Menuju konten utama
20 Maret 1951

Uji Coba Vaksin Tetanus Angkatan Laut Jepang yang Berujung Kematian

Dalam persiapan menghadapi Sekutu, Angkatan Laut Jepang di Indonesia melakukan uji coba vaksin tetanus kepada sejumlah terpidana mati asal Lombok. 

Uji Coba Vaksin Tetanus Angkatan Laut Jepang yang Berujung Kematian
Ilustrasi MOZAIK Pengadilan eksperimen vaksin tetanus. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Setelah Ayah pergi, kami hidup kesepian. Pekerjaan di ladang jadi banyak dan waktu saya untuk belajar tinggal sedikit. Saya selalu ingat malam-malam yang menyenangkan ketika belajar bahasa Inggris bersama Ayah.”

Itu adalah paragraf pembuka dari lembar petisi yang ditulis pada 1951 oleh Tatsuzaki Nobuko, putri Tatsuzaki Ei, yang terdapat di National Archives of Australia. Anak itu baru berusia 13 tahun. Petisinya ditujukan kepada Kepala Pengadilan Militer di Manus, Papua Nugini, untuk membebaskan ayahnya.

Mayor Tatsuzaki Ei adalah seorang perwira hukum Armada Ekspedisi Kedua Laut Selatan, Angkatan Laut Jepang, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Bersama Nakamura Hirosato dan Shibata Yaichiro, ia didakwa atas tiga tuduhan terkait eksperimen vaksin tetanus yang dilakukan kepada 17 terpidana mati asal Lombok di pangkalan AL Jepang di Surabaya.

Uji coba vaksin terjadi pada Februari-Maret 1945, sebagai bagian dari upaya kedokteran militer menghadapi pertempuran dengan pasukan Sekutu yang kian dekat.

Enam tahun kemudian pada 20 Maret 1951, tepat hari ini 70 tahun lalu, Pengadilan Militer Australia menggelar sidang pengadilan ketiga terdakwa itu di Pulau Manus. Pengadilan militer berlangsung hingga 2 April 1951.

Uji Coba yang Merenggut Nyawa

Dalam pertempuran darat, seperti ditulis J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki dalam Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945 (2020:225), ancaman terbesar adalah infeksi bakteri tetanus, Clostridium tetani. Luka dalam jaringan tubuh yang minim oksigen dan tanah yang terkontaminasi C. tetani, merupakan media yang tepat untuk bakteri ini berkembang biak.

Para ilmuwan Jepang, baik di Angkatan Darat maupun Angkatan Laut, dalam waktu singkat berusaha keras menyediakan vaksin tetanus bagi ratusan ribu pasukannya. Dibanding Sekutu, militer Jepang ketinggalan dalam teknologi pembuatan vaksin. Kedokteran militer Jepang hanya meresepkan serum antitetanus yang digunakan ketika prajurit terluka dan terinfeksi. Padahal yang lebih dibutuhkan adalah vaksin tetanus, yang disuntikkan sebelum terjadi pertempuran sebagai bentuk pencegahan, sebagaimana didapatkan secara rutin oleh pasukan Sekutu sejak 1942.

Dokter Kepala Armada Ekspedisi Kedua Laut Selatan, Nakamura Hirosato, bertanggung jawab atas kesehatan 100.000 prajurit Angkatan Laut Jepang yang tersebar di wilayah Indonesia. Pada Januari 1945, Nakamura mencoba mencari pasokan serum antitetanus di Lembaga Pasteur di Bandung. Lembaga Pasteur adalah laboratorium yang memasok vaksin-vaksin penting seperti vaksin cacar, rabies, tifus, kolera, dan pes di seluruh kawasan Asia sejak 1930-an.

Namun, Lembaga Pasteur dikuasai Angkatan Darat. Sementara kedua angkatan ini terlibat persaingan mengamankan logistik demi keselamatan pasukan masing-masing. Selain itu, Angkatan Darat juga tidak memiliki cukup persediaan serum antitetanus, terlebih untuk keperluan tempur. Nakamura harus memikirkan sendiri bagaimana menjaga pasukannya dari ancaman tetanus.

Setelah yakin kesatuannya tidak akan mendapatkan bantuan serum dari Angkatan Darat di Bandung, Nakamura memerintahkan dua ilmuwannya melakukan eksperimen membuat vaksin tetanus. Pada awal tahun 1945 itulah Mayor Laut Dokter Ide Masanori dan Dr. Sugiura Yasumasa--ahli tetanus yang diterbangkan ke Surabaya dari Tokyo--bekerja keras mengusahakan ketersediaan vaksin yang manjur dalam waktu singkat.

Semua protokol standar telah mereka lakukan dengan baik, termasuk percobaan terkontrol pada hewan. Mereka yakin vaksin tersebut aman untuk diujicobakan kepada manusia sebelum disuntikkan kepada ratusan ribu prajurit. Tetapi, bagaimana mendapatkan sekelompok sukarelawan untuk uji coba dan bagaimana mendapat persetujuannya?

Angkatan Laut Jepang tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan uji coba vaksin pada manusia dengan interval waktu sesuai prosedur. Tatsuzaki Ei, perwira hukum di armada tersebut, diajak berdiskusi untuk mencari solusi perihal uji coba pada manusia dengan mempertimbangkan potensi dampak hukumnya setelah perang usai. Tatsuzaki menyebutkan bahwa di penjara Surabaya terdapat 17 tahanan asal Lombok yang sedang menunggu eksekusi mati. Tetapi Tatsuzaki Ei menyatakan kepada Nakamura, sebagaimana tercatat dalam transkrip sidang pengadilan:

“Untuk alasan apa pun, saya, sebagai seorang pengacara, tidak akan setuju dengan Anda untuk menggunakan para tahanan dalam eksperimen kedokteran, bahkan jika eksperimen tersebut tidak akan menimbulkan kerugian pada diri tahanan. Hal ini merupakan wewenang Kepala Penjara dan sepertinya saya tidak dapat memberikan jawaban pasti kepada Anda. [Namun] bagaimanapun, mengingat sepertinya ini merupakan kasus khusus, saya akan memikirkan dan mempertimbangkannya.”

Permintaan yang diajukan berulang kali, jaminan bahwa uji coba tersebut tidak akan menimbulkan bahaya, dan hasil konsultasi dengan para perwira hukum lain, akhirnya menghasilkan persetujuan untuk uji coba vaksin tetanus kepada 17 terpidana mati.

Para tahanan mendapat dua kali suntikan dengan interval 14 hari. Vaksinasi pertama berlangsung sukses tanpa efek samping apa pun. Setelah 14 hari, mereka mendapat suntikan toksin dalam tiga kelompok dosis berbeda. Tiga hari kemudian, semua tahanan yang menerima vaksin jatuh sakit dengan menunjukkan gejala tetanus.

“Saya mengatur supaya para tahanan yang sakit segera dibawa ke rumah sakit dengan sebuah truk kecil. Ide [Manasori] menyatakan bahwa dirinya tidak menyangka hasilnya akan seperti itu… Saya mengatakan kepada Ide bahwa saya terkejut dengan hasil tak terduga tersebut.”

Dalam rentang dua pekan, 15 dari 17 tahanan yang disuntik vaksin tetanus meninggal di rumah sakit. Sementara dua tahanan yang selamat tetap menghadapi hukuman mati pada awal April 1945.

Infografik Mozaik Vaksin Maut Serdadu Jepang

Infografik Mozaik Vaksin Maut Serdadu Jepang. tirto.id/Sabit

Hasil Pengadilan Militer Pulau Manus

Pada 2 April 1951, Pengadilan Militer Australia memutuskan Tatsuzaki Ei bersalah atas tuduhan kejahatan perang melakukan pembunuhan di luar hukum. Ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, yang kemudian diringankan menjadi satu tahun. Nakamura Hirosato juga dinyatakan bersalah atas tuduhan yang sama dan dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun. Atasan mereka, Shibata Yaichiro, serta dua dokter pelaku eksperimen, yakni Ide Manasori dan Sugiura Yasumasa, bebas dari segala tuduhan.

Tidak adanya niat membunuh dan upaya-upaya yang dilakukan sesegera mungkin untuk menyelamatkan nyawa para tahanan menjadi dasar keringanan hukuman kepada para perwira Angkatan Laut Jepang tersebut. Sayangnya, Kode Nuremberg—kode etik dasar dalam melakukan penelitian—baru diberlakukan setelah Perang Dunia II. Kelalaian dalam eksperimen yang menyebabkan kematian dan kegagalan mendapatkan persetujuan dari peserta penelitian merupakan sebuah pelanggaran besar. Para tahanan yang sedang menanti hukuman mati jelas bukan subjek yang mampu menolak berpartisipasi dalam sebuah eksperimen kedokteran tentara pendudukan.

Kepada penulis, lewat korespondensi yang dilakukan pada 14 Maret 2021, Kevin Baird, salah satu penulis Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945 (2020), yang juga bekas perwira Angkatan Laut Amerika Serikat serta peneliti di NAMRU-2 (laboratorium riset biomedis Angkatan Laut AS) selama 22 tahun, menyampaikan refleksinya atas apa yang dilakukan tiga perwira AL Jepang tersebut.

Sebagai sesama dokter militer di Angkatan Laut, Baird sangat memahami tanggung jawab yang dipikul Nakamura untuk memastikan ratusan ribu prajuritnya terhindar dari ancaman tetanus dalam pertempuran darat. Menyediakan vaksin tetanus adalah tugas dan tanggung jawab Nakamura sebagai dokter kepala di armada tersebut.

“Tetapi saya sangat marah kepada tim dokter Jepang ketika pertama kali mengetahui eksperimen yang mereka lakukan. Mereka merendahkan diri mereka sendiri dan profesi kedokteran pencegahan militer dengan eksperimen itu. Mereka benar-benar menyalahgunakan wewenang dan integritas profesional mereka,” tulis Baird yang kini menjabat sebagai Direktur Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Jakarta.

Namun, sebagaimana alasan pengadilan militer memberikan hukuman yang cukup ringan, kegeraman Baird pun melunak mengingat pada dasarnya kematian para tahanan disebabkan oleh kecelakaan akibat ketidakcakapan teknis.

Hukuman ringan itu membuat Tatsuzaki Nobuko yang beranjak remaja tidak perlu menunggu lama bertemu ayahnya kembali. Dan sebagaimana semua tentara Jepang yang bertugas dalam Perang Asia Timur Raya, mereka kembali ke tanah airnya dengan dielu-elukan sebagai pahlawan.

Baca juga artikel terkait PERANG DUNIA II atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Politik
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh