Menuju konten utama

Intoleransi Politik Meningkat Setelah Gerakan Menolak Ahok

Aksi menolak Ahok adalah awal mula meningkatnya intoleransi politik di Indonesia.

Warga saling menggendong saat melakukan aksi menyuarakan kerukunan kehidupan bernegara di Benteng Vanstenburg, Solo, Jawa Tengah, Rabu (14/2/2018). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) periode 1-7 Agustus 2018 menyimpulkan tren intoleransi politik meningkat dari 2016 sampai 2018. Survei ini melibatkan 1.520 responden yang dipilih dengan metode multistage random sampling. Margin of error ditetapkan lebih kurang 2,6 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Yang dimaksud intoleransi politik dalam survei ini berkaitan dengan sikap terhadap pimpinan politik.

Sebanyak 52 persen responden menyatakan keberatan nonmuslim menjadi bupati atau wali kota. Angka ini naik dibanding Agustus 2016 dan Agustus 2017 yang masing-masing jumlahnya 39 persen dan 47 persen.

Sebaliknya, mereka yang tidak keberatan terus menurun. Pada Agustus 2016 jumlahnya masih 50 persen, tapi menurun jadi 42 persen pada Agustus 2017 dan 38 persen satu tahun setelahnya.

Kemudian, ada 52 persen responden muslim yang keberatan jika dipimpin gubernur nonmuslim pada Agustus 2018. Angka ini meningkat dibanding Agustus 2016 yang jumlahnya 40 persen dan 48 persen pada Agustus 2017.

Jumlah muslim yang tidak keberatan dipimpin gubernur nonmuslim juga terus menurun: dari 49 persen pada Agustus 2016 jadi 41 persen pada Agustus 2017, lalu 38 persen pada Agustus 2018.

Selanjutnya, jumlah muslim yang keberatan pada wakil presiden non muslim juga meningkat dari 41 persen pada Agustus 2016 menjadi 50 persen pada Agustus 2017. Pada Agustus 2018 angkanya naik lagi jadi 55 persen.

Jumlah yang tidak keberatan pada wakil presiden nonmuslim pun terus menurun dari 47 persen pada Agustus 2016 menjadi 40 persen pada Agustus 2017, dan turun lagi menjadi 36 persen pada Agustus 2018.

Terakhir, survei ini menemukan jumlah muslim yang keberatan jika nonmuslim menjadi presiden naik dari 48 persen pada Agustus 2016 menjadi 53 persen pada Agustus 2017 dan 59 persen pada Agustus 2018.

Tren muslim yang tidak keberatan pada presiden nonmuslim juga menurun dari 42 persen pada Agustus 2016 menjadi 37 persen pada Agustus 2017, dan menurun lagi menjadi 32 persen pada Agustus 2018.

Tren ini berbanding terbalik dengan responden nonmuslim yang sebagian besar menyatakan tidak keberatan jika muslim menjadi pemimpin politik.

78 persen nonmuslim menyatakan tidak keberatan muslim menjadi walikota/bupati, 78 persen tidak keberatan muslim menjadi gubernur, 86 persen menyatakan tidak keberatan muslim menjadi wakil presiden, dan 86 persen menyatakan tidak keberatan muslim jadi presiden.

Anti Ahok

Peneliti Senior LSI Burhanudin Muhtadi mengaitkan hasil survei ini dengan aksi-aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap menista agama, yang memuncak pada demo yang diberi nama "212", 2 Desember 2016.

"[Hasil survei] ini membantah bahwa 212 adalah puncak akumulasi intoleransi politik muslim. 212 adalah keran pembuka arus intoleransi," kata Burhan di Hotel Sari Pasific, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018).

Menurut Burhan, angka tersebut masih berpeluang meningkat jelang pilpres 2019. Faktor determinannya: masing-masing kontestan memang bakal menggunakan isu agama untuk meraup dukungan masyarakat.

"Masing-masing akan merasa bahwa isu ini memiliki kekuatan elektoral, itu terbukti di DKI Jakarta," kata Burhan.

Tentu ada implikasi praktis atas kondisi ini. Dikaitkan dengan pemilu, kondisi ini dapat membuat para kontestan semata menampakkan citra diri sebagai orang yang paling salih di depan publik.

"Yang saya khawatirkan ialah orang lupa substansi pemilu itu apa. Substansinya itu kan menarik pemilih pada hal yang sifatnya programatik, bukan kepada hal-hal yang sifatnya politik identitas," kata Burhan.

Sengaja Dimobilisasi

Pemaparan serupa pernah juga disampaikan Burhan dalam presentasinya bersama Marcus Mietzner di helatan Indonesia Update 2018 yang digelar Australia National University (ANU) di Canberra, Australia, 14 September 2018. Mietzner adalah ilmuwan politik dari ANU.

Dalam forum itu Burhan dan Mietzner berkesimpulan lebih eksplisit: "pendeknya, intoleransi itu dimobilisasi."

Burhan dan Mietzner menyatakan mobilisasi tersebut dilakukan oleh kalangan muslim kelas menengah secara ekonomi dan berpendidikan tinggi. Objek alias massanya: kalangan muslim dengan tingkat ekonomi rendah.

"Muslim kelas bawah adalah yang direkrut ke dalam kubangan intoleransi selama protes [rangkaian aksi anti-Ahok], dan terus-menerus berlangsung setelahnya," begitu kesimpulan Burhan dan Mietzner.

Penggerak Aksi 212 memang mayoritas dari golongan berpendidikan. Hal ini terlihat dari tokoh-tokoh yang muncul saat itu, seperti Rizieq Shihab yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di King Saud University, Universitas Islam International Malaysia, dan Universitas Sains Islam Malaysia.

Begitu juga Yusuf Mansur yang mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Fadli Zon yang lulusan London School of Economics dan menjabat sebagai Wakil Ketua DPP Gerindra.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino