perkebunan kelapa sawit.
"Masyarakat Papua makan sagu, makan umbi-umbian, makan pisang. Kita bukan makan kelapa sawit," kata Mgr John Philip Saklil Pr, dikutip dari Antara, Rabu (18/1/2017).
Uskup Saklil meminta Pemda di Papua tidak menghilangkan kearifan lokal masyarakat yang hidup dari makanan pokok sagu dan umbi-umbian dengan cara membuka puluhan bahkan ratusan ribu hektare hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Uskup Saklil menilai, sudah banyak contoh kegagalan program perkebunan sawit seperti di Kalimantan dan Keerom, Provinsi Papua yang membuat warga setempat tidak lagi memiliki lahan untuk ditanami sagu dan umbi-umbian karena tanah mereka dijual untuk menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Contoh yang paling dekat di Keerom, apakah sekarang masyarakat Keerom sudah kaya raya dengan kelapa sawit. Tidak. Jadi, jangan paksakan masyarakat Papua untuk membangun hidupnya dari tanaman yang bukan kebiasaan adatnya," ujar Uskup Saklil.
Ia juga meminta pemerintah untuk peka terhadap situasi ini. "Saya minta pemerintah di Tanah Papua agar lebih peka menyikapi masalah ini" ujarnya.
Pemda di Papua, kata dia, seharusnya tidak hanya memikirkan pendapatan sebesar-besarnya dari investasi perkebunan kelapa sawit, tetapi juga harus memperhatikan dampak sosial dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat serta dampak ekologis dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan kelapa sawit.
"Selama ini yang mengizinkan investor-investor besar dari luar untuk membangun perkebunan kepala sawit itu kan pemerintah daerah. Tidak mungkin investor masuk kalau tanpa izin pemerintah setempat. Jangan sampai investasi-investasi itu justru menghancurkan kehidupan masyarakat lokal. Negara harus memikirkan hal ini," ujar Uskup Saklil.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto