tirto.id - Malioboro dikenal sebagai pusat wisata, politik, pemerintahan hingga ekonomi. Keunikan Malioboro menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Jalan Malioboro nomor 54, menjadi tempat berkumpulnya para politisi di Yogyakarta yang menjadi wakil rakyat.
Sementara di ujung Malioboro, di sana terletak Kantor Gubernur Yogyakarta tempat Sri Sultan Hamengkubuwono X berkantor. Juga istana kepresidenan. Sepanjang Malioboro, bangunan mal dan swalayan beraneka ragam nyaris tak pernah mati.
Di antara hiruk-pikuk itu, di emperan, warung-warung tenda dan angkringan, para pedagang kaki lima (PKL) menggantungkan hidupnya di sana. Mereka berdandan ala kadarnya, menyambut dengan ramah setiap calon pembeli makanan dan souvenir.
“Gudeg mas, masih pagi enak,” kata Suwardi ramah.
Sepasang pembeli pun kemudian mampir di warung tenda Suwardi. Keduanya tidak memesan gudeg seperti yang ditawarkan Suwardi, namun memesan dua mangkuk bakso.
“Biasanya kalau yang pesannya bukan Gudeg itu orang Yogyakarta sendiri yang jalan-jalan,” tutur Suwardi.
Suwardi adalah satu dari 3.500 PKL yang berada di Malioboro. Dia sudah berjualan di Malioboro sejak tahun 1996. Sejak awal, dia menempati sisi timur Malioboro di utara Kantor DPRD DIY. Suwardi mengantungkan hidupnya di sana.
“Biaya sekolah anak ya semua dari sini, untuk makan dan lainnya. Selama ini ya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saja,” tambahnya.
Sukino, seorang penjual aneka kuliner, juga menuturkan hal sama. Menurutnya, selama ini penghasilan dari PKL hanya cukup untuk hidup sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak-anaknya.
“Tidak banyak pendapatan sebagai PKL. Ya cukuplah,” ungkap Sukino yang sudah 22 tahun berjualan di Malioboro.
Perputaran Uang Miliaran
Suwardi dan Sukino mengakui bahwa setiap hari mereka bisa meraup omzet Rp500 ribu. Itu pada hari biasa. Pada hari libur, omzet bisa naik 100 persen jadi Rp1 juta. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Sukino mengaku pernah mendapat Rp2,5 juta dalam sehari.
“Tapi kita tidak setiap hari kerja. Namanya PKL. Ya kalau sedang capek, nggak enak badan, ya sudah nggak usah kerja. Paling sebulan itu cuma dua atau tiga minggu saja kerjanya,” kata Sukino.
Jika diasumsikan setiap PKL yang berjumlah 3.500 itu mendapatkan penghasilan sejumlah yang sama dalam sehari, maka ada perputaran uang yang sangat besar setiap harinya di Malioboro. Jika dihitung pada hari biasa, total perputaran uang mencapai Rp1,75 miliar di PKL Malioboro. Sementara pada hari libur, diperkirakan mencapai Rp3,5 miliar.
Kepala UPT Malioboro, Syarief mengatakan, memang di Malioboro para PKL yang ada di sana tidak seperti para PKL di tempat lainnya. Di Malioboro, para PKL sudah mapan dan tidak butuh lagi diberdayakan seperti lainnya.
“Yang di Malioboro ini mereka sudah amanlah. Kalau yang di bawah UPT sendiri ada 2.500 PKL di sisi timur Malioboro. Mereka tidak seperti PKL lainnya,” tegas Syarief.
Menjaga Keseimbangan Malioboro
Potensi ekonomi yang begitu menggiurkan di Malioboro harus dibatasi. Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat Tata Kota UGM, Retno Widodo Dwi Pramono. Menurutnya, keseimbangan Malioboro sebagai pusat pariwisata, ekonomi, politik dan pemerintahan harus dijaga.
“Ekonomi Malioboro ini memang mengagumkan. Tapi tidak boleh sepenuhnya dibiarkan hanya untuk kepentingan ekonomi saja. Harus ada keseimbangan, bukan berarti anti kapital. Tapi ada ruang lain yang berguna untuk masyarakat,” terang Retno.
Menurutnya, Malioboro justru akan mati ketika hanya fungsi ekonominya saja yang didahulukan. Sebab selama ini, daya tarik Malioboro tidak sekadar wisata belanja ataupun kuliner. Tapi juga suasana ruang publik yang nyaman dan lestari.
Sebaliknya pula, penataan yang sedang dilakukan oleh pemerintah juga tidak boleh menghilangkan PKL sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Malioboro. Pemerintah harus memastikan bahwa perubahan yang mereka lakukan kini adalah kondisi paling optimal dalam banyak aspek.
“Malioboro ini bukan lagi sebagai channel, tapi sudah menjadi space, sudah jadi tempat. Secara fisik ditata, ada plaza, trotoar, itu bagus. Tapi harus dipastikan ruang itu seimbang dan optimal,” tegasnya.
Jika penataan bisa optimal, maka bukan tidak mungkin akan muncul banyak celah baru untuk kegiatan ekonomi yang membuka lapangan pekerjaan baru. Namun jika sisi ekonomi yang diutamakan, bukan tidak mungkin juga Malioboro hanya akan menjadi pasar.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti