tirto.id - Umbu Landu Paranggi meninggal dunia pada hari ini, Selasa, 6 April 2021. Kabar duka itu disampaikan oleh akun Twitter @kenduricinta.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun... Duka kami, mengantarmu ke huma yang sejati. Bapak Umbu Landu Paranggi. Pada hari Selasa tanggal 6 April 2021 pukul 03.55 WITA di RS Bali Mandara," tulis akun @kenduricinta.
Umbu Landu Paranggi adalah sastrawan Indonesia kelahiran Sumba, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Ia juga disebut-sebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak tahun 1960-an.
Meskipun dikenal sebagai penyair sekaligus guru bagi banyak sastrawan muda, Umbu sendiri seperti menjauh dari popularitas dan sorotan publik. Ia sering menggelandang sambil membawa kantung plastik yang berisi kertas, yang tak lain adalah naskah-naskah dari puisinya.
Presiden Malioboro & Guru Cak Nun
Sewaktu masih tinggal di Yogyakarta, Umbu dikenal sebagai "Presiden Malioboro" berkat kiprahnya dalam menginisiasi sekaligus mengampu Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas penyair, sastrawan dan seniman yang berbasis di Malioboro Yogyakarta.
Kelak, PSK dikenal sebagai salah satu komunitas sastra yang sangat mempengaruhi perjalanan-perjalanan sastrawan besar di Indonesia.
Selain dikenal sebagai penyair, Umbu juga dianggap sebagai guru bagi para penyair muda di zamannya, seperti Emha Aninun Nadjib (Cak Nun), Eko Tunas, Linus Suryadi AG, Imam Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan dan masih banyak lagi.
Fadrik Aziz Firdausi dalam "Legenda Umbu Landu Paranggi dan Persada Studi Klub di Malioboro" menuliskan, kala di PSK, Umbu sangat telaten membina penulis-penulis muda lewat perjumpaan mingguan dan rubrik Persada dan Sabana yang dia asuh.
Semua karya yang masuk, ia kurasi dan baca dengan saksama. Apabila karya-karya itu ia nilai belum memenuhi syarat, maka tidak langsung ia singkirkan, tetapi ia kembalikan ke penulis dengan catatan-catatan perbaikan.
Iman Budhi Santosa, anggota PSK generasi pertama, mengatakan kelebihan Umbu adalah caranya dalam memperkenalkan sastra, bukan hanya lewat teori dan pelajaran di kelas, tetapi memperkenalkan sastra sebagai kesatuan dengan kehidupan. Sebab, ia mengajarkan orang menulis melalui pengalaman.
“Ia [Umbu] fasih mengubah sebuah pertemuan di warung kopi sehingga memunculkan banyak ‘puisi’.” tulis Imam dalam “Kreativitas ‘Sarang Laba-laba’ dari Balkon Tua Lantai Dua” yang terhimpun dalam Orang-orang Malioboro (hlm. 79).
Atas hal itu, banyak orang menyebutnya sebagai "pohon rindang" yang telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas. Kendati demikian, ia lebih senang disebut sebagai "pupuk". Dalam perjalanan kariernya, Umbu pernah mengasuh rubrik puisi dan sastra mingguan Pelopor Yogya.
Ia kemudian hijrah ke Bali sembari mengasuh rubrik Apresiasi di Bali Post. Masa tuanya pun ia habiskan di Pulau Dewata bahkan sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Untuk mengenang kepergiannya, Emha Aninun Nadjib pun menulis artikel berjudul "Mi'raj Sang Guru Tadabbur", untuk mengenang seorang tokoh yang ia anggap guru.
"Di awal malam kami para sastrawan Yogya dalam acara “SastraLiman” yang diselenggarakan bulanan rutin oleh Majalah “Sabana” mengaji Surat Al-Hasyr dan berdoa memohon kepada Allah agar meneguhkan apa yang terbaik untuk satu-satunya orang di muka bumi yang saya sebut dan resmi saya akui sebagai Guru saya. Umbu Landu Paranggi," tulis Cak Nun.
Editor: Iswara N Raditya