tirto.id - Di balik pembawaan yang dingin dan pendiam, Muhammad Zainul Majdi sesungguhnya politikus yang vokal. Pada 2016, dia tidak segan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan kebijakan impor beras. Saat itu, Jokowi tengah menghadiri Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebagai gubernur, Zainul menyambut Jokowi dan menyampaikan pidato.
“Kami berharap Bapak Presiden, kalau bisa tidak ada impor beras. NTB menghasilkan sekitar 1,3 juta ton beras per tahun,” ujar Zainul.
Kevokalan Zainul juga terlihat dua tahun sebelumnya. Pada Mei 2014, Zainul menyampaikan kepada khalayak bahwa dirinya mendukung Prabowo-Hatta, padahal pimpinan pusat Partai Demokrat belum menentukan. Kala itu, Zainul menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Demokrat NTB. Jabatan itu diemban Zainul sejak 2011, tiga tahun setelah dia terpilih sebagai Gubernur NTB.
"Secara pribadi saya dukung Prabowo-Hatta karena keduanya merupakan pemimpin yang tegas dan berani," ucap Zainul.
Dua sikap tersebut kemudian membentuk citra Zainul sebagai politikus yang tidak hanya vokal, tetapi juga kritis terhadap Jokowi. Setahun belakangan, saat orang-orang mencari kandidat yang layak menandingi Jokowi, nama Zainul Majdi pun muncul.
Salah satu yang memasukkan Zainul sebagai salah satu kandidat calon presiden adalah Persaudaraan Alumni (PA) 212. Zainul dinilai memenuhi kriteria capres versi PA 212: beragama islam, berintegritas, berkomitmen pada Pancasila dan menjaga kesatuan NKRI, serta tidak termasuk dalam aliran sesat dan paham komunis.
Namun, Zainul lagi-lagi menunjukkan kevokalannya. Pada Selasa (3/7) pekan ini, Zainul menyampaikan bahwa dirinya mendukung Jokowi menjabat selama dua periode.
Ini juga diungkapkan Zainul kala Demokrat belum menentukan kandidat yang diusung. Terkait pernyataan Zainul, Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat Agus Hermanto mengatakan itu sebagai sikap pribadi. Sedangkan PA 212 langsung menyoret Zainul dari daftar kandidat yang mereka usung.
Politikus yang Ulama
Zainul juga seorang ulama yang pandai. Pada 1992, dia terbang ke Mesir guna menimba ilmu tafsir di Universitas Al-Azhar. Zainul lulus dari universitas tersebut pada 1996 dan melanjutkan ke jenjang master dan doktoral. Disertasinya berjudul “Studi dan Analisis terhadap Manuskrip Kitab Tafsir Ibnu Kamal Basya dari Awal Surat An-Nahl hingga Akhir Surat Ash-Shoffat”.
Zainul kemudian pulang kampung ke Lombok. Pada 2007, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (NW), organisasi masyarakat keislaman yang sebagian besar anggotanya ada di Lombok. Dia pun didaulat sebagai Tuan Guru Bajang (TGB). Sejak itu, Zainul lebih akrab dipanggil TGB.
Bianca J. Smith dan Saipul Hamdi menuliskan dalam makalah mereka, "Between Sufi and Salafi Subjects: Female Leadership, Spiritual Power, and Gender Matters in Lombok" (2014), bahwa TGB secara subtil mengenalkan reformasi Salafi dalam tubuh NW.
"Tidak seperti kelompok Salafi lain yang menolak perbedaan budaya dan perbedaan dalam tubuh Islam, TGB menggunakan budaya sebagai metode salafisasi NW dari dalam, yang mana dia melakukan itu dalam konteks ajaran Syafi'i yang konsisten dengan teologi normatif organisasi NW," ujar Smith dan Hamdi.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menulis dalam kolomnya di Republika bahwa berakhirnya Perang Dunia I dan peningkatan ekonomi sejak 1920-an mendorong orang-orang di Nusantara untuk menempuh studi di Kairo, Mesir. Azyumardi mencatat ada sekitar 150-an mahasiswa nusantara di Kairo pada 1925. Umumnya mereka belajar di Universitas Al-Azhar.
Pada masa itu, para mahasiswa asal nusantara di Al-Azhar tidak hanya belajar agama, tetapi juga aktif dalam arus gerakan politik yang membuncah di Mesir. Di Hindia Belanda pun gerakan nasionalisme anti-kolonial semakin masif berkat diberlakukannya Politik Etis pada awal abad ke-20.
Hal itu bisa dilihat dari didirikannya wadah mahasiswa asal Nusantara di Al-Azhar, Djamaah al-Chairiyyah al-Talabijjah al-Djawijjah, pada 1923 di Mesir. Para pengurus lembaga yang menerbitkan jurnal Seruan Azhar ini kemudian dikenal atas perannya menjelang dan setelah kemerdekaan Indonesia.
Raden Fathurrahman Kafrawi, pimpinan Seruan Azhar, menjadi petinggi partai Masyumi. Sedangkan Muhammad Junus, salah satu penulis Seruan Azhar, menjadi kepala Departemen Agama setelah Indonesia merdeka.
Taufik Damas, alumnus Al-Azhar, mengatakan bahwa almamaternya mengajarkan Islam yang moderat berdasarkan prinsip-prinsip ahlussunnah wal jamaah. Laki-laki yang berangkat ke Kairo pada 1997 itu menyebutkan para mahasiswa di Al-Azhar tidak didoktrin untuk menganut satu mazhab pemikiran.
"Bahwa kemudian alumni Al-Azhar bisa berbeda cara pandang keagamaan, itu hal yang wajar," sebut Taufik yang kini menjadi Wakil Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Jakarta.
Mona Abaza menuliskan dalam Changing Images of Three Generations of Azharites in Indonesia (1993) bahwa dua alumni Al-Azhar yang tergolong satu generasi, Harun Nasution dan Fuad Fakhruddin, berbeda pendapat soal Muhammad Abduh, pembaharu pemikiran Islam asal Mesir.
Mualim Rifan, alumnus Al-Azhar yang kini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Rakha Amuntai di Kalimantan Selatan juga berpendapat serupa mengenai kemoderatan Al-Azhar. Laki-laki yang berangkat ke Al-Azhar pada 1992 itu bahkan menjamin alumni Al-Azhar di tempat mana pun akan mengedepankan nilai moderasi.
"Bagaimana pun di Mesir itu berimbang. Tidak ada pembatasan buku mana yang boleh dibaca atau tidak. Salah satu buktinya ialah setiap tahun diselenggarakan International Cairo Bookfair. Di situ, semua buku ada, mulai dari yang komunis hingga Konghucu. Meskipun ada suatu hal yang dianggap nyeleneh, itu akan dibalas tulisan atau orasi," ujar Mualim.
Al-Azhar sendiri, menurut Mualim, tidak mengajarkan satu pandangan politik tertentu. Yang terjadi justru alumni Al-Azhar memiliki beragam pandangan tentang politik. Ini juga yang membuat alumni Al-Azhar masuk di berbagai organisasi masyarakat keislaman, dari Muhammadiyah, NU, NW, hingga Persis.
"Ada juga kawan saya yang masuk Jaringan Islam Liberal. Ada pula yang ke dunia sufi. Ini yang baru datang ke pondok saya, Dr. Uhumuddin, cicitnya Nawawi Al-Bantani. Untuk kajian tasawuf saya undang beliau yang sosoknya tidak fatalistik tetapi mencerahkan," ujar Mualim.
Belum Maksimal Manfaatkan Jaringan Alumni
TGB Zainul Majdi dipilih sebagai ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia pada Oktober 2017. TGB ditunjuk langsung oleh Quraish Shihab, ketua OIAA cabang Indonesia sebelumnya.
"Soal Islam, TGB orang yang moderat karena memelajari ilmu tafsir di Al-Azhar. Dia seorang doktor tafsir, sama seperti Quraish Shihab yang juga alumni Al-Azhar. Dalam ilmu tafsir, Quraish Shihab punya kelebihan dalam mendalami makna kata dan kalimat. Sedangkan TGB Zainul Majdi punya kelebihan dalam menelaah konteks tafsir," ujar Mualim.
Sejumlah ikatan alumni Al-Azhar di Indonesia pun mendeklarasikan TGB sebagai kandidat di Pilpres 2019. OIAA cabang Indonesia pun bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan politik TGB.
Azyumardi mencatat total mahasiswa Indonesia sejak paruh kedua dasawarsa 1990-an, khususnya di Universitas al-Azhar, berfluktuasi antara 4.000-an sampai 5.000-an setiap tahun. Sedangkan pada 2017, mahasiswa Indonesia yang kuliah Al-Azhar mencapai 1.556 orang.
Namun, menurut Mualim, sebagai alumnus Al-Azhar dia tidak melihat TGB memanfaatkan betul jaringan alumni Al-Azhar yang tersebar di Indonesia. TGB belum secara maksimal menyambangi alumni Al-Azhar di daerah luar Jakarta.
"Ini kan masalah jaringan kalau hanya pusat (Jakarta) saja yang dipegang. Padahal, kami ini kan banyak di daerah-daerah dan tersebar di NU, Muhammadiyah, atau Persis. Kalau mau dia turun ke almamater, itu bisa menjadi kekuatan yang luar biasa. Alumni Al-Azhar signifikan juga di daerah," ujar Mualim.
Setelah TGB Zainul Majdi mengalihkan dukungannya kepada Jokowi, Mualim bersama sejumlah alumni Al-Azhar di Kalimantan Selatan mengatakan akan mengonfirmasi pernyataan tersebut.
"Saya belum langsung percaya. Teman-teman di Kalimantan akan mengonfirmasi langsung kepada TGB. Kami sulit percaya kepada media," ujar Mualim.
Editor: Ivan Aulia Ahsan