tirto.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 baru saja usai, tapi riuh-rendahnya masih terasa hingga kini. Karena pendaftaran kandidat presiden dan wakil presiden dibuka tak sampai sebulan lagi, niscaya politik di negeri ini tak akan pernah sepi.
Sejumlah lembaga melangsungkan survei exit poll pada hari pemilihan, Rabu (27/6) lalu. Selain untuk menelaah pola pilihan kandidat kepala daerah para pemilih, exit poll juga menanyakan kandidat presiden yang akan dipilih apabila pemilihan presiden (Pilpres) dilaksanakan pada hari tersebut.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyelenggarakan exit poll di empat provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, yaitu Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), dan Sumatera Utara (Sumut). Sensus Penduduk Indonesia (2010) menyatakan jumlah penduduk di 4 provinsi ini mencakup 53 persen jumlah penduduk Indonesia. Meraih suara sebesar-besarnya di empat provinsi ini adalah kunci kandidat untuk menangkan Pilpres.
Prabowo yang Tak Kunjung Bersinar
Exit poll SMRC menyertakan opsi 2 kandidat calon presiden (capres) kepada responden yang dicuplik secara acak dan tersebar di 400 tempat pemungutuan suara (TPS) setiap provinsi: Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Hasilnya, Prabowo, Ketua Umum Gerindra itu, hanya mengungguli Jokowi di Jabar. Prabowo memperoleh 51,2 persen, sementara Jokowi mendapat 40,3 persen.
Di dua provinsi lainnya, Prabowo tertinggal lebih dari 50 persen dari Jokowi. Di Jateng, Prabowo memperoleh 19,7 persen dan Jokowi meraup 73,1 persen. Sedangkan di Jatim, Prabowo mendapat 19,7 persen dan Jokowi memperoleh 64,2 persen.
Sementara di Sumut, Prabowo kalah cukup tipis. Di provinsi yang penduduknya terbanyak keempat di Indonesia itu, Jokowi memperoleh 52,8 persen, sementara Prabowo meraup 40,4 persen.
Elektabilitas Jokowi di Jabar berdasarkan exit poll SMRC tersebut tampak mencerminkan perolehan suaranya di Pilpres 2014. Kala itu, Jokowi-JK meraup suara sebesar 40,22 persen, sementara Prabowo-Hatta memperoleh 59,78 persen.
Namun, Exit poll SMRC tersebut berkebalikan dengan hasil survei sejumlah lembaga yang dilakukan sebelum hari pemilihan.
Indikator Politik Indonesia pada Maret-Mei 2018 menyurvei sebanyak 800 responden di Jabar dengan margin of error +/- 3,5 persen. Dengan skema pertanyaan serupa exit poll SMRC, Jokowi memperoleh 50 persen, sementara Prabowo meraup 39 persen.
Sedangkan survei Indo Barometer terhadap 1.200 responden dengan margin of error sebesar +/- 2,83% menyebutkan elektabilitas Jokowi sebesar 41,4 persen, unggul dari Prabowo yang memperoleh 31,9 persen.
"Alhamdulillah, hasil exit poll SMRC tersebut menunjukkan bahwa pak Prabowo unggul di Jawa Barat. Kami terus berbenah diri untuk menyambut Pilpres 2019. Kami meyakini Gerindra akan menjadi pemenang pemilu legislatif dan Prabowo akan menjadi presiden Indonesia," sebut Ketua Badan Komunikasi Gerindra Andre Rosiade kepada Tirto, Rabu (4/7) malam.
Apa Kabar Gerindra, PKS, PAN?
Empat provinsi di atas punya peran kunci. Kecuali di Jatim, Gerindra bersama PKS dan PAN pun berjibaku berkoalisi mengusung kandidatnya di wilayah tersebut.
Di Pilgub Jawa Tengah (Jateng), Gerindra, PAN, PKS, dan PKB mengusung Sudirman Said dan Ida Fauziyah. Hasil hitung cepat SMRC menyebutkan Sudirman-Ida memperoleh 42,42 persen, kalah dari rival satu-satunya mereka, Ganjar-Yasin, yang mendapatkan 58,58 persen.
Sedangkan di Pilgub Jawa Barat, hasil hitung cepat SMRC menyatakan Sudrajat dan Achmad Syaikhu, kandidat yang diusung Gerindra, PAN, dan PKS, mendapatkan 29,58 persen, kalah dari Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum.
Hanya di Sumut (Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah), kandidat Gerindra, PKS, dan PAN menang. Hasil hitung cepat SMRC di Sumut menyatakan Edy-Musa memperoleh 58,81 persen. Sedangkan lawannya, Djarot-Sihar, meraih 41,19 persen.
Di luar 3 provinsi tersebut, kandidat Gerindra, PKS, dan PAN kalah di Maluku Utara dan menang di Kalimantan Timur.
Meskipun kandidat-kandidat tersebut kalah, ada peningkatan suara dibanding elektabilitas para kandidat yang disigi lembaga survei sebelum hari pemilihan, terutama di Jabar.
Survei Litbang Kompas pada Februari 2018 menyebutkan elektabilitas Sudrajat-Syaikhu sebesar 7,8 persen. Lalu, survei Litbang Kompas pada 10-15 Mei 2018 menyatakan elektabilitas Sudrajat-Syaikhu sebesar 11,4 persen. Kemudian, hasil hitung cepat Litbang Kompas pada hari pemilihan menyatakan Sudrajat-Syaikhu memperoleh 29,53 persen.
Manajer Penelitian Litbang Kompas Toto Suryaningtyas mengatakan basis massa Sudrajat-Syaikhu kuat di daerah Megapolitan Jabar yang meliputi Kota Depok, Kota dan Kabupaten Bogor, serta Kota dan Kabupaten Bekasi. Exit poll Litbang Kompas menyigi ada 40,5 persen responden dari wilayah ini memilih Sudrajat-Syaikhu.
"Megapolitan Jabar ini sebenarnya basis massa Deddy Mizwar. Tapi PKS berhasil mengonsolidasikan suaranya di sini. Dari wilayah Megapolitan Jabar, tim sukses Sudrajat-Syaikhu kemudian menggerogoti basis-basis massa kandidat yang berada di wilayah lainnya di Jawa Barat," ujar Toto kepada Tirto.
Selain mendapat peningkatan suara, para pemilih ketiga partai tersebut juga kompak betul di Jabar dan Jateng.
Exit poll Litbang Kompas menyebutkan 50,8 persen pemilih Gerindra, 50 persen pemilih PAN, dan 75 persen pemilih PKS juga memilih Sudrajat-Syaikhu di Jabar. Sedangkan di Jateng, 73,5 persen pemilih Gerindra, 73,3 persen pemilih PAN, dan 80,8 persen pemilih PKS juga memilih Sudirman-Ida.
Adapun hasil tersebut bisa dibandingkan dengan pemilih PDIP, Demokrat, dan Golkar di Jabar. Exit poll Litbang Kompas mencatat hanya 31,4 persen pemilih PDIP yang memilih Tb. Hasanuddin-Anton Charliyan. Sementara itu, hanya 32,1 persen pemilih Demokrat dan 46,8 persen pemilih Golkar memilih Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Gerindra dan Berbagai Opsi
Melihat dinamika di atas, elektabilitas Prabowo keok di 3 provinsi berpenduduk terbanyak di Indonesia. Di Jabar pun, elektabilitas Prabowo hanya unggul cukup tipis dari Jokowi. Namun, partai-partai yang selama ini dikenal satu haluan dengannya tampak kompak di Pilkada 2018 dan sudah ada rencana yang disampaikan petinggi partai untuk berkoalisi di Pilpres 2019.
Dilihat dari kekompakan partai, mesin ketiga partai bekerja dan ini salah satu modal yang diperlukan dalam menghadapi Pilpres 2019 yang, apabila tidak berubah, pendaftaran kandidatnya dibuka KPU pada 4-10 Agustus 2018. Namun, tiga partai ini belum bersepakat soal kandidat yang bakal diusung.
PKS telah mengumumkan 9 nama kadernya yang bakal diajukan sebagai capres atau cawapres. Senin (2/7) kemarin, Presiden PKS Shohibul Iman mengatakan banyak kader partainya ingin mengusung Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta, sebagai capres. Sedangkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengatakan, “PAN punya capres sendiri,” seraya menyebutkan bahwa pihaknya tengah secara intensif mendekati sejumlah tokoh, dari Prabowo, Anies, Jokowi, hingga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Sementara itu, Ketua Bakom Gerindra Andre Rosiade mengatakan Gerindra tetap akan mengusung Prabowo sebagai calon presiden (capres) pada 2019. Ini juga sudah ditegaskan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon sehari setelah pencoblosan Pilkada 2018. Fadli berkata, “Pak Prabowo 100 persen maju. Kita semakin optimis.” Menurut Andre, Anies hanya punya kemungkinan menjadi cawapres Prabowo.
Optimisme kedua kader Gerindra tersebut didasarkan pada peningkatan suara yang diperoleh kandidat yang pihak mereka usung—sebuah optimisme yang patut diapresiasi. Namun peningkatan suara tersebut jelas bukan karena kerja Gerindra semata. PKS dan PAN punya andil di situ. Karena itu, Gerindra juga harus berani membuka opsi untuk tidak mencalonkan Prabowo, meski ketokohan bekas Danjen Kopassus itu masih kuat dan mengakar di internal partai.
Editor: Ivan Aulia Ahsan