tirto.id -
– Seno Gumira Ajidarma dalam cerita pendek, ‘Ibu yang Anaknya Diculik Itu’.
Penghilangan paksa yang dilakukan aparat tidak pernah terkait urusan durasi. Tiga jam, 12 jam, 24 jam, 72 jam, bahkan sampai orang yang hilang ditangkap aparat mencuat kembali ke tengah keramaian, mereka sudah berubah, menjadi korban. Ditangkap tanpa pemberitahuan keluarga, ditahan tanpa akses bantuan hukum, dan tak jarang dihadiahi kekerasan sebelum dilepaskan.
Praktik penghilangan paksa ditengarai terjadi dalam rentetan penangkapan oleh kepolisian terhadap orang-orang di pelbagai daerah usai demonstrasi Agustus 2025 lalu. Hal itu yang diyakini kuat oleh Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, ketika dihubungi Tirto, Jumat, (19/9/2025).
Hingga Sabtu (20/9/2025), dua orang masih dinyatakan hilang dalam demonstrasi Agustus 2025. Keduanya yakni, Muhammad Farhan Hamid dan Reno Syahputeradewo.
Penelusuran oleh Tim Posko Orang Hilang selama demonstrasi Agustus 2025 yang dibentuk KontraS, mereka berdua terakhir berada di Markas Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, pada 29 Agustus lalu. Ketika eskalasi demonstrasi semakin memanas setelah terjadi peristiwa Rantis Brimob yang melindas pengemudi ojol, Affan Kurniawan sampai tewas.
“Kami masih punya dugaan kuat bahwa dua orang hilang ini masih ada di bawah penguasaan kepolisian,” kata Dimas.
Eko dan Bima telah ditemukan
Sebelumnya, Polda Metro Jaya berhasil menemukan dua orang yang dinyatakan hilang usai demonstrasi. Mereka yakni, Eko Purnomo dan Bima Permana Putra. Polisi menyatakan dua orang tersebut tidak ikut demonstrasi dan diklaim sengaja pergi tanpa kabar karena urusan pribadi.
Ketika konferensi pers di Polda Metro Jaya, pada Kamis (18/9/2025) sore, Eko dan Bima dihadirkan kepada awak media, namun tidak banyak bicara. Eko mengaku menonton unjuk rasa di Kwitang sebelum pergi tanpa kabar. Ibu Eko kemudian melapor ke Polsek Cempaka Putih pada 3 September 2025.
Sehari berselang, teman Eko juga melapor ke posko milik KontraS. Pada 8 September ada kenalan Eko yang menghubungi ibunya dan Eko meminta laporan polisi dicabut. Karena tak ada komunikasi langsung, keluarga Eko malah kembali membuat laporan di Polsek Johar Baru pada 10 September 2025.
Polisi menemukan jejaknya di Dusun Kampung Desa, Desa Kuala Jelai, Kecamatan Kuala Jelai, Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah. Eko di sana bekerja sebagai penangkap ikan.
Direktorat Reserse Kriminal Siber Polda Metro Jaya lalu menjemputnya 17 September 2025. Menariknya ketika Eko diminta wartawan menyebutkan siapa yang mengajaknya ke Kalimantan Tengah, polisi memotong pembicaraan dan mengalihkan kepada Ibu Eko.
Sementara Bima enggan menjawab pertanyaan wartawan soal alasannya pergi tanpa kabar dan ditemukan polisi di Malang. Keberadaannya diketahui pada 17 September 2025 sore. Subdirektorat Reserse Mobil Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menjemputnya di sebuah kelenteng di Malang, Jawa Timur.
Bima terakhir kali pamit kepada kerabat, 31 Agustus 2025 malam. Untuk pergi ke Glodok, Jakarta Barat, pesannya kala itu.
Kabar hilangnya Bima juga disebarluaskan oleh KontraS. Ternyata, menurut polisi, pada 1 September 2025, Bima berangkat menuju ke Malang atas keinginan sendiri menggunakan sepeda motor dan menjual sepeda motornya di Tegal, Jawa Tengah.
Setelah berganti-ganti tempat menginap, Bima berjualan mainan di salah satu kelenteng di wilayah Malang. Alasan kepergiannya disebut atas keinginan sendiri untuk hidup mandiri.
"Dari hasil komunikasi dengan Bima, beliau bilang alasan pergi dari rumah karena beliau ingin hidup mandiri," jelas Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra dalam keterangannya.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM Munafrizal Manan meminta, publik tidak terburu-buru menyimpulkan dugaan penghilangan paksa dalam kasus orang hilang yang belakangan mencuat usai demonstrasi. Menurutnya, berkaca dari kasus Eko dan Bima, kesimpulan menyatakan adanya penghilangan paksa terlalu prematur.
“Kita enggak bisa terburu-buru menyatakan menyimpulkan itu sebagai penghilangan paksa. Misalnya dua orang tadi yang sudah ditemukan kan, kita sudah dengar bersama-sama, jauh sekali kan dari sebutan seperti itu,” kata Munafrizal dalam konferensi pers Kamis (18/9/2025).
Dalam kesempatan berbeda, Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan tidak setuju dengan narasi penghilangan paksa soal orang-orang yang hilang usai demonstrasi Agustus 2025. Ia lebih memilih menyebut orang-orang yang dinyatakan hilang dengan terma: "belum keliatan".
Gelagat mencurigakan dari penemuan Eko dan Bima
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, merasa lega melihat berita bahwa Eko dan Bima sudah ditemukan. Menurutnya, memang yang diinginkan pihak keluarga adalah kepastian keberadaan dan nasib mereka berdua.
Dimas menambahkan, Eko sebetulnya memang sudah bisa dipastikan keberadaannya usai dicari KontraS, sehingga pada 9 September 2025 dinyatakan bahwa Eko berhasil dikontak keluarga dan memang terjadi miskomunikasi
Sementara untuk Bima, kata Dimas, laporan diterima KontraS pada 5 September 2025. Tim posko orang hilang sebelumnya sudah mencari keberadaan Bima di kantor-kantor polisi tapi nihil. Itulah mengapa KontraS terus mengumumkan poster Bima, Farhan, dan Reno sampai akhirnya Bima ditemukan.
Setelah hampir tiga pekan demonstrasi Agustus berlalu, tinggal M Farhan dan Reno yang belum ditemukan keberadaanya hingga Sabtu (20/9/2025). KontraS sudah menyisir kantor polisi di tingkat polsek, polres, hingga polda, namun keduanya belum terdeteksi.
Dimas memang mencium gelagat ‘mengganjal’ dalam konferensi penemuan Eko dan Bima, namun ia tidak mau ambil kesimpulan sebelum bertemu pihak keluarga.
“Kami coba dalami apakah kemudian ada kejanggalan, ada tindak tanduk yang memang mencurigakan jadi kami akan coba menghubungi lebih lanjut kepada pihak keluarga,” ujar Dimas.
Meskipun Eko dan Bima kemarin tidak terdeteksi keberadaannya karena miskomunikasi dan urusan pribadi, Dimas menyayangkan sikap kepolisian dan Kementerian HAM mengabaikan fakta praktik penghilangan paksa yang menimpa puluhan orang yang sempat tidak diketahui nasibnya, yang kemudian baru ditemukan sudah ditangkap polisi.
Dimas khawatir, nasib ini pula yang menimpa Farhan dan Reno yang belum juga ditemukan.

KontraS memang membagi dua klaster kategori orang hilang usai demonstrasi Agustus lalu, pertama klaster penghilangan paksa oleh aparat dan kedua, klaster miskomunikasi.
Mengacu data KontraS, aduan orang hilang yang diterima lembaganya mencapai 44 orang, terhitung sejak dibukanya posko aduan pada Senin (1/9/2025) sampai Kamis (12/9/2025).
Dari total 42 orang yang sudah ditemukan keberadaannya, sebanyak 21 orang merupakan non-demonstran, 18 orang demonstran, serta tiga orang lainnya masih belum dapat dipastikan statusnya.
Lewat aduan yang masuk, sebanyak 33 terverifikasi mengalami penghilangan paksa dalam jangka pendek (Short-term Enforced Disappearances), sembilan orang hilang karena miskomunikasi (termasuk Bima), dan dua masih hilang sampai kini, yakni Farhan dan Reno. Dari 33 orang yang dihilangkan paksa dalam waktu singkat, 16 orang dibebaskan, 9 masih ditahan polisi, dan 8 ditetapkan menjadi tersangka.
“33 orang dilaporkan hilang itu ditemukan di kantor kepolisian semua, salah satunya di polda Metro Jaya lalu ada beberapa yang ditemukan di Polres Jakarta Utara, Polres Jakarta Timur, Polres Jakarta Barat, jadi kalau kita lihat memang klop dengan definisi penghilangan orang secara paksa,” ujar Dimas.
Penghilangan paksa yang dimaksud yakni perampasan kemerdekaan akibat penangkapan, penahanan, penculikan yang tidak dilakukan dengan memberikan informasi (incommunicado) yang secara terang-benderang kepada publik atau keluarga. Penahanan dalam konteks penghilangan paksa umumnya dilakukan negara atau kelompok orang yang bertindak dengan perintah, dukungan, atau persetujuan negara.
Dalam konteks orang hilang demonstrasi Agustus 2025, korban mungkin akhirnya diketahui keberadaannya atau dibebaskan, namun tetap mengalami masa di mana dia tidak dapat diakses oleh keluarga, kuasa hukum, maupun pihak luar lainnya.
Hal tersebut tetap masuk kategori penghilangan paksa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 Paragraf 1 Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED): “Tidak seorang pun boleh ditahan secara rahasia.”
Komite PBB untuk Penghilangan Paksa (CED) dan Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa atau Tanpa Sukarela (UN WGEID) juga menegaskan bahwa durasi hilangnya seseorang bukanlah unsur penentu dalam definisi penghilangan paksa.
Bahkan, kata Dimas, KontraS menerima aduan beberapa korban penghilangan paksa yang sudah dilepaskan, mengalami dugaan tindakan kekerasan selama dalam penguasaan polisi. Korban mengalami luka-luka dan tanda kekerasan fisik serta trauma psikologis. Sebagian dari mereka ditahan di lokasi tidak resmi dan berpindah-pindah tempat tanpa proses hukum yang jelas.
Jika dibandingkan dengan praktik penghilangan paksa era Orde Baru, khususnya peristiwa penghilangan aktivis 1997–1998, terdapat pergeseran pola yang signifikan. Di masa Orde Baru, penghilangan paksa dilakukan terencana terhadap individu-individu yang dikenal aktif menyuarakan kritik terhadap negara. Mereka biasanya telah diawasi dan ditargetkan dalam operasi yang tertutup, dan hingga kini, sebanyak 13 orang korban tidak pernah ditemukan.
Sedangkan dalam peristiwa penghilangan paksa dalam aksi 25–31 Agustus 2025, tindakan dilakukan secara luas dan tidak selektif. Target penghilangan bukan hanya mereka yang dianggap politis atau vokal, melainkan juga warga sipil biasa yang berada di area publik saat aksi berlangsung.
Sayangnya, Indonesia hanya memiliki satu peraturan hukum mengenai penghilangan paksa. Pasal 33 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk bebas dari penghilangan paksa. Namun, norma ini belum diintegrasikan dalam ketentuan pidana di Indonesia.
Ketentuan pidana mengenai penghilangan paksa di Indonesia hanya sebatas jika ia dilakukan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu sebuah serangan kepada penduduk sipil secara sistematis atau meluas, yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Karenanya, Dimas menegaskan, Indonesia perlu segera meratifikasi ICPPED. Konvensi ini bisa menjadi dasar bagi Indonesia merumuskan ketentuan pidana terkait penghilangan paksa, menjamin peristiwa tidak berulang, dan menjamin hak-hak korban dan keluarganya.
“Karena dibiarkan tidak ada aturan atau regulasi yang bisa mengatur, bukan tidak mungkin kemudian ke depannya langkah-langkah atau proses-proses praktik-praktik penghilangan paksa ini masih akan terus berulang dan tidak ada reformasi di tubuh aparat keamanan,” tutur Dimas.
Gelombang Penangkapan Besar-besaran
Setelah rentetan demonstrasi di pelbagai daerah pecah dan berakhir ricuh sepanjang 25-31 Agustus 2025, Polri melakukan operasi penangkapan besar-besaran terhadap ribuan orang di banyak daerah. Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sendiri menyatakan bakal melakukan tindakan tegas terhadap peserta aksi unjuk rasa di pelbagai daerah yang bertindak anarkistis.
Presiden, kata Sigit, sudah mengarahkan Polri dan TNI mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kerusuhan dan tindak kriminal selama demonstrasi. Sigit mengklaim semuanya tetap dilakukan sesuai dengan koridor hukum dan standar operasional prosedur yang berlaku.
Ketika menanggapi gelombang demonstrasi pada akhir Agustus lalu yang diwarnai tindakan perusakan fasilitas umum, pembakaran gedung instansi pemerintahan, hingga penjarahan di beberapa rumah pejabat publik, Prabowo menyebut terjadi upaya ‘makar’ dan ‘terorisme’. Usai eskalasi demonstrasi mereda sejak awal September ini, polisi tancap gas menangkapi orang-orang yang dituding terkait dengan kerusuhan demonstrasi.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo menyatakan pada Senin (8/9/2025), total sudah ada sekitar 5.444 orang yang sempat ditangkap polisi. Dari jumlah itu lebih dari 4.800 orang sudah dipulangkan ke rumah masing-masing.
Dedi menuturkan, ratusan orang yang masih ditahan diperiksa intensif di sejumlah daerah meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan.

Polri ingin membedakan sosok auktor intelektual, penyandang dana, operator lapangan, dan individu yang hanya ikut-ikutan semata dalam kerusuhan.
Di Jakarta, Polda Metro Jaya, menyampaikan pada Kamis (4/9/2025) lalu, bahwa pihaknya menangkap 1.240 orang terkait aksi unjuk rasa yang berlangsung ricuh. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, merinci dari total orang yang ditangkap, terdiri atas 611 orang dewasa dan 629 anak-anak.
Dari 1.240 orang, 43 orang ditetapkan sebagai tersangka. Terdiri dari 42 dewasa dan satu anak yang berusia di bawah 18 tahun. Ade Ary menyatakan, satu tersangka masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Namun, untuk satu tersangka anak tidak ditahan. Sementara dua tersangka dikenakan wajib lapor.
Dari 43 tersangka di Jakarta, Polda Metro Jaya membaginya menjadi dua klaster: Kelompok atau klaster pertama adalah mereka yang diduga melakukan penghasutan agar orang lain mengikuti demonstrasi atau individu yang dituding provokator. Sementara klaster kedua, tersangka yang diduga melakukan perusakan atau vandalisme terhadap bangunan, fasilitas umum, kendaraan, serta melawan petugas.
Sedikitnya terdapat enam tersangka yang ditetapkan di klaster penghasutan, mereka adalah aktivis hingga mahasiswa. Mereka adalah Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, aktivis Syahdan Husein dari gerakan Gejayan Memanggil, mahasiswa Universitas Riau Khariq Anhar, staf Lokataru bernama Muzaffar Salim, dan dua orang lain berinisial RAP dan Figha Lesmana.
Polda Metro Jaya juga menangkap dan menjadikan tersangka LFH (26), seorang pegawai ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) setelah mengunggah konten provokatif di akun Instagram pribadinya @larasfaizati.
LFH dituding menghasut masyarakat untuk membakar Mabes Polri serta menyebarkan dokumen elektronik tanpa izin. Teranyar, Polda Metro Jaya pada Senin, 15 September 2025 lalu, kembali menetapkan 16 tersangka terkait pembakaran dan perusakan fasilitas umum di Jakarta selama demonstrasi.
Gerilya polisi di sejumlah daerah tangkap ratusan peserta unjuk rasa
Di Jawa Barat (Jabar), Polda Jabar menangkap sekitar 727 peserta unjuk rasa di beberapa titik demonstrasi di wilayah Jawa Barat. Sebanyak 670 demonstran yang ditangkap tersebut sudah dibebaskan. Selasa, 16 September 2025, Polda Jabar melaporkan telah menetapkan 42 tersangka terkait kerusuhan pada akhir Agustus lalu di Bandung dan Tasikmalaya.Polda Jawa Barat menuding adanya kelompok berpaham anarkis yang memiliki hubungan dengan jaringan internasional. Kelompok ini diduga memiliki afiliasi dengan individu-individu di luar negeri dan juga didanai. Barang bukti yang disita antara lain bom molotov, bom pipa, gas portabel, senjata tajam, ratusan konten digital video provokatif, hingga buku-buku dan selebaran zine milik peserta aksi.
Polda Jawa Timur tak mau ketinggalan, mereka menangkap total 997 orang yang dituding terkait kerusuhan unjuk rasa di wilayah Jatim. Dari hampir seribu orang yang diamankan, 582 orang dewasa dan 415 anak berhubungan dengan hukum. Hingga, 20 September 2025, total ada 682 orang yang dipulangkan, sementara 315 orang lain menjalani proses hukum lebih lanjut.
“Kita akan mengumpulkan semua bukti-bukti yang ada. Dan mudah-mudahan nanti bisa lebih mengerucut kepada siapa nih, otak atau pelaku daripada peristiwa ini, supaya bisa melakukan penegakkan hukum," kata Kapolda Jatim, Irjen Pol Nanang Avianto, dilansir oleh Tribratanews, Sabtu (20/9/2025).

Sedangkan Polda Jawa Tengah, baru menetapkan 118 orang sebagai tersangka dalam aksi demonstrasi berujung kericuhan di sejumlah wilayah Jateng. Sebanyak 2.263 orang sempat ditangkap, dan dari jumlah itu, sebanyak 1.391 di antaranya adalah anak-anak.
"Dari jumlah itu kemudian 118 orang diproses hukum dan ditetapkan sebagai tersangka yang terdiri dari 62 dewasa dan 56 anak-anak," ujar Wakapolda Jawa Tengah Brigjen Pol Latif Usman dalam konferensi pers di Semarang, Jumat (19/9/2025).
Di provinsi-provinsi lain, perburuan peserta unjuk rasa serta masyarakat sipil yang dituding terlibat dalam kerusuhan sepanjang demonstrasi pada akhir Agustus 2025 terus terjadi. Hal ini diduga menjadi salah satu gelombang penangkapan peserta demonstrasi terbesar sejak era reformasi 1998.
Perlukah Adanya Tim Investigasi Independen?
Pada awal September lalu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) menemukan sekitar 3.337 orang ditangkap polisi, 1.042 mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, serta 10 orang meninggal sepanjang demonstrasi pada akhir Agustus 2025 di pelbagai daerah.
YLBHI menemukan, di Surabaya, Jakarta dan Bandung aparat kepolisian menangkap tidak hanya massa aksi namun juga secara acak menangkap dan diduga melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang sedang menjalani aktivitas di sekitar lokasi aksi unjuk rasa. Hal ini diperparah dengan akses bantuan hukum kepada peserta aksi yang dibatasi oleh polisi.
Kendati begitu, Pemerintah menyatakan tidak akan membentuk tim investigasi independen atau Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, pada Jumat (19/9/2025) di Istana, Jakarta, menyebut bahwa Prabowo tak pernah menyampaikan bakal membentuk TGPF. Hal ini membantah isu pembentukan TGPF yang disebut dijanjikan Prabowo setelah pertemuan dengan tokoh-tokoh Gerakan Nurani Bangsa.
Presiden, kata Prasetyo, hanya menegaskan investigasi resmi atas peristiwa demonstrasi di akhir Agustus lalu sudah berjalan. Prabowo disebut menghormati kehadiran tim independen yang sudah dibentuk enam Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia, dan membantu apabila tim tersebut menemui kendala.
“Beliau [Presiden] sampaikan bahwa proses investigasi terhadap kejadian beberapa waktu yang lalu, kan, itu sudah berjalan sehingga dalam kesempatan ini perlu kami luruskan bahwa Bapak Presiden tidak pernah menyampaikan ingin membentuk atau menyetujui pembentukan tim investigasi tersebut,” terang Prasetyo kepada awak media saat konferensi pers di Istana.
Di sisi lain, terkait dua orang yang masih hilang ketika peristiwa demonstrasi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Ade Ary mengatakan tim khusus yang sudah dibentuk mencari keberadaan mereka telah berkomunikasi dengan pihak keluarga. Ade mengklaim pihaknya masih terus mencari keberadaan dua orang yang hilang usai demonstrasi Agustus 2025.
“Terhadap yang dua lagi, Saudara Farhan dan Saudara Reno, itu tim sudah berkomunikasi, sudah bertemu dengan keluarganya, sudah berkomunikasi dan saat ini masih terus dilakukan pencarian,” kata Ade Ary kepada wartawan, Jumat (19/9/2025).
Ade mendorong masyarakat yang memiliki informasi kedua orang hilang itu tidak ragu untuk membantu polisi. “Kami berharap masyarakat juga memberikan informasi atau tidak perlu takut memberikan informasi ke nomor pengaduan, ke hotline kami, atau ke polsek terdekat, sekitar apabila melihat,” ujar Ade.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengatakan langkah polisi yang baru tampak bergerak mencari orang-orang hilang setelah ada desakan publik yang menguat menunjukkan buruknya fungsi keamanan Polri. Menurut Arif, praktik penegakan hukum dalam penanganan demonstrasi masih menyimpang dari aturan hukum acara pidana.
Ia menegaskan penangkapan seharusnya hanya boleh dilakukan 24 jam, dan penahanan mesti didasarkan pada status jelas sebagai tersangka. Namun, banyak kasus setelah unjuk rasa Agustus lalu justru terjadi sebaliknya, ribuan orang ditangkap dan ditahan tanpa dasar hukum, lalu dilepaskan.
Arif menilai pemerintah perlu merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mendorong limitasi kewenangan polisi sembari memperkuat mekanisme pengawasan terhadap upaya paksa. Perlu diterapkan judicial scrutiny agar masyarakat dapat mengajukan protes melalui pengadilan terhadap penangkapan sewenang-wenang,
Selain itu, kata Arif, urgen menindak aparat yang melakukan pelanggaran hukum. “Jangan sampai ada impunitas. Kasus tujuh orang yang menaiki rantis dan melindas Afan Kurniawan pun belum diproses. Ini diskriminasi hukum yang nyata,” kata Arif kepada wartawan Tirto, Sabtu (20/9).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































