tirto.id - Harun Nasution terhenyak saat tiba di Mekkah. Di mata anak muda ini, tanah suci masih agak terbelakang, padahal saat itu sudah memasuki dekade kedua abad ke-20. Tak dilihatnya sepeda motor, apalagi mobil. Kebanyakan unta atau sesekali keledai yang berjalan pelan mengangkut beban. Jalanannya berdebu, penuh pasir, bahkan terkesan kotor dan kumuh dengan lalat berterbangan, hinggap di mana-mana.
Barangkali wajar jika Harun merasa tidak cocok tinggal di Arab Saudi. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang lebih tertata, lebih nyaman melakoni peradaban modern yang dihadirkan pemerintah kolonial Hindia Belanda di tanah airnya.
Semangat modernitas inilah yang membentuk kepribadian Harun, termasuk dalam menjalankan ajaran Islam. Nantinya, ia dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang mengedepankan akal dan pikiran ketimbang adat, tradisi, atau ritual-ritual yang dianggapnya menghambat kemajuan kaum Muslimin.
Pilih Kairo Ketimbang Mekkah
Sejatinya, Harun enggan pergi ke Arab Saudi. Jika boleh memilih, ia lebih senang melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Namun, demi menghormati kehendak ibunda tercinta, Harun akhirnya berangkat juga ke Mekkah meski kemudian ia tidak kerasan di sana.
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 23 September 1919. Ayahnya adalah seorang pedagang asal Mandailing sekaligus dikenal sebagai qadhi atau penghulu.
Ayah Harun bertipikal fatalis, selalu berserah diri kepada Tuhan tentang apa yang sedang dan akan terjadi. Keberadaan orang-orang Belanda di Indonesia, misalnya, bagi ayah Harun sudah menjadi ketentuan yang digariskan Allah. Belanda akan pergi jika Allah menghendaki. Maka, ia tidak ingin anak-anaknya, termasuk Harun, ikut terlibat dalam arus pergerakan nasional yang sedang menghangat di tanah air kala itu.
Namun, Harun sejak dini sudah mengecap pendidikan modern, selain tentu saja mendalami agama Islam. Ia menuntaskan sekolah dasarnya di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) yang dibentuk pemerintah kolonial untuk anak-anak pribumi.
Setelah lulus dari HIS, Harun melanjutkan studi ke Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi. Ini adalah sekolah guru tingkat menengah pertama swasta yang dikelola ulama pembaharu Islam asal Sumatera Barat, Abdul Gafar Jambek.
Kehidupan sekolah di MIK bernuansa modern, murid-muridnya berdasi laiknya orang Eropa, bahasa Belanda pun menjadi bahasa pengantarnya. Menurut Aqib Suminto dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (1989), sekolah ini juga mengajarkan bahwa memelihara anjing boleh-boleh saja, atau tidak perlu bersuci dulu jika memegang kitab suci (hlm. 7).
Ayah dan terutama ibunda Harun rupanya khawatir, lantas mengirimnya ke Mekkah. Namun, ia benar-benar merasa tidak bisa menikmati kehidupan asing di negeri itu. Orangtua Harun akhirnya menyerah dan membolehkannya kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Selain itu, ia juga menjalani studi di American University of Cairo.
Kuliahnya di Al-Azhar terbengkalai lantaran kiriman uang terhambat akibat Perang Dunia II. Namun, setelahnya Harun masih sempat meraih gelar sarjana muda dari American University of Cairo (hlm. 14). Kala itu, Indonesia sudah merdeka. Harun pun memutuskan pulang ke tanah air, bekerja untuk Departemen Luar Negeri RI dan ditempatkan Arab Saudi, Belgia, serta Mesir.
Seperti dicatat Ris'an Rusli dalam Pemikiran Teologi Islam Modern (2018), Harun meneruskan studi ke Al-Dirasah Al-Islamiyyaħ di Mesir dan McGill University di Kanada. Setelah menerima gelar master dan kemudian doktor (Ph.D), ia kembali lagi ke Indonesia hingga akhirnya resmi menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah sejak 1973 (hlm. 240).
Memadukan Wahyu dengan Akal
“Harapanku memang cuma satu. Pemikiran asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional mu'tazilaħ, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional,” sebut Harun Nasution seperti dikutip Suminto (hlm. 61).
Asy’ariyah kerap dianggap sebagai aliran yang mewakili golongan Islam tradisional. Sebaliknya, mu'tazilaħ merupakan kelompok Islam rasional. Mu'tazilaħ inilah yang dipegang teguh Harun dan diperkenalkan kembali ke Indonesia.
Harun sangat terinspirasi dengan pemikiran tokoh gerakan modernisme Islam dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), yang dianggapnya selaras dengan teologi rasional mu'tazilaħ. Disertasinya pun mengangkat tentang sosok ini, yakni berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.”
Terkait ini, Harun menuangkan kecocokan pemikirannya dengan Muhammad Abduh melalui buku berjudul Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1996). Salah satunya tentang sikap jumud yang oleh Abduh disebut sebagai penyebab utama kemunduran umat Islam (hlm. 174).
Pemikiran Abduh ini sangat mengena dalam pemahaman Harun. Menurutnya, yang juga menjadi penyebab kemunduran umat Islam di Indonesia tidak lain adalah kejumudan. Ia mengidentikkan ini dengan golongan asy’ariyah yang disebutnya bersifat sangat jabariah atau terlalu menyerah kepada takdir.
Sebagaimana ditelaah Warkum Sumitro dan kawan-kawan dalam Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer: Kritik Terhadap Paham Ortodoksi Perkawinan Poligini di Indonesia (2014), Harun sependapat dengan Abduh bahwa sumber utama ajaran Islam juga dari akal manusia. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi sehingga Islam adalah agama yang rasional (hlm. 38).
Bagi Harun, mempergunakan akal adalah salah satu dasar dalam beragama Islam. Iman seseorang tidak akan sempurna jika tidak didasarkan pada akal. Dalam Islam-lah, menurutnya, agama dan akal pertama kali bisa berdampingan.
Harun meyakini potensi akal harus dimanfaatkan untuk mencapai kemajuan umat Islam yang terwujud dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern yang berdasar kepada sunatullah, tambahnya, tidak bertentangan dengan Islam. Kedua-duanya bersumber dari Allah. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan, demikian pula sebaliknya.
Dalam bukunya yang menjadi rujukan utama para mahasiswa IAIN, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (1986), Harun menyatakan bahwa perpaduan pemikiran Abduh dan konsep mu'tazilaħ mampu membawa masyarakat menjauh dari kekacauan, bahkan tanpa turunnya wahyu sekalipun (hlm. 47). Namun, bukan berarti Harun menentang konsep wahyu dalam meyakini Islam dan keilahian Tuhan.
Harun justru selalu memadukan wahyu dengan akal selaku dua unsur utama yang saling melengkapi. Ia meyakini, Alquran sebagai wahyu Allah memandang akal sebagai sesuatu yang sangat penting. Akal, menurut Harun, amat berguna bagi manusia untuk membedakan mana kebaikan dan mana keburukan—hal-hal yang juga termaktub dalam kitab suci.
Maka, Harun sangat tidak tertarik dengan ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid buta di kalangan umat dan menyebabkan orang Islam berhenti menggunakan akalnya. Sikap seperti itu bahkan dipandang Harun bertentangan dengan Alquran dan Hadis (Harun, 1996: 175).
Harun menolak disebut sebagai ulama. Ia mengakui bahwa dirinya kurang cakap berbicara dengan kebanyakan orang.
“Pembicaraanku seringkali terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta untuk berbicara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada mereka. Sebab, dongeng tidak masuk akal bagiku.”
Apa yang dilakukan Harun, dengan segenap pro dan kontra yang menyertainya, semata-mata demi kebangkitan umat Islam. Jika umat Islam ingin bangkit, kata Harun, tidak harus dilakukan dengan emosi keagamaan yang meluap-luap dan justru berpotensi menjadi bumerang, melainkan berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap Islam itu sendiri.
Guru Pembaharu Islam Indonesia
Harun Nasution melakukan sejumlah gebrakan di Indonesia kendati tidak semua kalangan sepakat dengan pembaharuan Islam yang dibawanya. Salah satu yang dihadirkan Harun adalah gagasan Islam sebagai agama yang dinamis.
Menurutnya, seperti yang ia tulis dalam Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995), manusia yang mutlak terpelihara dari kesalahan hanya Nabi Muhammad. Dengan kata lain, hasil ijtihad para ulama bersifat relatif alias tidak mustahil untuk direformasi. Harun membayangkan Islam yang lincah dalam menghadapi tantangan zaman dengan cara ini (hlm. 122).
Gebrakan Harun lainnya adalah ketika menjabat sebagai Rektor IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1973. Sedari awal, Harun sudah menyiapkan rencana perombakan.
“Aku sudah siap dengan konsep. Sejak aku masih di luar negeri, aku sudah mendengar kondisi IAIN, bahwa pemikiran di IAIN sangat sempit,” tutur Harun seperti dikutip dari Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006: 179) karya Adian Husaini.
Dan benar. Ia merombak kurikulum IAIN secara revolusioner. Tidak hanya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melainkan seluruh IAIN di Indonesia. Harun menilai, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena akan menimbulkan kejumudan di kalangan mahasiswa dan membuat pikiran mereka tumpul.
Beruntung, pergaulan Harun yang luas, termasuk dengan dukungan Menteri Agama Abdul Mukti Ali, membuat perombakan tersebut berjalan sesuai rencana. Diakui Harun, banyak akademisi IAIN yang tidak sepaham dengannya, tapi memilih diam. “Barangkali karena di belakangku ada Menteri Agama.”
Harun juga mengusulkan dibentuknya forum musyarawah antar-agama agar tiada lagi saling curiga antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Disebutkan dalam buku Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia (1978), usul itu mengemuka dalam diskusi panel di Jakarta pada 16-17 April 1975 yang dihadiri perwakilan dari agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan (hlm. 60).
Tidak dipungkiri, sepak-terjang Harun memang sempat menimbulkan pergolakan di kalangan kaum Muslimin. Namun, sekali lagi, itu semata-mata dilakukannya demi kemajuan Islam. Dan Islam, menurutnya, harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan serta kemajuan zaman.
Pengaruh pemikiran Harun ternyata cukup kuat dan melekat. Sebagai seorang pengajar, ia juga diteladani murid-muridnya. Ia pun menjadi guru bagi para cendekiawan Muslim Indonesia selanjutnya, meski tokoh-tokoh yang meneladani pemikiran Harun ini seringkali dicap liberal.
Gebrakan Harun dalam mereformasi IAIN, misalnya, diakui mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang berkata: “Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar.”
Begitu pula dengan Nurcholish Madjid alias Cak Nur. “Orang semacam Harun Nasution,” sebut Cak Nur, “telah memberikan ‘bekas’ terhadap perkembangan keIslaman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum di mana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted.”
Harun Nasution wafat di Jakarta pada 18 September 1998 dengan meninggalkan warisan berupa seabrek pemikiran cemerlang. Tahun 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Tokoh Pengembang Budaya Moderat.
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan