tirto.id - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengatakan upah minimum sektoral resmi "dihapus" lewat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Hal ini disepakati dalam rapat kerja antara Baleg DPR RI dan pemerintah pada Minggu (27/9/2020).
Meski demikian, kepada wartawan Tirto, Selasa (29/9/2020), ia memastikan "yang sudah dapat [upah minimum sektoral] penghasilannya tidak berkurang."
Staf ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi juga mengatakan perusahaan dilarang menetapkan upah lebih rendah untuk para pekerja yang telah mendapatkan upah dengan standar minimum sektoral.
Dengan keputusan ini, jika RUU Ciptaker disahkan, maka hanya akan ada dua skema upah yang berlaku di Indonesia, yaitu Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Dampak Upah Sektoral Dihapus
Tapi buruh ragu dengan janji tersebut. Kepada wartawan Tirto, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah mengatakan ia dan rekan-rekannya khawatir upah yang diterima para pekerja akan turun.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum, Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) harus lebih besar dari UMP, dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) harus lebih besar dari UMK.
"UMSK ditetapkan minimal 5 persen di atas UMK. Dengan penghapusan ini perusahaan enggak ada kewajiban lagi untuk membayar upah sektoral. Artinya dia (pengusaha) lebih diuntungkan. Otomatis ada penurunan," katanya. "Saya juga aneh penghapusannya ini hari Minggu. Seperti dikejar storan untuk segera selesai," tambahnya.
Pembahasan RUU Ciptaker dikebut sejak Jumat (25/9/2020) hingga Minggu (27/9/2020) malam, di sebuah hotel. Klaster ketenagakerjaan selesai dibahas dan diketok palu pada pukul 22.48 WIB.
Kebijakan ini memang menguntungkan pengusaha, karena itu sudah sejak lama menginginkan menginginkan peraturan ini dihapus. "Kami mengusulkan tak ada lagi upah minimum sektoral," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani November tahun lalu.
Pemerintah sendiri belum punya jaminan apa-apa pengusaha tidak menurunkan upah pekerjanya selain janji dalam rapat itu. Karena itu Wakil Ketua Baleg Willy Aditya meminta pemerintah segara merumuskan norma upah minimum. "Biar jaminan itu jelas bagi kita semua," katanya.
Soal upah hanya satu dari sekian banyak alasan pekerja menolak RUU Ciptaker. Ilhamsyah bilang mereka akan terus melakukan demonstrasi "sampai RUU ini dibatalkan."
Dampak lebih jauh dari penghapusan upah regional, menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah, adalah memperuncing konflik pengusaha dan pekerja karena pekerja akan semakin dieksploitasi.
"[Penghapusan] upah minimum sektoral ini akan jadi entry poin bagi para pelaku usaha untuk membuat aturan yang jauh lebih membebani para buruh," kata dia kepada wartawan Tirto, Senin (28/9/2020).
Sebelum ada RUU Ciptaker pun ada saja pengusaha yang tak patuh ketentuan upah minimum. Tahun 2018 lalu LBH Jakarta mencatat pelanggaran ketenagakerjaan terkait upah menempati posisi ketiga, aduannya mencapai 22 kasus, di bawah PHK sepihak (35 kasus) dan jumlah pesangon tak sesuai (29 kasus). Ini belum termasuk kasus-kasus yang diadvokasi oleh serikat.
Upah minimum dirumuskan berdasarkan sejumlah variabel, meliputi inflasi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan koefisien kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketentuan ini sebenarnya punya sisi positif, kata peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mirah Midadan Fahmid. "Sisi baiknya adalah terdapat pertimbangan inflasi dan perubahan PDRB. Ada faktor kepastian dalam menentukan batas upah minimum ke depannya bagi pengusaha dan buruh," katanya kepada wartawan Tirto, Senin.
Di sisi lain, itu bisa berarti berita buruk bagi pekerja. Pasalnya, mereka tak bisa lagi menggunakan variabel komponen hidup layak (KHL) yang selama ini jadi senjata andalan untuk mendongkrak kenaikan upah minimum. Penghapusan upah sektoral serta tak digunakannya lagi variabel KHL, kata dia, berisiko menurunkan standar upah.
Lebih jauh dari itu, RUU Ciptaker sendiri menurutnya memang merugikan pekerja.
Dalam Pasal 88 UU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh "berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." RUU Ciptaker mengubahnya menjadi hanya "setiap pekerja/ buruh berhak atas kehidupan layak."
"Dari perubahan frasa itu saja sudah merugikan. Menghilangkan ketentuan penghasilan, menurut saya, itu sudah keliru. Penghasilan itu kan konsekuensi dari sebuah pekerjaan," katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino