tirto.id - Tersebutlah seorang pelukis modern bernama Rebin. Dalam dekade 1950-an sangat sulit menjadi pelukis modern. Tingkat apresiasi masyarakat dan bahkan para pelukis pun masih rendah. Penghargaan hanya datang dari sesama pelukis modern.
Malangnya, kalangan pelukis modern sendiri menganggap Rebin adalah pelukis buruk. Para pelukis beraliran abstrak bahkan mengatakan lukisan Rebin tidaklah lebih dari sekadar coretan cakar ayam.
Rebin sendiri mengakui bahwa ia tak pernah bisa melukis. Ia bertahan hanya karena sudah terlanjur melukis selama bertahun-tahun.
“Memang aku tidak bisa menggambar. Tetapi kalau orang lain boleh melukis jelek dan menjualnya mahal, kenapa aku tidak?” kata Rebin.
Suatu kali, saat Rebin kehabisan uang, didengarnya kabar tentang beberapa pelukis yang hendak menggelar pameran bersama. Rebin meminta agar ia diajak serta. Karena iba, para seniman ini membolehkannya ikut. Maka ikutlah dua karya Rebin yang berjudul “Danau Senja Hari” dan “Hati yang Terbelah”.
Bukannya mendukung, pelukis-pelukis lain malah mengejek habis dua karya Rebin itu. Tak berhenti di situ, seorang pelukis yang usil sengaja menggantung lukisan “Danau Senja Hari” secara terbalik. Inginnya Rebin jadi berkecil hati dan sukarela menarik diri. Tetapi Rebin bergeming.
Satu setengah jam usai pameran dibuka, suatu keajaiban terjadi. Setelah seperempat jam lebih memandangi lukisan “Danau Senja Hari”, seorang Tuan membeli lukisan itu. Semua orang dan bahkan Rebin sendiri seperti kena pukau, tak percaya, hingga si Tuan menyerahkan uang dan lukisan diangkat. Sepuluh menit sepeninggal Si Tuan para pelukis menentang Rebin habis-habisan.
“Habis dia mau beli. Mau apa?” jawab Rebin kepada para pelukis yang marah. Buru-buru diambilnya lukisannya yang satu lagi dan pergi.
Kisah pelukis Rebin itu adalah satu dari sekian humor getir yang terjadi di Pasar Senen pada dekade 1950-an. Pengisahnya, Misbach Yusa Biran, adalah saksi sekaligus pelaku sejarah kala kawasan Pasar Senen masih dikenal sebagai tempat rendezvous para seniman. Baik seniman “beneran” maupun “jadi-jadian”.
Pasar Senen dan Keriuhan Seniman
Kawasan Pasar Senen adalah salah satu daerah tua di Jakarta. Bermula dari daerah belukar dan rawa, Justinus Vinck kemudian mengembangkannya menjadi daerah perkebunan. Pada 1735, Vinck mendirikan pasar di sana yang kemudian dikenal sebagai Vinckpasser. Karena hanya buka di hari pasaran Senin, masyarakat lantas menyebutnya Pasar Senen. Pada 1766, karena semakin ramai, Pasar Senen dibuka setiap hari.
Pada abad ke-18, Pasar Senen adalah kawasan elit. Di sana berdiri rumah-rumah opsir Belanda dan rumah peristirahatan pejabat. Seperti tercatat dalam Ensiklopedi Jakarta III (2005), Pasar Senen yang kian ramai mengundang banyak pengusaha Tionghoa untuk membuka usaha di sana (hlm. 117).
Dua abad setelahnya, Pasar Senen menjadi jantung kota Jakarta. Namun, pamornya sebagai daerah elit turun. Sejak awal abad ke-20 Pasar Senen lebih banyak dibanjiri kaum kelas menengah-bawah. Juga mulai menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda intelek.
“Kabarnya sejak tahun 1930-an Pasar Senen sudah menjadi pusat kegiatan para intelektual muda, yakni tempat kumpul para mahasiswa yang terlibat dalam ‘pergerakan’ untuk mencapai Indonesia merdeka. Tempat kumpul mereka adalah tukang buku-buku bekas di sekitar belakang Bioskop Grand,” tulis Misbach Yusa Biran dalam memoarnya, Kenang-kenangan Orang Bandel (2008: 109).
Masa-masa selanjutnya, Pasar Senen lebih riuh oleh para seniman dan calon seniman. Mulanya adalah Chairil Anwar yang sering mondar-mandir di Pasar Senen pada zaman Jepang. Lalu pada awal 1950-an, Pasar Senen identik sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang sedang merintis karier berkesenian. Saat itu, usai revolusi, kegiatan pembuatan film dan pementasan sandiwara mulai marak.
Tiap malam kawasan Pasar Senen selalu diramaikan Anak Senen, terutama di Jalan Kramat Bunder. Saat itu, jika malam jalanan akan ditutup dan para pedagang makanan kecil akan menggelar dagangannya di sana. Pusat kumpul mereka adalah di rumah makan Ismail Merapi. Di rumah makan itu, sebagaimana disebut sastrawan Ajip Rosidi, para seniman senior seperti H.B. Jassin, Usmar Ismail, dan Rivai Apin biasa bercengkrama.
Seniman-seniman muda biasanya kumpul di tempat lain yang menyediakan makanan murah. Dalam Lekra Bagian dari PKI (2015), Ajip menulis, “Pada waktu itu trem masih ada. Tempat perhentiannya berada di ujung barat jalan Kramatbunder. Di situ ada kios tempat minum dan di situlah para seniman muda sering berkumpul” (hlm. 165).
Tempat kumpul lainnya adalah di kios penjual kue putu kaki lima di dekat pompa bensin Pasar Senen. Saat pompa bensin tutup, tersedia halaman luas yang nyaman untuk duduk-duduk berkumpul. Jika ada pembicaraan serius biasanya seniman-seniman muda ini nongkrong di kedai Tjau An.
“Cuma muka pemiliknya akan kelihatan kurang enak kalau duduk di situ berlama-lama hanya memesan segelas kopi saja,” tulis Misbach dalam pengantar untuk buku kumpulan ceritanya, Keajaiban di Pasar Senen (2008: xiv).
Jiwa Memberontak
Tak ada yang berencana atau mengajak para seniman muda itu menjadikan kawasan Pasar Senen sebagai titik kumpul. Semua terjadi begitu saja. Tapi menurut Misbach, bisa jadi yang awalnya menjadikan Pasar Senen sebagai titik kumpul adalah perantau-perantau Sumatera.
“Di kota Padang dan di Medan ada pasar yang dijadikan sarang para seniman dan tukang ngobrol. Jadi, Pasar Senen hanya meneruskan tradisi di sana,” tulis pendiri Sinematek itu dalam memoarnya (hlm. 112).
Orang luar lazim menyebut mereka Seniman Senen. Latar kesenian mereka beragam, mulai dari film, teater, sutradara, penulis, redaktur, wartawan, hingga penyelenggara show. Sambil meniti karier seninya, para seniman muda ini menunjang hidup sebagai tukang obat, wartawan, penjual dolar di Pasar Baru, bahkan pencari iklan.
“Sebagian besar tidak tidak punya profesi tetap. Mungkin dia mengatakan dirinya pemain film, tapi jarang diajak, lebih banyak nganggurnya. Terkadang dikenal sebagai redaktur majalah baru, setelah sekian nomor majalah itu bangkrut, nganggur lagi,” tulis Misbach yang sudah mengakrabi Pasar Senen sejak sekolah menengah (hlm. 111-112).
Tapi, umumnya mereka ini enggan disebut sebagai Seniman Senen. Komunitas seniman muda Pasar Senen biasanya menyebut sesamanya sebagai Anak Senen. Mereka lebih nyaman disebut begitu karena istilah Seniman Senen itu punya konotasi negatif sebagai seniman kelas rendah (hlm. 115).
Elan pembaruan dan anti-kemapanan barangkali adalah daya tarik yang mengumpulkan para anak muda itu. Misalnya saja ada dramawan A.U. Muscar yang saat itu memperkenalkan teater modern yang serba urakan. Meskipun ia tak punya pengetahuan teater yang memadai, ia tetap jalan dengan idenya.
Ia menjadi seniman baru yang melawan tradisi yang lebih mapan dari grup teater Cahaya Timur pimpinan Andjar Asmara dan Ratu Asia pimpinan Syamsudin Syafei. Padahal saat itu aktor-aktor muda sudah merasa bangga jika bisa bermain untuk kedua grup tersebut.
Lain waktu Anak Senen ramai membicarakan ide pementasan teater keliling. Tak tanggung-tanggung, mereka bermimpi berkeliling dari pulau ke pulau dengan menggunakan perahu pinisi sebagai panggungnya. Mereka pun sempat mengumpulkan naskah yang sekiranya bisa dipentaskan dan siapa-siapa saja yang berani merealisasikannya.
“Cukup lama juga mimpi itu berlangsung, lalu hilang begitu saja. Tidak apa! Soal gagal sudah biasa di sini,” tutur Misbach dalam memoarnya (hlm. 114).
Tapi, di antara yang gagal itu pun ada juga seniman muda yang moncer. Salah satunya adalah S.M. Ardan. Ajip Rosidi yang juga pernah mencicipi suasana Pasar Senen bercerita bahwa Ardan adalah penulis yang sudah menonjol sejak akhir 1940-an. Puisi dan cerpennya sudah dimuat dalam majalah Pudjangga Baru, Indonesia, Mimbar Indonesia, dan Kisah.
Bersama Ajip dan Sobron Aidit, Ardan menerbitkan kumpulan puisi berjudul Ketemu di Jalan pada 1956. Lalu pada 1955 kumpulan sketsanya tentang masyarakat bawah Jakarta berjudul Terang Bulan Terang di Kali. Menurut Ajip, “Dialah yang pertama kali menggunakan dialek Jakarta dalam karya sastra Indonesia. Ia juga menulis esai dan kritik sastra.
“Pada waktu itu di kalangan yang muda hanya Ardan dan Nugroho Notosusanto yang pendapat-pendapatnya mendapat perhatian dari publik sastra secara luas,” tutur Ajip dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari (2010: 408-409).
Namun, masa-masa penuh gairah itu mulai memudar sejak 1962. Musababnya adalah agitasi PKI di kalangan seniman yang mulai menguat. Misbach mengingat saat itu, bersamaan dengan mekarnya Demokrasi Terpimpin, beberapa Anak Senen mulai masuk kalangan Kiri. Soal politik juga mulai memasuki obrolan-obrolan di antara Anak Senen.
“Anak-anak Senen jadi segan ke Pasar Senen lagi. Mereka mulai sebal mendengar ocehan politik tidak karuan dari orang-orang yang mulai nempel ke Kiri [...] Meski ketegangan di dalam masyarakat Anak Senen tidak begitu kentara, namun yang jelas bahwa tempat mangkal di Senen semakin sepi,” tulis Misbach (hlm. 146).
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan