tirto.id - Pada pertengahan tahun lalu, Anthony Tan, pendiri sekaligus Kepala Eksekutif Grab, mengungkap startupnya “belum membutuhkan sesegera mungkin” untuk melantai di bursa saham. Ia menegaskan, Grab akan siap melantai jika para pemegang saham aplikasi ride-sharing menghendakinya.
Untuk urusan modal, Grab bertopang pada investasi dari para investor. Data Crunchbase, Grab telah 22 kali mendapat sesi pencarian dana, yang sukses menggandeng 39 investor, termasuk di dalamnya Hyundai hingga Microsoft. Valuasi Grab ditaksir berada di angka $11 miliar.
Kisah sebaliknya terjadi dalam tubuh Uber. Pelopor layanan peer-to-peer dalam dunia transportasi ini berencana akan melantai di bursa saham atau initial public offering (IPO) sebelum medio 2019. Uber bahkan telah menunjuk Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. sebagai perusahaan penjamin emisi efek (underwriter), yang bertugas membantu menawarkan saham kepada investor.
Sebelum rencana IPO, Uber lebih banyak ditopang oleh para investor seperti kebanyak ride-sharing lainnya seperti Grab atau Go-Jek. Ada 97 investor yang membenamkan uang di Uber, dari Softbank hingga keluarga Kerajaan Saudi, secara langsung maupun via Saudi Arabia’s Sovereign Public Investment Fund. Hingga kini, selepas hampir 10 tahun beroperasi, nilai valuasi Uber ditaksir berada di angka $80 miliar.
Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. menyebutkan bila Uber melakukan IPO, maka valuasi perusahaan akan memecahkan rekor dunia. Duo underwriter ini setuju nilai valuasi Uber saat IPO ditetapkan $120 miliar. Uber mengalahkan Facebook, Google, hingga Twitter, tetapi kalah dibandingkan Alibaba, sebagai perusahaan dengan valuasi terbesar saat IPO.
Saat IPO, valuasi Google sebesar $23 miliar dan Facebook ada di angka $104,2 miliar. Sementara itu, valuasi Alibaba saat IPO mencapai $167,4 miliar.
Laporan The Guardian, mengungkap saat Uber memiliki nilai valuasi yang besar dan pertumbuhan bisnis yang semakin pesat, tapi tetap saja belum untung. Pada kuartal III-2018 lalu, Uber malah rugi $1,1 miliar. Keadaan yang tak berubah bahkan sejak startup ini berdiri. Dengan keadaan tersebut, sangat mungkin valuasi Uber akan terjungkal, berada jauh di bawah $120 miliar. Hal yang sebetulnya banyak dialami perusahaan-perusahaan teknologi lainnya seperti Snap.
Lima bulan sebelum resmi melantai, valuasi Snap saat IPO diperkirakan berada di angka $40 miliar. Namun, kala IPO valuasi justru melorot ke angka $20 miliar. Pasar merespon negatif IPO Snap, valuasi Snap setelah IPO semakin melorot hanya menjadi $9,3 miliar. Kondisi mirip terjadi pada Xiaomi. “Apple dari Cina” yang digadang-gadang bervaluasi $100 miliar saat IPO, justru melempem jadi $35,4 miliar setelah IPO.
Alasannya sederhana, Snap maupun Xiaomi dianggap belum matang berbisnis. Snap, sebagai aplikasi media sosial, dibayang-bayangi Facebook. Sementara Xiaomi, dalam bayangan OPPO, Vivo, hingga nama-nama tenar seperti Apple dan Samsung. Saat perusahaan teknologi IPO, maka hal-hal yang terjadi pada bisnis mereka termasuk ancaman bisnis akan dipantau oleh pasar.
Bila rencana IPO Uber gagal mencapai valuasi $120 miliar, sebagaimana diwartakan Financial Times, tentu bisa berpotensi berpengaruh pada startup-startup lainnya yang akan IPO.
Apakah Go-Jek Masuk Bursa?
Pada awal 2018, sebagaimana dilaporkan Reuters, Andre Soelistyo, Presiden Go-Jek, menyebut bahwa Go-Jek sedang mempertimbangkan diri untuk melakukan IPO. Katanya, “Kami sedang berdiskusi apa yang perusahaan teknologi butuhkan ketika hendak melakukan IPO dan bagaimana pertukaran akses dilakukan.”
Hampir setahun berlalu sejak apa yang diungkap Andre, Go-Jek belum melakukan IPO. Namun, atas dukungan investor, nilai valuasi perusahaan ini terus menanjak. Terakhir, valuasi Go-Jek diperkirakan berada di angka $9,5 miliar.
Seperti kasus Uber, nilai valuasi Go-Jek ketika IPO sangat mungkin meningkat dibandingkan valuasi sekarang. Alasannya, Go-Jek adalah pemimpin pasar ride-sharing, dengan penguasaan 79,20 persen di pasar Indonesia, setidaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Sayangnya, lagi-lagi berkaca pada Uber, bisnis Go-Jek belum untung. Nadiem Makarim, Pemimpin Eksekutif Go-Jek, pada Agustus 2018, membenarkan hal ini. Menurutnya, segala lini jasa yang dijalankan Gojek sangat dekat untuk memperoleh keuntungan, kecuali lini bisnis transportasi yang ditopang Go-Ride dan Go-Car.
Pada “Panduan Go Public” yang dirilis Bursa Efek Indonesia, perusahaan yang hendak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), harus membukukan laba usaha dalam kurun satu tahun operasional terakhir. Ketentuan itu diwajibkan bagi perusahaan yang telah berusia sama dengan atau lebih dari 36 bulan. Go-Jek sendiri didirikan hampir sembilan tahun lalu, sebagai call-center bagi pengemudi ojek.
Namun, pada praktiknya BEI membuka ruang bagi startup yang masih merugi untuk melantai di bursa. Pada 2017 Oktober lalu misalnya, startup PT Kioson Komersial Indonesia Tbk masih rugi saat masuk bursa.
Direktur Utama BEI Tito Sulistio, pernah mendorong Go-Jek, juga startup lainnya seperti Tokopedia, dan Bukalapak untuk melantai di bursa Indonesia. “Karena pendapatan mereka itu lebih dari 90 persen di Indonesia, jadi tolonglah listed juga di Indonesia,” ujar Tito.
Keputusan bagi startup melantai di bursa memang kompleks. Ren Zhengfei, pendiri Huawei, memutuskan bahwa Huawei tidak melantai di bursa saham karena “pemilik Huawei bukanlah sosok serakah.” Alih-alih mencari modal dari publik, Huawei lebih memilih mencarinya melalui investor privat, dengan dukungan produk-produk mereka yang laku di pasaran.
Aksi korporasi IPO, adalah cara termudah pada investor mengambil untung atas uang yang telah mereka tanam. Pada 2005 misalnya, tatkala Alibaba melakukan IPO. Sebagai investor yang menanam $1 miliar, Yahoo kemudian memperoleh uang $10 miliar atas aksi korporasi yang dilakukan Alibaba kala itu.
Bila valuasi Uber saat IPO benar di angka $120 miliar, Kerajaan Saudi, yang memiliki 14 persen saham Uber, akan menenggek uang senilai $16 miliar, atas investasi sebesar $3,6 miliar yang disetorkan 97 investor Uber. Hal serupa bisa juga bisa terjadi 65 investor Lyft, 39 investor Grab, 31 investor Ola, 30 investor Didi Chuxing. Juga suatu keniscayaan terjadi kepada para investor Go-Jek.
Editor: Suhendra