tirto.id - Martha tampak sumringah begitu menapakkan kakinya di jalan Malioboro. Tanpa basa-basi, dia langsung menarik tangan dua temannya.
“Ayo selfie dulu, di bawah tulisan jalan Malioboro,” celetuk Martha.
Usai selfie, beberapa jepretan dengan tongsis (tongkat narsis), dia pun langsung menuju sejumlah seni instalasi yang terpanjang di sepanjang Malioboro dan berselfie ria. Tak cuma selfie, Martha pun merekam keasyikan dengan dua temannya itu dengan video smartphonenya.
Setelah ritual selfie selesai, Martha langsung mengunggah foto-foto ke media sosial. Tak lupa check in location @Malioboro dan memberi hastag #Malioboro #Selfie.
Di Malioboro, Anda akan mendapati para wisatawan muda seperti Martha yang baru pertama kali menginjakan kakinya di Malioboro. Berselfie di plang jalan Malioboro dan sejumlah karya instalasi seni atau pun bangunan tua, sudah menjadi menu wajib.
Ritus ini menggantikan kenangan lawas soal Malioboro, setidaknya kenangan yang dibangun oleh Doel Sumbang lewat lagunya yang berjudul Malioboro. Lewat lagu itu, Doel bercerita tentang kenangan menikmati Malioboro dengan pisang goreng, nasi kucing dan kopi manis. Kenangan itu disebut Doel sebagai kenangan paling manis dan tak terlupakan.
Perubahan zaman telah mengubah Malioboro. Atas gagasan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada awal tahun 2016, Malioboro pun dibenahi menyesuaikan zamannya.
Gagasan dilontarkan Sultan dalam pidatonya saat sidang paripurna DPRD DIY pada 21 September 2012. Sultan menyerukan "Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru” sebagai visi Yogyakarta 2012-2017.
“Daerah Istimewa Yogyakarta yang lebih berkarakter, berbudaya, maju, mandiri dan sejahtera menyongsong peradaban baru,” kata Sultan.
Pidato Sultan itu lantas diejawantahkan dalam pembangunan. Salah satunya dengan memberikan wajah baru bagi Malioboro. Wajah baru yang segar. Mewakili zamannya, namun tidak kehilangan ciri khasnya sebagai bagian sejarah panjang Yogyakarta.
Rekonstruksi Sumbu Filosofis
Wajah baru Malioboro yang akan ditampilkan tidak lepas dari sumbu filosofis Yogyakarta. Sumbu filosofis yang dimaksud ialah garis imajiner dari Keraton Yogyakarta ke Tugu yang memiliki makna dalam hidup orang Jawa.
Sumbu filosofis itu meliputi empat jalan yakni Margoutomo, Malioboro, Margomulyo dan Pangurakan. Margoutomo berarti jalan utama, Malioboro berarti obor wali, Margomulyo berarti jalan mulia atau kebaikan, dan Pangurakan berarti pelepasan.
Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti menjelaskan, penataan Malioboro adalah bagian dari upaya penataan sumbu filosofis Yogyakarta. Khusus untuk Malioboro didesain untuk memberikan lebih banyak ruang kepada masyarakat untuk bisa mengakses Malioboro.
“Kita ingin memberikan ruang kepada masyarakat untuk bisa leluasa menikmati Malioboro dengan lebih nyaman. Kita sudah buat semi pedestrian di sisi timur Malioboro,” kata Haryadi saat dihubungi tirto.id, pada Senin (19/9/2016).
Makin luasnya area pedestrian diharapkan juga bisa menambah jumlah wisatawan yang tiap tahun selalu bertambah. Data Dinas Pariwisata DIY, pada tahun 2013, tercatat ada 2.602.074 wisatawan nusantara dan 235.843 wisatawan mancanegara. Pada tahun 2014, jumlahnya meningkat menjadi 3.091.967 wisatawan nusantara dan 254.213 wisatawan mancanegara.
Pada tahun 2015, jumlahnya pun meningkat drastis menjadi 3.896.572 wisatawan nusantara sementara wisatawan mancanegara mencapai 292.096 orang. Pada tahun 2016 dan berikutnya, diperkirakan pertumbuhan wisatawan akan mencapai 10 persen-15 persen.
Selain kepentingan menambah kapasitas dan mengembalikan makna filosofis, perubahan Malioboro ini juga sekaligus menangkap perubahan zaman. Munculnya banyak seni instalasi kontemporer di Malioboro, menjadi salah satu bukti bahwa Malioboro berkembang menyesuaikan semangat zamannya.
“Seni instalasi itu sudah lama ada, sejak Bienalle. Kita memberi ruang untuk berkreasi, termasuk instalasi itu,” ujar Haryadi.
Salah satu karya seni instalasi yang masih ada di Malioboro adalah “Digital Heart” karya I Made Arya. “Digital Heart” terbuat dari besi yang dilas menyerupai bentuk hati dan ditempatkan di sudut sisi barat, titik nol Yogyakarta. Karya itu dibuat I Made sebagai kenangan kisah cinta dia dengan istrinya yang bertemu di Malioboro.
Anak-anak muda lantas memberi makna sendiri pada seni itu. Mereka menjadikan Digital Heart sebagai tempat gembok cinta. Pasangan muda-muda menuliskan nama mereka berdua pada gembok, lalu menguncinya pada Digital Heart. Itu dilakukan dengan harapan cinta mereka akan abadi.
Perubahan Fisik Malioboro
Selain secara filosofi dan konsep yang ditata ulang, fisik Malioboro juga dibenahi. Pembenahan itu meliputi mengganti keramik pedestrian di sisi timur dan barat sepanjang Malioboro, pengadaan bangku taman dan aksesoris lainnya untuk mempercantik Malioboro.
Tak tanggung-tanggung, Pemerintah Daerah Yogyakarta pun menggelontorkan uang sebesar Rp24 miliar yang diambil dari dana keistimewaan untuk proyek tersebut. Selain itu, Pemerintah Kota Yogyakarta juga menyiapkan areal parkir baru sebagai pengganti parkiran sisi timur Malioboro.
Per 4 April 2016, sisi timur Malioboro sudah bebas parkir. Orang-orang pun bisa berjalan dengan leluasa tanpa perlu berdesakan di antara tumpukan sepeda motor yang parkir.
“Sisi timur sudah ditata, parkir sudah kita pindah ke Taman Abu Bakar Ali. Jadi sudah tidak ada masalah,” kata Syarief, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro.
Perubahan fisik Malioboro ini, diakui Syarief, menimbulkan pro dan kontra. Sebagian masyarakat menginginkan Malioboro dikembalikan seperti dulu lagi. Namun, tentu saja itu adalah hal yang mustahil. Sebab, zaman sudah berubah, Malioboro harus menyesuaikan diri agar tidak tergilas perubahan.
Meski demikian, sejumlah ciri khas Malioboro seperti warung lesehan tenda, komunitas seniman dan sastrawan dan komunitas lainnya, akan tetap dipertahankan. Kekuatan itu yang menjaga ruh Malioboro tetap ada.
Secara fisik, Malioboro akan dihiasi dengan bangku taman dengan beberapa bentuk, lampu taman dan beberapa pernik lainnya. Seni instalasi karya para seniman juga akan silih berganti ditampilkan di sepanjang Malioboro. Tidak hanya itu, warung tenda juga akan diseragamkan, mulai dari gerobak hingga tendanya.
“Secara fisik ini akan lebih bagus. Pertama karena lebih luas, tidak ada lagi motor parkir, kursi taman nanti akan lebih banyak, lampu taman juga,” tegasnya.
Pengerjaan perubahan fisik ini diperkirakan akan selesai pada tahun 2020. Pada tahun 2016, target pengerjaan fisik hanya pada sisi timur Malioboro. Pada tahun 2017, pengerjaan fisik di sisi barat dan selatan Malioboro baru akan dikerjakan. Pada tahun selanjutnya, barulah dimulai penataan di utara Malioboro dan di Jalan Pangurakan, hingga ke Keraton Yogyakarta.
Ekspektasi Masyarakat
Wajah baru Malioboro yang dikonsep oleh pemerintah, menimbulkan ekspektasi yang tinggi dari masyarakat. Salah satunya Rizal Setyo, warga Samirono yang masih duduk di bangku kuliah. Rizal membayangkan, di Malioboro nantinya akan ada banyak karya seni yang dipamerkan dan pertunjukan seni.
“Kalau ada banyak spot untuk berfoto, pasti akan lebih ramai. Penting juga ada ruang terbuka untuk menonton pertunjukan seni. Bayangan saya, Malioboro akan menjadi muda dan penuh pesona,” kata Rizal.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Mustakim. Pemuda perantauan asal Blora itu, membayangkan Malioboro yang sedang ditata oleh pemerintah akan berubah menjadi pedestrian yang sejuk. Orang ke Malioboro tidak hanya untuk sekadar belanja, tetapi bisa menjadi tempat bersantai di sore hari sembari menikmati pemandangan dan secangkir teh angkringan.
“Bayangan saya, ada kursinya. Orang bisa santai, cuma duduk-duduk sambil wedangan. Kalau sekarang ke Malioboro yang cuma belanja. Padahal kan seharusnya bisa lebih dari sekadar memenuhi hasrat belanja,” pungkasnya.
Janji perubahan Malioboro yang cemerlang itu membuat ekspektasi yang tinggi dari masyarakat, khususnya generasi milenial. Ekspektasi yang tinggi atas konsep baru, pemaknaan hingga perubahan fisik Malioboro, harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah.
Jika gagal memenuhi ekspektasi itu, konsekuensinya adalah tidak akan ada foto dengan hastag #Malioboro #Selfie dan check in @Malioboro di media sosial.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti