tirto.id - Sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI) mendatangi Kantor Bupati Bangka Barat, Selasa (5/11/2019), dan meminta sang bupati, Markus, tidak lagi membuka acara-acara Islam. Mereka pun menolak rencana maulid Nabi Muhammad tanggal 11 November 2019 di rumah dinas bupati.
Alasannya, sang bupati, yang terpilih pada 26 Maret 2019, tidak beragama Islam.
"Agama ada aturan, birokrasi ada aturan. Jangan dipaksakan bertabrakan. Jadi harus saling menghargai, masalah acara Maulid Nabi itu kan beda, apa yang mau disambung kalau beda agama," kata anggota FPI Bangka Belitung Sholeh.
Direktur Riset SETARA Institute Halili menilai apa yang dilakukan organisasi yang dipelopori Rizieq Shihab itu berbahaya, dan karenanya harus direspons dengan tepat. Jika tidak, kata Halili kepada reporter Tirto, Jumat (8/11/2019), aksi semacam itu akan dilakukan FPI di daerah-daerah lain.
"Mungkin di satu waktu yang dipakai maulid, di lain waktu isra miraj, di tempat lain yang dipermasalahkan pidato. Bisa jadi begitu. Tapi poin saya, tekanan semacam itu dari kelompok intoleran kepada pemerintah pasti akan menyebar kalau pemerintah tidak memberi respons yang presisi," kata Halili.
Kebijakan Pusat
Masalahnya, menurut mantan Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy, pemerintah tampak tak punya aksi riil menghadapi tren intoleransi yang terus meningkat.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut tren intoleransi politik meningkat dari 2016 sampai 2018. Yang dimaksud intoleransi politik ini berkaitan dengan sikap terhadap pimpinan politik.
LSI lantas menyimpulkan "keran pembuka arus intoleransi" ini adalah aksi-aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok . FPI adalah salah satu motor gerakan tersebut--yang eksis sampai sekarang dalam wujud PA 212.
Ahmad Suaedy mengatakan pemerintah memang telah melakukan sejumlah hal untuk membendung intoleransi. Sayangnya, itu hanya dilakukan kasus per kasus. Tidak ada kebijakan untuk memastikan serangan terhadap minoritas tak terjadi lagi.
"Karena tidak ada revisi terhadap peraturan yang memungkinkan terjadinya ini," kata Suaedy kepada reporter Tirto.
Peraturan yang dimaksud salah satunya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Ahmadiyah yang terbit tahun 2008. SKB ini akhirnya membuka ruang persekusi.
Suaedy pun menyoroti penegakan hukum terhadap aksi intoleransi. Misalnya, keberadaan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Bakor Pakem) Kejaksaan Agung yang masih aktif hingga saat ini. Selain itu, ketika ada minoritas yang dipersekusi, kata Suaedy, polisi akan lebih dulu meminta fatwa MUI tentang sesat atau tidaknya kelompok tersebut.
"Kalau sesat disebut oleh MUI, polisi tidak melindungi. Kalau dibilang tidak sesat baru dilindungi. Itu parah sekali."
Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono pesimistis masalah diskriminasi terhadap minoritas akan selesai pada periode kedua kepemimpinan Joko Widodo, kecuali Wakil Presiden Ma'ruf Amin berbuat sesuatu. Sebab dia, kata Andreas saat dihubungi pada Jumat (8/11/2019), "adalah politikus yang paling berpengaruh di dalam membuat Indonesia makin 'kanan' setelah Suharto."
Ma'ruf, misalnya, menjadi salah satu saksi yang memberatkan Basuki Tjahaja Purnama dalam persidangan atas tuduhan penodaan agama. Pernyataan ini turut membikin Ahok, yang ketika itu masih jadi Gubernur DKI, mendekam di sel.
Andreas mengatakan, "kita bisa punya harapan terhadap masa depan Indonesia" jika "Ma'ruf Amin sadar, berubah pikiran, serta mau mencabut ratusan aturan yang diskriminatif terhadap minoritas agama, perempuan, serta LGBT."
"Kalau dia tak sadar, kita tentu juga harus cemas akan makin memburuknya kehidupan bangsa ini," kata Andreas.
Ma'ruf sendiri mengatakan akan melindungi hak-hak minoritas, setidaknya demikian yang dinyatakan Ketua DPP PKB Muhammad Lukman Edy tahun lalu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino