tirto.id - Pasar Senen terbakar Jumat kemarin sejak subuh. Api baru padam setelah para petugas damkar berjibaku memadamkan api yang melalap blok I dan II Pasar Senen itu selama 20 jam. Bukan kali ini saja Pasar Senen mengalami kebakaran. Selama 43 tahun terakhir, api berkali-kali melalap pasar ini.
Berdasarkan data-data dari arsip kolonial era Hindia Belanda, perintis pasar ini adalah Justinus Vinck. Itulah sebabnya pasar ini pernah dikenal sebagai Vincke Passer. Letaknya agak jauh ke selatan pusat kota Batavia pada 1730-an.
Seperti banyak sejarah banyak pasar di Indonesia, Pasar Senen hanya beroperasi satu hari saja dalam seminggu. Tentu mudah ditebak bahwa pasar ini bekerja di hari Senin.
Hari Selasa adalah jatah pasar yang sekarang dikenal sebagai Pasar Koja. Hari Rabu adalah hari Pasar Rebo, yang lokasinya kini menjadi Pasar Induk Kramatjati. Kamis untuk Mester Passer yang kini Pasar Jatinegara, sedangkan Jumat untuk lahan pasar di Lebakbulus, Pasar Klender, dan Pasar Cimanggis. Sabtu ada pasar di lahan yang kini menjadi Pasar Tanah Abang, dan Minggu untuk pasar di Tanjung Oost yang kini disebut Pasar Minggu.
Hari pasar yang membuat orang-orang pribumi kesulitan mengeja Vincke Passer membuat mereka lebih suka menyebut Pasar Senen. Ketika Batavia semakin ramai, Pasar Senen juga makin penuh hiruk-pikuk. Ia tak lagi hanya beroperasi di hari Senin, tapi juga di hari-hari lain. Namun, orang-orang Indonesia hingga hari ini masih menyebutnya Pasar Senen, bahkan cukup “Senen” saja.
Berbagai etnis beraktivitas di pasar itu. Dalam perkembangannya, daerah Senen yang semula hanya dilintasi jalan kemudian dilintasi rel kereta api juga. Dalam Sejarah Perkeretaapian Indonesia (1997), stasiun kecil mulai ada pada 1894. Di bawah komando arsitek J. Van Gendt, stasiun itu diperbarui pada 1916.
Menurut buku Sejarah Perkembangan Kota Jakarta (2000), pembangunan dilakukan setelah pengambilan maskapai kereta api negara Staat Spoorwagon (SS). Stasiun ini resmi dibuka tahun 1925.
Tak hanya untuk jual-beli barang, Pasar Senen juga diwarnai prostitusi dan kriminalitas. Ada jagoan-jagoan yang kesohor di sini. Misalnya Imam Syafei yang pernah jadi Menteri Khusus Keamanan Ibukota. "Dia mengalahkan Muhayar. Muhayar ini pengganti Ayub yang membunuh kakek saya," ujar Edi, salah satu anak Syafei.
“Tekanan Belanda mungkin merupakan salah satu di antara sekian faktor yang menyebabkan dunia hitam Batavia tertarik dengan pergerakan kaum nasionalis Indonesia,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Dalam biografinya yang berjudul Vintje Sumual: Pemimpin yang Menatap Hanya ke Depan, Vintje menyebut para preman asal Minahasa yang juga mangkal dan punya koneksi dengan kelompok Imam Syafei. Pemuda-pemuda ini belakangan ada yang ikut kelompok laskar pejuang semasa revolusi.
Di masa revolusi, pemuda-pemuda pro-republik di Senen sering terlibat bentrokan dengan serdadu-serdadu Belanda yang bertangsi di bekas tangsinya Batalyon X KNIL. Sebelum revolusi, kawasan Senen memang bersentuhan dengan pergerakan nasional.
Pemuda-pemuda yang menyebarkan berita dan mengamankan acara proklamasi juga berasal dari sekitar Senen. Para seniman macam Sudjojono, Affandi, Dullah, dan Chairil Anwar juga bercokol di sana. Mereka ikut menggelorakan revolusi dengan poster-poster perjuangan.
“Pasar Senen, dalam sejarahnya (memang) tidak dapat dilepaskan dari perjuangan kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang ia menjadi tempat rendezvous para pemuda pergerakan kemerdekaan, para seniman urakan seperti Chairil Anwar,” tulis Alwi Shahab dalam Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007).
Dalam bukunya Maria van Engels Menantu Habib Kwitang (2006), Alwi Shihab menulis “Pasar Senen pernah menjadi terkenal pada pertengahan 1950an sampai akhir 1960an.... orang (laki-laki) lebih banyak datang ke Planet Senen, terutama pada malam hari, karena masa itu Planet Senen dan sekitarnya menjadi tempat pelacuran terbesar di Jakarta.”
Di kawasan Senen itu, “para WTS atau Wanita P tinggal di bangunan yang terdiri dari kotak sabun dan kardus. Di pinggir-pinggir rel. Malah gerbong-gerbong barang yang diparkir di Stasiun Senen, dijadikan tempat ngamar.”
Alwi mencatat kejadian lucu. Pernah ada hidung belang dan perempuan bayarannya sedang di sebuah gerbong yang sedang parkir. Ketika mereka sedang asyik, “tiba-tiba gerbongnya langsir dan baru berhenti di Stasiun Jatinegara.”
Sebagai area niaga, Senen pernah ramai lagi dengan keributan seperti di masa revolusi. Itu terjadi saat pemuda-pemuda Republiken melawan serdadu-serdadu Belanda dari bekas tangsi Batalyon X pada 15 Januari 1974.
Mahasiswa UI waktu itu hendak mendemo Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei yang sedang berkunjung ke Jakarta. Mereka sedianya melakukan long march dari kampus mereka di Salemba ke Istana Negara.
Namun, sebelum mereka sampai Senen, terjadi bakar-bakaran oleh massa yang tak jelas asalnya. Banyak toko dan kendaraan buatan Jepang hangus setelah peristiwa yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari) itu. Di masa-masa setelahnya, tanpa harus bakar-bakaran, kebakaran juga sering menghanguskan toko di sana.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani