Menuju konten utama

Menanti Pembuktian Startup Pertama di Bursa

PT Kioson Komersial Indonesia Tbk punya beberapa catatan, dilabel sebagai perusahaan startup pertama di bursa, sekaligus emiten pendatang baru yang masih rugi.

Menanti Pembuktian Startup Pertama di Bursa
Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tidak berubah pada pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (10/7). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Umurnya baru dua tahun, jalan empat bulan, tapi tapak kakinya sudah menginjak lantai bursa dengan pencatatan saham perdana atau IPO. Perusahaan dengan slogan "Semua Bisa Online" pada Kamis (5/10/2017) mencatatkan sejarah sebagai perusahaan startup pertama di Indonesia masuk jajaran emiten bursa di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Ia adalah PT Kioson Komersial Indonesia Tbk, perusahaan yang didirikan pada 29 Juni 2015 ini memang fenomenal sebagai bisnis online di bidang pembayaran, belanja, transaksi elektronik, dan keagenan. Namun bukan soal usia muda atau startup pertama, perusahaan dengan kode saham "KIOS" punya catatan yang kurang sedap sebagai pendatang baru di bursa. Perusahaan tersebut masih menderita rugi bersih sebesar Rp4,45 miliar dengan nilai pendapatan Rp25,96 miliar Januari-April 2017, kondisi keuangan serupa terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Dengan label sebagai startup pertama di bursa, KIOS memang harus membuktikan diri. Setidaknya bisa menjawab bagaimana seharusnya startup atau perusahaan rintisan bisa jadi perusahaan besar di kemudian hari di tengah kondisi perusahaan yang masih harus berjuang mendatangkan laba. Tak sedikit perusahaan startup Indonesia yang mati sebelum dapat berkembang.

“Janjinya dua tahun bisa untung, dan saya percaya asalkan manajemen tetap kuat, didukung masyarakat, termasuk oleh pemerintah. Saya juga minta KIOS untuk transparan, akuntabel dan fairness,” kata Tito Sulistio, Direktur Utama PT BEI pada Kamis (5/10) saat pencatatan saham perdana PT Kioson Komersial Indonesia.

KIOS memang sedang mendapatkan angin segar, dengan kesempatan yang tak boleh disia-siakan. KIOS mampu lolos dari syarat bursa, tentu dianggap memiliki prospek sebagai sebuah bisnis. KIOS merupakan perusahaan teknologi yang menyediakan platform digital bagi seluruh masyarakat untuk bisa berbisnis. Segmen pasar yang dibidik adalah masyarakat yang berada di pelosok daerah atau rural.

Baca juga: Ramai-ramai Tanam Uang di Startup

Melalui aplikasi Kioson yang dapat diunduh di Google Playstore, mitra kios tersebut dapat menawarkan kepada konsumen berupa kemudahan untuk membayar seluruh keperluan secara online, seperti pulsa, asuransi, tagihan listrik, belanja online dan lainnya.

Secara garis besar, konsumen tidak perlu melakukan transfer uang secara elektronik. Cukup membayar uang tunai kepada mitra kios. Nanti, mitra kios-lah yang melakukan transaksi online tersebut. Dari setiap transaksi, KIOS dan mitra kios akan mendapatkan komisi.

Direktur Utama KIOS Jasin Halim optimistis perseroan mampu membalikkan rugi bersih menjadi laba bersih setelah penggalangan dana dari pencatatan saham perdana ini.

“Segmen pasar yang kami bidik itu memang yang berada di kota lapis kedua atau rural area, di mana infrastruktur internet belum memadai, pengetahuan internet masih minim, termasuk akun bank juga belum punya,” kata Jasin.

Potensi pasar yang dibidik KIOS memang sangat besar. Berdasarkan hasil survei indikator TIK 2015 dari Kemenkominfo, total pengguna internet di Indonesia baru mencapai 93,4 juta orang, atau 36 persen dari total jumlah penduduk sekitar 258 juta orang.

Dari total jumlah pengguna internet tersebut, baru 9,31 persen atau 8,7 juta orang yang aktif sebagai online shopper. Selain itu, jumlah pengguna internet di kota-kota lapis kedua juga baru mencapai 17,3 persen. Melihat peluang itu, KIOS menyiapkan sejumlah strategi pengembangan bisnis di antaranya dengan memperluas jangkauan ke seluruh pelosok di Indonesia, melalui peningkatan jumlah mitra-mitra kios perusahaan.

Per September 2017, KIOS sedikitnya telah memiliki 19.000 mitra kios yang tersebar di 384 kota. Hingga akhir tahun, jumlah mitra kios ditargetkan menjadi 30.000 mitra, atau melonjak 400 persen dari realisasi 2016.

Baca juga: Startup di Indonesia Banyak Lahir dari ITB Hingga Binus

Saat ini, jumlah mitra kios tersebut masih berpusat di Jawa dan Sumatera. Namun, kehadiran mitra kios sebenarnya juga sudah tersebar di pulau-pulau besar lainnya. Mitra kios pun sudah hadir di Papua, meski jumlahnya sedikit.

Selain memperluas jangkauan, langkah strategis KIOS yang akan ditempuh lainnya adalah mengakuisisi PT Narindo Solusi Komunikasi. Narindo merupakan mitra aggregator antara perusahaan telekomunikasi dan mitra.

Klien-klien yang dilayani Narindo di antaranya seperti Matahari Mall, Blibli.com, Tokopedia, Gojek, Traveloka, Bank Mayora dan Bank Mega. Sedangkan partner yang bekerja sama dengan Narindo, yakni XL, Indosat, Telkomsel, Smartfren, Tri dan Bolt.

Sebagai mitra aggregator, Narindo menjadi perusahaan penyedia teknologi host to host yang memungkinkan terjadinya transaksi isi ulang pulsa, melalui klien-klien yang tengah dilayani perusahaan.

“Untuk strategi profitabilitas, kami akan memperkuat jaringan Kioson di daerah. Dengan menambah dari Narindo, mudah-mudahan dengan profitabilitas Narindo juga bisa membantu bottom line Kioson,” kata Jasin.

Pada akhir perdagangan bursa saham Kamis (5/10), harga saham KIOS melonjak 50 persen dari Rp300 per lembar saham menjadi Rp430 per lembar saham, setelah resmi melepas 150 juta saham, atau setara 23,07 persen dari total saham perusahaan. Total dana IPO KIOS mencapai Rp45 miliar.

Dari capaian ini tentu sebuah permulaan yang positif bagi KIOS. Namun, analis mengingatkan bahwa membeli saham KIOS saat ini agak berisiko. Selain masih mengalami rugi usaha, model bisnis dari KIOS ini juga belum terlalu dipahami.

“Jujur, sampai sekarang saya masih belum paham betul struktur bisnis KIOS ini. Saya mau menghitung nilai wajar saja, masih belum dapat,” ujar Kiswoyo Adi Joe, analis dari Recapital Sekuritas.

Setali tiga uang dengan Adi Joe, Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan risiko membeli saham KIOS cukup tinggi. Selain perusahaan baru berkembang, persaingan usaha antar startup juga tinggi. Ia menyarankan investor lebih baik menunggu dan melihat terhadap perkembangan kinerja fundamental KIOS ke depan. Pergerakan saham KIOS yang tinggi hanya sementara, karena masih ada sentimen positif dari IPO.

Infografik Kios digital raksasa

Target BEI dari Startup

“Saya undang perusahaan startup untuk datang [melantai di Bursa Efek Indonesia]. Karpet merah untuk Anda semua. Saya siapkan.”

Begitulah ungkapan Tito Sulistio, sang Direktur Utama PT BEI, saat menyambut kedatangan keluarga baru bursa, PT Kioson Komersial Indonesia Tbk. Tito memang sejak awal paling gencar mendorong Usaha Kecil Menengah (UKM) atau pun startup untuk mencari modal di bursa.

Sejak kegiatan pasar modal diaktifkan kembali pada 1977, perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa hanya diisi perusahaan-perusahaan bermodal besar, sedikit sekali perusahaan dengan modal kecil atau seperti startup yang tertarik untuk ikut bergabung. Padahal, tujuan dari kehadiran BEI adalah sebagai alat bagi perusahaan untuk memobilisasi dana demi pengembangan bisnis, baik jangka pendek maupun panjang agar meraup keuntungan.

Kendati jumlah perusahaan startup atau rintisan menjamur, tidak sedikit perusahaan startup yang tidak bisa berkembang. Hal itu dikarenakan perusahaan startup yang memiliki ide atau proyek bagus, justru lemah dalam kemampuan manajemen implementasi termasuk permodalan.

Baca juga: Sri Mulyani Janji Startup akan Dipermudah Masuk Pasar Modal

BEI tidak tinggal diam. Pada Maret 2017, perseroan telah meluncurkan IDX Incubator sebagai wadah pembinaan perusahaan startup agar mampu memonetisasi bisnisnya, dan tercatat di bursa saham. Sejumlah program yang diberikan di antaranya seperti Idea Validation, peserta akan memvalidasi ide yang sedang dirintis untuk menjadi ide yang dapat dikembangkan menjadi suatu produk yang memiliki prospek bisnis.

Kemudian, Product Development, ide yang telah divalidasi akan menjadi produk yang siap diluncurkan. Setelah itu ada Business Development, peserta dilatih membangun dan mengembangkan bisnis, serta menjadi perusahaan terbuka.

Namun demikian, sejumlah pelatihan dari IDX Incubator tersebut dinilai belum cukup untuk menarik minat para perusahaan startup. Salah satu yang paling dibutuhkan perusahaan startup di Indonesia adalah bagaimana mengkapitalisasi ide menjadi kenyataan.

“Di luar negeri, ide atau program itu bisa dikapitalisasi. Di Indonesia belum. Makanya, kami sedang bicara dengan IAI [Ikatan Akuntan Indonesia] bagaimana agar bisa dikapitalisasi. Kalau itu bisa, value-nya juga bertambah,” kata Tito.

Tercatatnya saham perdana KIOS di bursa, menjadi catatan bagi startup lain untuk bisa mengikuti jejak yang sama dan sebuah keniscayaan. Namun, KIOS sebagai pemula harus bisa membuktikannya lebih dulu sebagai pendatang baru.

Baca juga artikel terkait STARTUP atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra