tirto.id - Secara konsep dan fisik, Malioboro sudah mulai ditata ulang oleh pemerintah. Lahan parkir di sisi timur, dipindah ke utara dan dijadikan pedestrian. Lahan yang lebih luas diharapkan bisa menampung lebih banyak wisatawan yang berkunjung ke Malioboro.
Lalu bagaimana perubahan Malioboro ini akan berujung? Apakah akan justru berdampak negatif atau justru positif? Simak wawancara Mawa Kresna dari tirto.id dengan Retno Widodo Dwi Pramono, pakar Tata Kota dari Universitas Gajah Mada, Senin (19/9/2016);
Bagaimana Anda melihat arah perubahan Malioboro yang dilakukan oleh pemerintah?
Malioboro ini utamanya sudah menjadi ruang ekonomi, tidak hanya sebagai channel ekonomi atau penghubung antar kegiatan ekonomi. Maka yang harus dipakai untuk menilai adalah ideologi dan paradigma yang dipakai nasional maupun Yogya, yakni berpikir mencari ekonomi yang seimbang. Tumbuh tapi tidak anti kapital, berguna untuk rakyat dan sepakat untuk menjadi ruang tetap lestari dan nyaman. Itu yang digunakan oleh pemerintah.
Apakah yang sekarang arahnya ke sana?
Kita lihat wujudnya adalah penataan. Itu secara fisik untuk plaza dan trotoar. Jalan Malioboro sendiri apakah sebagai channel, jalur, atau sudah menjadi place? Kalau ring road sebagai jalur, maka yang diutamakan adalah kelancaran kendaraan. Kalau Malioboro sudah jadi place, sudah menjadi tempat, jalur gerakan kendaraan sudah nomer sekian. Aktivitas di Malioboro yang harus dipentingkan.
Artinya gagasan mengubah Malioboro sudah tepat?
Karena Malioboro adalah place, maka di sana ada ruang yang berisi banyak interaksi sosial hingga seni, ekonomi hingga politik juga. Bagus sekarang diperlebar, sehingga aktivitas dari sosial hingga ekonomi bisa tertampung dengan baik.
Apakah tidak ada efek negatif dari perubahan ini?
Memang beberapa hal merugikan dalam waktu dekat, seperti parkir. Tapi itu sementara saja. Kita harus berpikir bagaimana nasib tukang parkir? ini yang harus dicarikan solusi, sehingga tidak ada yang menjadi kehilangan pendapatan. Ini seperti membongkar rumah, melakukan renovasi. Dalam waktu dekat terganggu, tapi dalam jangka panjang akan nyaman.
Apa dampak positif dari perubahan ini?
Saya kira daya dukung kawasan akan menjadi lebih tinggi, itu artinya transaksi lebih tinggi. Aktivitas lebih banyak dan lapangan kerja lebih tinggi.
Dari aspek estetika, apakah perubahan ini justru menghilangkan ciri khas Malioboro?
Dari estetika, ada investasi banyak sampai puluhan miliar. Itu artinya harus ada nilai tambah. Tambah indah. Fungsi Malioboro tidak hanya fungsi ekonomi saja, tapi juga obyek wisata yang memiliki daya tarik. Perubahan ini harus menjadi kekuatan baru. Kekuatan baru itu, objek wisata magnetnya. Magnetnya wisata itu keunikan. Harus ada keunikan, tidak boleh universal. Jadi orang bisa bilang, “Oh, aku harus ke Malioboro untuk lihat ini, karena hanya ada di Malioboro”.
Tidak hanya fisiknya, tapi suasana. Saya yakin arsiteknya sudah memikirkan ini. Bahkan sampai detail, dari furniture hingga bentuk lampu yang lebih unik. Aktivitas juga harus lebih unik lagi, sehingga ada alasan untuk bilang saya harus datang ke Malioboro. Saya harus belanja dan makan minum di sana.
Kalau bicara daya tampung, Malioboro sudah tidak mungkin dikembangkan. Termasuk masalah parkir. Apa solusinya?
Saya melihat Malioboro menjadi ikon dari Yogyakarta. Jadi sebisa mungkin jangan hanya dijalur itu saja, tapi melebar ke barat. Diluberkan ke sana. Bisa dibuat distrik yang orang enak jalan kaki. Tentu dengan mempertimbangakn karakter budaya, daya dukung dan daya tampung, maka bisa banyak kegiatan dan aktivitas orang menjadi tinggi. Mau nggak mau kendaraan pribadi harus dikalahkan.
Kantong parkir juga harus disiapkan. Jauh itu nggak masalah. Asal ada shelter gratis, atau sepeda boleh masuk akan lebih menarik. Kapasitas daya dukung dan tampung meningkat, transaksi ekonomi lebih tinggi, kesempatan kerja lebih banyak. Banyak orang dapat kue ekonomi di situ, tapi jangan mengabaikan keberlanjutan.
Soal parkir, apa masih ada lokasi yang bisa digunakan di sekitar Malioboro?
Menurut saya, dalam jangka panjang bukan fokus di jalur Malioboro, tapi sudah melebar ke distrik ke barat. Ada program peremajaan kota dengan pendekatan kosolidasi lahan. Dari barat, belakang bisa potensial ruang parkir yang dikelola swasta. Bisa dan sangat bisa. Jauh dikit nggak masalah. Masyarakat dalam kawasan pariwisata, sampai 400 meter jalan kaki itu masih nyaman. Apalagi kalau teduh. Jika memungkinkan, ada dokar dan becak wisata. Ini kan jadi peluang baru lagi. Lapangan kerja terbuka lagi.
Tapi memang dibutuhkan perubahan mindset yang radikal untuk melakukan itu. Di Rotterdam, ada gedung lengkung di tengah kota. Tiga lantai di bawah digunakan untuk parkir, plazanya dipakai untuk pasar, bangunan lengkung untuk apartemen. Ini menarik sekali.
Sayangnya, mindset orang bahwa tidak perlu memiliki lahan itu sulit. Padahal kita tidak perlu lahan, tapi perlu memiliki aset. Aset ini bisa di atas bangunan, bukan hanya lahan di Hongkong dan Singapura sudah menerapkan ini. Kita masih sangat kaku. Ini memang visi jangka panjang, pelan-pelan ditata.
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan Malioboro?
Pemerintah bisa memberi contoh, bahwa masalah bangunan itu tadi menguntungkan. Tidak perlu harus menguasai lahan. Kalau itu berhasil, masyarakat nanti ikut sendiri. Malioboro ini miniatur hutan tropis. Ada semua di situ. Bagaimana mengolah ini menjadi bagian dari peradaban baru. Itu potensi yang besar.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti