Menuju konten utama

Suara-suara Komunitas di Malioboro

Malioboro tidak bisa dipisahkan dari sastra. Bicara Malioboro, pasti rujukannya sastra. Malioboro menjadi ajang berekspresi para sastrawan muda di Yogyakarta.

Suara-suara Komunitas di Malioboro
Sejumlah pedagang mengikuti lomba 17-an yang digelar di jalan Malioboro, di Yogyakarta, Selasa (9/8). Antara foto/hendra nurdiyansyah/aww/16.

tirto.id - Ketika matahari tenggelam di barat, Sigit Sugito dan rekan-rekannya berkumpul di depan Gedung Agung. Sore itu adalah hari Minggu yang sendu, ditemani cahaya matahari yang meredup, Sigit memulai ritual. Membaca puisi.

Usai Sigit selesai membacakan puisi, giliran rekannya, Iman Budi Santoso yang membaca puisi miliknya sendiri. Belasan penonton sekaligus penyair muda menyaksikan dengan khidmat.

Aktivitas membaca puisi itu merupakan kegiatan rutin bulanan komunitas “Senja Bersastra di Malioboro”. Komunitas ini lahir meneruskan semangat Umbu Landu Paranggi, Sang Presiden Malioboro.

“Malioboro itu tidak bisa dipisahkan dari sastra. Bicara Malioboro, pasti rujukannya sastra. Kalau sastra Malioboro, kita pasti langsung ingat Umbu,” kata Sigit, salah satu inisiator Senja Bersastra di Malioboro.

Sigit menjelaskan, lahirnya komunitas berpuisi itu bermula dari tahun 2011 silam. Tujuan sebagai ajang berekspresi para sastrawan muda di Yogyakarta. Namun, dalam perjalanannya komunitas yang semula bernama “Malam Sastra Malioboro” vakum. Barulah pada Januari 2016, komunitas ini hadir kembali dengan nama baru.

Semua orang boleh terlibat di komunitas tu. Tidak ada syaratnya. Orang boleh terlibat, sekadar mendengarkan dan bertepuk tangan atau bahkan turut membacakan puisi. “Semua orang boleh terlibat di sini, tua muda, semua boleh,” ujar Sigit.

Sambutan publik terhadap komunitas ini pun positif. Sejumlah seniman dari berbagai daerah, bahkan wisatawan mancanegara yang tak sengaja lewat pun mau terlibat di komunitas tersebut. Mereka tanpa sekat menyuarakan ekspresi dan kegelisahan hati mereka.

“Pada intinya memberikan ruang berekspresi pada anak-anak muda. Suara-suara mereka ini berharga,” pungkas Sigit.

Sementara itu, di suatu sore hari yang lain, di tempat yang sama, sejumlah aktivis kampus, pers mahasiswa, jurnalis dan elemen masyarakat lainnya yang tergabung dalam K@MU (Koalisi Masyarakat Untuk Udin) membungkam mulut mereka. Lakban hitam menutup mulut belasan orang yang berdiri membelakangi Istana Kepresidenan.

Beberapa orang membentang poster bertuliskan “Wartawan Udin Dibunuh Karena Berita”. Selama 58 menit mereka berdiri diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Aksi ini kami namain aksi 16-an untuk menolak lupa kasus pembunuhan wartawan Udin pada tahun 1996. Kami melakukan aksi setiap bulan pada tanggal 16, dimulai pukul 16.00 sampai 16.58 wib yang merupakan waktu kematian Udin,” terang Valentina Wiji, salah satu aktivis K@MU.

Pemilihan tempat di depan Istana Kepresidenan yang terletak di kawasan jalan Malioboro pun ada alasannya. Menurut Wiji, alasannya lantaran Istana Kepresidenan merupakan simbol negara. Namun disadari atau tidak, pemilihan tempat itu mengundang respon dari masyarakat yang melintasi Malioboro atau wisatawan yang sedang berlibur di Malioboro.

“Kita sadar bahwa memilih tempat di situ akan ada respons dari masyarakat, dan itu diam kami itu bersuara,” ujarnya.

Respons Orang-orang Malioboro

Malioboro adalah komunitas yang di dalamnya terdiri dari berbagai jenis orang dengan berbagai latar belakang pula. Orang-orang lalu-lalang menjadi bagian Malioboro, setidaknya pada saat itu.

Mereka pun, memberikan respons pada setiap suara-suara komunitas yang menggaung di ubun-ubunnya Yogyakarta itu. Responnya banyak macamnya.

Dalam komunitas “Senja Bersastra di Malioboro”, respons orang-orang Malioboro hadir dalam keterlibatan aktivitas itu. Mulai dari mendengar para sastrawan mengumandangkan puisi-puisi indahnya, hingga terlibat dalam gumaman musikalisasi sastra para seniman.

“Inilah Malioboro. Kami menyuarakan sesuatu, orang-orang merespon tanpa ada sekat. Mereka seolah sudah menjadi bagian dari kami saja,” ungkap Sigit.

Hal serupa juga terjadi pada aksi K@MU. Orang-orang Malioboro meresponsnya dengan cara masing-masing. Orang-orang yang berkendara memelankan laju kendaraan, sementara yang berjalan menyempatkan membaca poster-poster.

“Ada banyak ekspresi ketika orang melihat kami. Berbagai rentang usia punya respon yang berbeda,” ujar Wiji.

Mereka yang usia setengah baya, biasanya mengerenyitkan dahi mencoba mengingat peristiwa terbunuhnya Udin. Beberapa diantaranya mengacungkan jempol atau mengepalkan tangan memberi semangat.

Sementara mereka yang masih remaja meresponnya dengan cara yang unik. Meski tidak paham, mereka menyempatkan diri untuk mengambil gambar. Terkadang beberapa di antara mereka turun masuk dalam barisan dan berfoto selfie.

“Respons-respons itu bagi kami berharga, selama ini selalu positif. Ini menumbuhkan harapan, dalam beberapa titik negara amnesia, tapi rakyat tidak pernah lupa,” tegas Wiji.

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Mild report
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti