tirto.id - Ini belum terlalu lama terjadi. Belum genap satu dasawarsa berlalu. Majalah Islam Sabili yang sudah berhenti terbit sejak tahun 2014, sempat memuat cerpen yang sangat mirip dengan bagian ketujuh novelet Bukan Pasar Malam (cetakan 9: 2004) karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram).
“Pulang” karya Kukuh Setyo Prakoso (selanjutnya ditulis Kukuh) dimuat di Majalah Islam Sabili No. 07 TH XVI, 23 Oktober 2008/23 Syawal 1429.
Perhatikan paragraf berikut:
“Sesudah mandi, aku ada kesempatan melihat-lihat rumah dan pelataran. Mandi itu sebenarnya bukan mandi yang betul-betul. Air di kota kami yang kecil ini tebal oleh lumpur Bengawan Solo. Hanya sesekali saja airnya jernih. Pembagian air PDAM di sini agak pelit. Sehari menyala, lalu sehari kemudian mati. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air PDAM yang teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak. Kami menyebutnya dengan busik,” tulis Kukuh.
Bandingkan dengan tulisan Pram ini:
“Jam sembilan pagi aku bangun. Baru sesudah mandi ada kesempatan padaku melihat-lihat rumah dan pelataran. Mandi itu sebetulnya bukan mandi betul-betul. Air di kota kami yang kecil ini tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di sini tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air ledeng dengan teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan-jalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak.” (Bukan Pasar Malam: hlm. 42)
Atau coba baca juga yang ini:
“Ya Gus, rumahmu ini aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu kamu baru bisa tengkurap. Tiga puluh tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu ini belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Tiga puluh tahun! Itu tidak sebentar bila dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu. Semua itu sudah roboh, retak, dan sobek-sobek. Rumahmu ini masih kuat.” Sekarang nada suaranya berubah menjadi ketua-tuaan. “Kalau bisa Gus, harap rumahmu itu diperbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orangtua dulu: Apabila rumah itu rusak, maka yang menempatinya pun rusak,” tulis Kukuh.
Dan ini tulisan Pram:
“Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu engkau baru bisa tengkurap. Dua puluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Dua puluh lima tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu—semua itu sudah roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.” Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan. “Kalau bisa, Gus, kalau bisa—harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak.” (Bukan Pasar Malam: hlm. 43-44)
Sebagai contoh terakhir, saya kutipkan satu lagi:
“Tiba-tiba seluruh badan bapak bergerak, seperti tertarik-tarik oleh sesuatu. Matanya terbuka dengan tiada memandang. Kemudian badai batuk menerjang. Dan dalam keadaan ini, tak ada satu pun manusia yang mampu ringankan beban deritanya. Aku hanya bisa melihat penderitaannya, dengan rasa sesal mengiris dada. Muka yang pucat pasi itu jadi membiru oleh batuknya. Dan ketika batuk mereda, terdengar perkataan dari bapak, ‘Ada-ada saja hidup manusia ini’,” tulis Kukuh.
Sementara berikut tulisan Pram:
“Dan mata itu tertutup lagi. Sebentar saja. Tiba-tiba seluruh badan itu tertarik-tarik. Matanya terbuka dengan tiada memandang. Kemudian badai batuk menerjang. Dan dalam keadaan seperti itu, tak ada manusia di seluruh dunia bisa meringankan penderitaannya. Dan aku hanya bisa mengawasi dengan penderitaan yang meruyak di dalam dada. Muka yang pucat itu jadi kebiru-biruan oleh batuknya. Dan waktu batuk itu reda terdengar suaranya yang diucapkan cepat-cepat: ‘Ada-ada saja hidup manusia ini’.” (Bukan Pasar Malam: hlm. 46-47)
Cerpen “Pulang” sepanjang 1229 kata itu hampir di sekujurnya sama dengan tulisan Pram. Di bawah tulisannya Kukuh menulis: “Made in Cepu, 17 September 2008, pukul 7.26 a.m)”.
Tahun 2008 saya sempat mengirim surat pembaca ke redaksi Majalah Islam Sabili, tepatnya redaktur Elka (Lembaran Khazanah), rubrik yang menggawangi cerpen, tapi tak pernah ada tanggapan.
H.B. Jassin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1985) bagian 21 “Plagiat, Saduran, Pengaruh”, menjelaskan bahwa plagiat adalah menyalin sebagian atau seluruhnya dari sebuah karangan, kemudian menambahkan namanya di bawah tulisan itu seolah-olah miliknya.
“Cara yang begini disebut plagiat, pencurian atau pencaplokan, sebab sama dengan mencuri, yakni mencuri hasil pikiran orang,” tulis Jassin.
Sementara saduran, menurut Jassin, adalah karangan yang diambil jalan cerita dan bahan-bahannya dari karangan lain, misalnya dari karya pengarang luar negeri, dengan mengubah dan menyesuaikan nama-nama dan suasana serta kejadian-kejadian di negeri asing itu dengan keadaan di negeri sendiri.
“Tapi pada saduran ini pun selalu harus disebut nama karangan dan pengarang aslinya dan disebutkan pula bahwa disadur, meskipun pengarangnya telah beratus tahun jadi tengkorak dan negerinya jauh dari negeri kita,” tambahnya.
Pengalaman membaca berbagai bahan bacaan dari para pengarang, penyair, pujangga, ahli filsafat, dll, sedikit banyak akan memengaruhi karya si pengarang. Itulah yang dimaksud Jassin sebagai pengaruh. Namun Jassin menegaskan bahwa pribadi yang kuat bisa melebur pengaruh-pengaruh itu, sehingga karyanya tidak berbau jiplakan yang ditempel-tempelkan, melainkan karya yang berwatak sendiri.
Jika menilik cuplikan cerpen “Pulang” yang ditulis Kukuh, dan membandingkannya dengan Bukan Pasar Malam karya Pram, pembaca bisa menilai sendiri posisi cerpen “Pulang” tersebut: apakah sebagai karya plagiat, saduran, atau hanya terpengaruh oleh Pram?
Keriuhan di Ladang Sastra Indonesia Tahun 2000-an
Muhidin M. Dahlan dalam Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 (2011) di bagian penutup bertajuk “Plagiat, Keributan Omong Kosong, dan Kehormatan” mendokumentasikan beberapa peristiwa sastra pada tahun 2000-an yang mengundang keriuhan di media sosial.
Kasus pertama yang ia bahas adalah cerpen “Perempuan Tua dalam Rashomon” yang ditulis Dadang Ari Murtono. Cerpen yang sempat dimuat di Lampung Post (5 Desember 2010) dan Kompas (30 Januari 2011), dituduh plagiat dari cerpen “Rashomon” karya cerpenis Jepang, Ryunosuke Akutagawa.
Setelah kasus Dadang, Muhidin kemudian membahas puisi Taufiq Ismail, “Kerendahan Hati” yang mirip dengan puisi “Be the Best of Whatever You Are” karya Douglas Malloch.
Media sosial ribut. Bramantyo Prijosusilo berkomentar keras, “Khabarkan kepada dunia, penyair jahat Taufiq Ismail yang suka menekan-nekan seniman muda dengan cara-cara selintutan, adalah plagiator tuna-budaya.”
Komentar Bramantyo Prijosusilo kemudian menuai tanggapan beragam. Taufik Ismail yang marah, yang katanya “tidak terima dinista sedemikian”, hendak menyeret Bramantyo ke ranah hukum. Namun, akhirnya kasus ini berujung dengan damai. Bramantyo meminta maaf.
Selain dua kasus tersebut, ada juga pemaparan tentang cerpen “Dodolit Dodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma yang mirip dengan “Tiga Pertapa” karya Leo Tolstoy. Mula-mula akun Facebook Akmal Nasery Basral mengunggah cacatan bertajuk “Dodolit Dodoltolstoy” yang isinya menceritakan pengalaman dia waktu menghadiri Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011 di Bentara Budaya Jakarta pada tanggal 27 Juni, yang salah satunya menampilkan cerpen “Dodolit Dodolibret”.
Muhidin menerangkan bahwa Akmal menulis delapan poin kesamaan antara cerpen Seno dengan Tolstoy, di antaranya yaitu: (1) Fokus cerita tentang seorang pemuka agama yang resah melihat cara berdoa masyarakat umum yang salah (Guru Kiplik versi SGA, dan Uskup versi Tolstoy), (2) Sang pemuka agama pergi ke sebuah pulau. (Berlokasi di tengah danau luas versi SGA, dan berlokasi di tengah lautan luas versi Tolstoy), dll.
Seperti pada dua kasus sebelumnya, soal ini pun mengundang banyak tanggapan dari para sastrawan, tapi kemudian cepat mereda.
“Kasus Seno Gumira Ajidarma dan Tolstoy itu pun kita tahu kemudian mereda dengan cepat, lalu melenyap. Tak ada kelanjutan. Mungkin sekadar sport agar media sosial itu tak hanya berisi keluh-kesah, 'status' personal dan sehari-hari, dan sesekali puisi-puisi pendek atau cerita pendek yang diposting tergesa-gesa untuk meraup sesegera mungkin pujian antarkenalan, serta agenda-agenda kesusastraan,” tulis Muhidin.
Beberapa kasus di atas, termasuk kasus di Majalah Islam Sabili yang sepi dan tidak ada tanggapan sama sekali, menambah catatan sejarah sastra Indonesia yang masih muda usia.
Dalam catatan pembuka buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 (2011), Muhidin M. Dahlan menulis, “[…] ini sejarah kita, sejarah sastra Indonesia. Mari buka, mari baca. Dan setelah itu, generasi berikutnya akan menimbang mana yang pantas disiangi (karena gulma), mana yang perlu ditumbuhkan (karena padi). Mana yang dibabat, mana yang ditumbuhkan.”
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Zen RS