tirto.id - “Anak ini memang bisa menulis puisi. Ini benar-benar puisi,” seru Cak Muntholib kepada Cak Fuad. Yang sedang mereka bicarakan adalah adik kandung Cak Fuad, Emha Ainun Nadjib. Emha yang kala itu masih anak SMA dibikin melambung oleh pujian Cak Muntholib itu. Sejak itu Emha tancap gas menulis puisi.
Emha remaja gandrung benar terhadap puisi, sampai-sampai mengesampingkan sekolahnya. Dalam buku semi-memoar Kiai Hologram (2018: 30), Emha mengakui bahwa renjana itu membuatnya rela bolos sekolah demi belajar puisi. Setidaknya ia membolos 40 kali dalam satu kuartal karenanya. Hampir tiap malam ia begadang di Malioboro untuk belajar puisi.
Ada apa di Malioboro sehingga Emha tertarik mendatanginya tiap malam?
Membicarakan Malioboro—juga Yogyakarta—di akhir 1960-an tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan Persada Studi Klub (PSK). Sebuah komunitas yang menjadi medan kreatif penulis-penulis muda Yogya dan ke orbit itulah Emha berkitar.
Laiknya Pasar Senen pada dekade 1950-an, Malioboro jadi rendezvous para penulis muda Yogya. Di sana mereka belajar, berdiskusi, membaca puisi, dan merencanakan kegiatan-kegiatan kreatif. Di sanalah penulis masyhur generasi 1980-an seperti Emha, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, juga Korrie Layun Rampan bertumbuh.
Diskusi Sepanjang Jalan
PSK lahir dari inisiatif Umbu Landu Paranggi, redaktur sastra mingguan Pelopor Yogya, pada 5 Maret 1968. Di lantai dua kantor redaksi mingguan tersebut, jalan Malioboro 175 A, kala itu ikut pula Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. Tujuan mereka cuma satu: mengasah kreativitas penulisan.
“Sebagai tradisi, Umbu meminta yang hadir membacakan puisinya. Maka, enam penyair muda itu mencoba membacakan puisi yang dibawa, terutama yang belum pernah dimuat di media massa,” kenang Teguh Ranusastra Asmara dalam “Persada Studi Klub, Akar Kelahiran, dan Suburnya Komunalisme Kreatif di Yogyakarta” yang jadi bagian bunga rampai Orang-orang Malioboro (2010: 19).
Begitulah awalnya anggota PSK berkumpul tiap minggu. Umbu menyediakan kantor redaksi Pelopor Yogya sebagai tempatnya. Dimulai dari pembacaan karya, Umbu kemudian memberikan kritik dan masukan untuk karya anak PSK.
Achmad Munif, prosais jebolan PSK, mengenang kantor Umbu itu hanyalah salah satu tempat saja. Lapak diskusi atau pembacaan karya bisa digelar di mana saja. Mereka biasa pula berkumpul di rumah salah satu anggota PSK, tetapi paling sering memang di sepanjang jalan Malioboro. Bagi mereka waktu bukan soal. Lapak diskusi bisa dibuka kapan saja.
“Demikianlah potret para penulis muda waktu itu, sepertinya hidup hanya untuk berpikir, membaca, berdiskusi dan menulis. Sesekali ikut lomba deklamasi, sesekali datang ke Bengkel Teater untuk melihat latihan akting, sesekali membaca puisi keras-keras di Taman Garuda,” kenang penulis novel Merpati Biru itu dalam “Merangkai Kembali Lembar-lembar yang Hilang” (hlm. 27).
Dari diskusi mingguan itu kegiatan PSK lantas melebar ke luar Malioboro, bahkan ke luar Yogyakarta. Sesekali PSK bikin acara semacam wisata sastra, perkemahan sastra, perlombaan sastra, sarasehan, hingga pentas seni. Sebutlah misalnya di lereng bukit Kali Code, Kali Progo, Kali Gajah Wong, lapangan kampung, kampus, sekolah-sekolah, surau atau masjid, pasar, swalayan, kantor-kantor pemerintah, pesantren, panti asuhan, dan sebagainya.
Anggota PSK tak ingin menyekat diri dari masyarakat. Karenanya penonton PSK berasal dari beragam kalangan, terutama masyarakat akar rumput. Mulai dari akademisi yang paham sastra hingga warga kampung yang awam. Hingga memunculkan apa yang oleh Teguh Ranusastra disebut “baca puisi jalanan”.
Saeful Anwar dalam Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia (2018) menyebut bahwa Umbu mendukung kegiatan-kegiatan itu dengan mengintegrasikannya dengan Pelopor Yogya. Mingguan tempat Umbu bekerja itu digunakan sebagai tempat pemuatan karya sekaligus media komunikasi PSK. Pelopor Yogya menyediakan rubrik khusus bagi anak-anak PSK yang dinamai Pos Persada.
Dalam kolom tersebut ia mengomentari karya-karya yang masuk ke redaksi, tetapi tidak dimuat dalam Pelopor Yogya. Paranggi juga terkadang menyapa para anggota yang telah lama tidak mengirim karyanya. "[...] Media ini juga menjadi pengesahan seseorang menjadi anggota PSK meskipun tidak berdomisili di Yogyakarta," tulis Saeful (hlm. 35-36).
Rubrik Pos Persada didesain Umbu sebagai wadah karya anggota PSK yang telah memenuhi standar tetapi belum cukup bermutu. Untuk puisi-puisi kelas wahid, Umbu punya ruang lain yang dinamai Sabana. Umumnya anggota PSK mesti tembus Persada dulu sebelum karyanya dipajang di Sabana. Meskipun Pelopor Yogya adalah media lokal, namun rubrik Sabana sama prestisiusnya dengan majalah sastra sekelas Horison, Budaya Jaya, dan Basis.
Latief S. Nugraha dalam Sepotong Dunia Emha (2018: 93) mengutip kelakar Emha tentang betapa prestisiusnya rubrik Sabana Pelopor Yogya kala itu. Jika berhasil terbit di Sabana, ia ibaratkan seperti naik haji, sementara jika tembus Horison itu sama saja seperti isra mikraj.
Umbu Sang Mentor
Tak bisa dibantah sosok Umbu sebagai inisiator dan mentor PSK memang penting. Sebagai redaktur sastra ia dianggap gurunya anak-anak PSK. Di kalangan PSK, redaktur sastra kelahiran Sumba, 10 Agustus 1943, itu dijuluki Presiden Malioboro.
Umbu dengan telaten dan intens membina penulis-penulis muda PSK. Tak hanya lewat perjumpaan mingguan, tetapi juga melalui rubrik Persada dan Sabana yang ia asuh. Ia membaca semua karya yang masuk dan mengurasinya. Karya-karya yang belum memenuhi syarat muat tak ia singkirkan begitu saja, tetapi dikembalikan kepada si penulis dengan catatan-catatan perbaikan.
Iman Budhi Santosa, anggota PSK generasi pertama, mengakui bahwa kelebihan Umbu adalah caranya yang tak biasa dalam memperkenalkan sastra. Bukan lewat teori dan standar teknis sebagaimana dipelajari di kelas, Umbu memperkenalkan sastra sebagai kesatuan dengan kehidupan. Ia mengajari orang menulis melalui pengalaman.
Dalam “Kreativitas ‘Sarang Laba-laba’ dari Balkon Tua Lantai Dua” yang terhimpun dalam Orang-orang Malioboro (hlm. 79), Iman menulis, “Ia [Umbu] fasih mengubah sebuah pertemuan di warung kopi sehingga memunculkan banyak ‘puisi’.”
Hal itu misalnya bisa dilihat dari pengalaman Teguh Ranusastra Asmara. Suatu malam Umbu mengajak Teguh menyusuri Malioboro. Beberapa kali Umbu berhenti dan meminta Teguh mengamati sekelilingnya. Ditunjuknya seorang gelandangan yang tertidur di emperan sebuah toko.
“Dik, itu puisi! Coba amati, rasakan dan renungkan. Bangun puisi dengan suasana malam seperti ini. Cari kata yang sederhana untuk mewakili ide adik,” kata Umbu kepada Teguh tiba-tiba.
Peristiwa dan kata-kata Umbu itu benar-benar menggugah pikiran Teguh. Ia terus memikirkannya hingga pulang. Berhari-hari kemudian ia sibuk bergelut menulis puisi seperti yang diminta sang mentor. Hasilnya adalah sebuah puisi berkepala “Gelandangan Malioboro.”
“Nasihat dan ‘cubitan-cubitan kecil’ seperti itulah yang selalu diberikan Umbu kepada teman-teman Persada Studi Klub. Manakala hasil yang ditulis belum mencerminkan adanya peningkatan, tak segan-segan Umbu minta direvisi, ditulis ulang, atau diganti sekalian,” tulis Teguh (hlm. 20).
Itulah yang memikat banyak anak muda yang bercita-cita jadi penulis mengorbit di sekeliling Umbu. Sebagai penyair, barangkali Umbu bukanlah penyair yang menonjol dengan karya-karya yang menarik minat kritikus. Tetapi, ia punya posisi penting sebagai pembina penyair-penyair muda.
Emha dalam esainya, “Presiden Malioboro, Untuk Umbu”, yang tayang di Kompas (16/12/2012) menyebut bahwa keterkenalan sebagai penyair memang bukanlah tujuan Umbu. Ia bahkan dengan sadar menjauhi eksistensi sebagai penyair. Padahal ia punya kesempatan untuk itu ketika pada 1973 puisi-puisinya hendak diterbitkan oleh majalah Horison.
“Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas,” demikian Emha.
Bubar Ditinggal Umbu
Pada 1975, secara tiba-tiba Umbu minggat dari Yogya. Banyak yang mengira ia pulang kampung ke Sumba. Namun, ternyata ia memilih menetap di Bali hingga kini. Ditinggal sang mentor utama, kegiatan dan kegairahan di PSK perlahan surut.
Tak ada yang bisa benar-benar menggantikan posisi Umbu di PSK. Meskipun begitu, sebenarnya masih ada Ragil Suwarna Pragolapati yang mencoba meneruskan pekerjaan Umbu. Sepeninggal Umbu, Ragil membuka sanggar di rumahnya di Bantul. Di sana Ragil menggelar pertemuan dan diskusi. Penyair yang hilang di Gua Langse pada 1990 itu juga adalah dokumentator karya-karya anggota PSK yang paling tekun.
Ragil mendokumentasikan hampir semua hal terkait PSK. “Hampir setiap tulisan tangan puisi, ketikan puisi, makalah-makalah diskusi, buku-buku, koran-koran, majalah-majalah, dan segala jenis penerbitan puisi, karcis pertunjukan pembacaan puisi, esei-esei tentang puisi, bahkan segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan para penyair orang-orang Malioboro ketika itu,” tulis Emha dalam epilognya untuk Orang-orang Malioboro (hlm. 267).
Editor: Ivan Aulia Ahsan