Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Urgensi Pemilu Berlandaskan HAM & Ongkos Mahal Ketidaknetralan

KontraS memberikan catatan agar permasalahan yang ada saat ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah sebelum pemilu berlangsung.

Urgensi Pemilu Berlandaskan HAM & Ongkos Mahal Ketidaknetralan
Petugas memeriksa kotak suara Pemilu 2024 di gudang milik KPU Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (18/10/2023). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta menerima kedatangan 8.875 kotak suara untuk kebutuhan perlengkapan 1.773 Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu serentak yang akan dilaksanakan 14 Februari 2024. ANTARAFOTO/Maulana Surya/foc.

tirto.id - Pesta demokrasi lima tahunan atau pemilu perlu dijalankan dengan berlandaskan asas kesetaraan, netral, dan imparsial. Ada ongkos mahal ketika pemilu dilakukan tanpa persiapan dan ketidaknetralan. Bukan saja mencoreng nilai demokrasi, kecurangan dan pelanggaran pemilu berpotensi memantik insiden atau gesekan yang memakan korban.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meluncurkan catatan kritis terkait dengan Pemilu 2024. KontraS dalam catatannya, menyatakan pencoblosan yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024, dipenuhi berbagai potensi pelanggaran, kecurangan, dan penyalahgunaan kewenangan.

Pemilu 2024, dalam catatan KontraS, diragukan berjalan secara netral dan imparsial, sebab diwarnai berbagai manuver politik penguasa untuk berpihak pada calon tertentu saat ini. Potensi ketidaknetralan pun dipertegas dengan penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang jauh dari akuntabilitas publik, terlibatnya TNI-Polri, mobilisasi ASN, hingga dugaan tidak netralnya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses awal pemilu.

Deputi Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menyampaikan permasalahan yang ada saat ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah sebelum pemilu berlangsung. Catatan yang dibuat KontraS, kata dia, merupakan bentuk partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan agar pemilu berlangsung mengedepankan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi.

“Kami juga melihat minim sekali upaya antisipatif yang dibangun secara serius guna menghindari adanya pengulangan peristiwa yang terjadi pada pemilu sebelumnya,” kata Andi dalam konferensi pers yang diikuti Tirto secara daring, Rabu (15/11/2023).

Ia menyatakan, pemerintah harus secara serius mengambil pelajaran dari gelaran pilpres dan pilkada yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut untuk menghindari ragam pelanggaran seperti kekerasan berbasis politik, extra-judicial killing karena penggunaan peluru tajam dalam penanganan demonstrasi, hingga tragedi meninggalnya ratusan petugas KPPS pada 2019.

Ia menambahkan, praktik kampanye politik yang berelasi dengan aspek Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA), berpotensi menjadi ancaman yang cukup berbahaya di pemilu mendatang. Sebab, ujaran kebencian yang menyangkut SARA secara nyata telah berimplikasi pada tindakan diskriminatif, bahkan kekerasan di tengah masyarakat.

“Selain itu presiden sebagai kepala pemerintahan harus menjamin hak-hak politik seluruh pihak untuk berpartisipasi pemilu mendatang tanpa adanya diskriminasi dan intervensi,” terang Andi.

Agar tidak terjadinya pelanggaran HAM dalam penanganan dan pengamanan pemilu, KontaS merekomendasikan agar kepolisian berhati-hati dalam mengambil tindakan pengamanan di lapangan. Aparat penegak hukum harus menghindari penggunaan kekuatan secara berlebihan yang bermuara pada pelanggaran HAM.

“Hal ini dapat dilakukan secara konkret dengan menyusun pedoman atau menerbitkan surat telegram yang berisi seruan untuk bersikap netral di lapangan, tidak menggunakan peluru tajam dalam penanganan aksi massa, dan perintah pengambilan tindakan terukur lainnya,” ujar Andi.

Andi mendesak pemegang kekuasaan saat ini bersikap netral dalam Pemilu 2024. Ia menyatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar bersikap netral pada Pemilu 2024 dengan menghentikan berbagai bentuk dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan intervensi, baik lewat pengerahan TNI-Polri, BIN, hingga ASN.

Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta menyusun langkah-langkah strategis guna mencegah terjadinya insiden meninggal petugas KPPS, seperti pada 2019. Menurut catatan KPU pada Pemilu 2019, ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.

“KPU dapat melakukan pengecekan kondisi kesehatan baik fisik dan mental dalam proses rekrutmen, mengorganisir beban agar tidak terlalu berat, dan memperketat syarat usia,” kata Andi.

Ongkos Mahal Ketidaknetralan

Dalam kesempatan yang sama, pakar kepemiluan sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyampaikan pemilu merupakan rangkaian proses di mana satu tahapan dengan tahapan lain saling terhubung dan harus terjaga.

Ia menyatakan, penting untuk memastikan penyelenggara pemilu independen, profesional, dan kredibel. Titi menambahkan, hal itu juga diikuti dengan peserta pemilu yang berkompetisi secara adil dan setara.

“Penegakan hukumnya betul-betul berkeadilan untuk memberikan jaminan pada penegakan aturan main dan perlindungan hak untuk memilih dan dipilih,” ujar Titi.

Menurut Titi, ketidaknetralan aparatur sipil negara bukan hanya berbahaya bagi penyelenggaraan pemilu dan demokrasi, namun juga menyebabkan ongkos penyelenggaraan yang dikeluarkan jadi lebih besar. Ia mencontohkan saat 2016, terjadi kecurangan pada pilkada di Kabupaten Mamberamo Raya yang melibatkan Brimob.

“Pilkada Mamberamo Raya 2016 dalam putusan MK Nomor 24/PHP.BUP-XIV/2016, itu Pilkada di 9 TPS harus diulang karena ada keterlibatan aparat dalam hal ini Polri-Brimob dalam proses pemungutan suara. Bayangkan itu berapa biaya untuk pemungutan suara ulang (PSU) di 9 TPS, ini Papua lho lokasinya sangat remote,” jelas Titi.

Sebagai informasi, dalam kasus tersebut diduga ada keterlibatan 20 anggota Brimob yang mengintervensi proses PSU. Mereka melakukan intimidasi kepada Kepala Kampung Fona agar memilih salah satu kandidat. Tak hanya itu, ada iming-iming uang senilai Rp500 ribu dan ancaman penembakan kepada warga bila tidak memilih salah satu kandidat.

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin Siagian, menyatakan pihaknya sudah menyampaikan rekomendasi kepada KPU, Bawaslu, dan Kementerian Kesehatan agar insiden meninggalnya ratusan petugas KPPS tidak kembali terjadi. Menurut temuan Komnas HAM pada kejadian di Pemilu 2019, ada sekitar 10.987 petugas KPPS yang mengalami sakit dan rata-rata punya riwayat penyakit penyerta.

“Manajemen risikonya memang rendah pada saat itu dan penyelenggara pemilu tidak optimal dalam analaisis beban kerja petugas,” kata Saurlin.

Maka dari itu, kata dia, untuk Pemilu 2024, Komnas HAM membuat pos pengaduan jika terjadi indikasi pelanggaran dan insiden terkait HAM pada pelaksanaan pesta demokrasi mendatang. Laporan ini akan diproses secara independen agar dapat menghasilkan rekomendasi cepat.

“Dilengkapi dengan panduan penerimaan panduan dan proses cepat pada panduan yang tentunya berbeda dengan Bawaslu,” ujar Saurlin.

Dalam kesempatan terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, menegaskan dugaan kecurangan pemilu yang dinarasikan oleh sebagian elite politik semakin mempersuram situasi pemilu yang sebentar lagi hendak memasuki tahapan kampanye. Pasalnya, isu kecurangan pemilu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum yang tersedia.

“Jangan sampai masyarakat dikorbankan dengan ‘gimik politik’ yang dapat menyulut api pendukung salah satu calon yang merasa dicurangi untuk berkonflik dengan pendukung calon lainnya,” ujar Paramita dalam keterangan tertulis, Rabu (15/11/2023).

Ia menambahkan, pascapenetapan nomor urut calon presiden dan calon wakil presiden, jangan sampai ada yang melakukan kampanye lebih dulu yang pada dasarnya dilarang oleh Undang-Undang Pemilu sebelum dimulainya masa kampanye resmi.

“Apalagi, ada sanksi pidana bagi mereka yang kampanye di luar jadwal yang ditetapkan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota,” kata dia.

Paramita mendorong agar KPU senantiasa memberikan perlakuan yang adil kepada seluruh peserta pemilu dan menjalankan setiap proses pelaksanaan pemilu secara profesional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penyelenggaraan pemilu. Selain itu, ia mengutuk semua tindakan yang berorientasi pada lahirnya “Neo Orde Baru” dengan menggerakan aparat negara berpihak pada calon tertentu.

Antisipasi KPU

Komisioner KPU RI, Idham Holik, menyampaikan pihaknya sudah memitigasi potensi insiden yang bisa terjadi pada proses pemilu dan saat perhitungan suara selesai dilakukan. Hal ini dilakukan agar ada kepastian hukum dan supremasi hukum dalam berdemokrasi.

“KPU memiliki kewajiban untuk terus melakukan sosialisasi pendidikan kepada pemilih serta diseminasi informasi yang informatif dan mencerahkan,” kata Idham dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/11/2023).

Selain itu, untuk mencegah insiden berulang petugas KPPS yang sakit hingga menyebabkan kematian, KPU sebagai penyelenggara pemilu sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di setiap daerah.

“Pembukaan rekrutmen petugas KPPS akan dilakukan Januari 2024. Maka saat ini KPU pastikan mereka yang menjadi KPPS memiliki kesehatan sesuai beban pekerjaan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz