tirto.id - "Saya pikir uang telah menarik perhatian orang-orang yang berbeda dalam melihat teknologi hari ini dan berkata 'Ya Tuhan, saya mungkin bisa membuat perusahaan rintisan dan menghasilkan setumpuk uang (darinya)'," kata Steve Wozniak, co-founder Apple terkait maraknya startup.
Startup alias perusahaan rintisan memang sedang menjadi tren dunia. Kesuksesan Mark Zuckerberg, Evan Spiegel, Jan Koum, David Karp, serta tokoh-tokoh teknologi berusia muda lainnya menjadi salah satu pemicunya. Ramai-ramai, banyak pemuda yang ingin mendirikan startup dan menyandang gelar CEO.
Baca juga:Yang Kaya Setelah Menjual Startup
Kisah-kisah kesuksesan sebuah startup memang menggiurkan. Namun, mendirikan dan merawat startup bukanlah perkara mudah. Selain ide, konsep, dan hal remeh terkait suatu produk yang dibuat, urusan permodalan adalah salah satu masalah yang paling serius yang harus dihadapi sang pendiri startup. Apalagi startup yang bergerak di layanan yang mengutamakan basis pengguna.
Modal yang sedikit, teramat susah dimanfaatkan untuk menggaet pengguna. Contoh yang paling dekat adalah Go-Jek. Startup unicorn pertama Indonesia itu, cukup rajin membakar duitnya guna membangun basis massa.
Dengan cara kerja demikian sangat susah memprediksi kapan sebuah startup balik modal atas apa yang telah dikeluarkannya. M. Andy Zaky dari Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Informasi Indonesia mengatakan bahwa umumnya startup organik akan balik modal dalam waktu dua tahun. Namun, bagi startup yang mengejar valuasi, waktunya tak bisa diprediksi.
Ini terjadi pada Go-Jek dan banyak startup lainnya di seluruh dunia. Lihatlah WhatsApp, hingga detik ini pendapatan per pengguna WhatsApp masih langgeng berada di angka $0 per pengguna. Padahal per bulan Juli 2017 lalu jumlah pengguna WhatsApp mencapai angka 1,3 miliar orang.
Baca juga:Berapa Lama Startup Harus Membakar Uang?
Guna membantu startup tumbuh salah satu cara yang dilakukan adalah manarik simpati para pemodal. Venture capital alias modal usaha dari venture capitalist atau investor sangat berpengaruh dalam dunia startup yang bergerak di bidang teknologi. Secara global, merujuk hasil penelitian yang dilakukan Google dan A.T Kearney berjudul “Indonesia Venture Capital Outlook 2017,” startup-startup yang berada di Amerika Serikat dan Kanada (Amerika Utara) unggul dalam perolehan modal dari para venture capitalist.
Di wilayah tersebut, terjadi 63.924 perjanjian kerja sama antara startup dan pemodal dalam rentang 2012 hingga 2016. Jumlah kerjasama tersebut membuahkan nilai investasi yang mencapai angka $524 miliar.
Melihat startup-startup di AS dan sekitarnya menciptakan lebih banyak perjanjian kerja sama dengan pemodal. AS, memiliki kawah candradimuka startup paling tersohor di dunia bernama Silicon Valley. Nama-nama besar teknologi hari ini yang mendikte kehidupan manusia modern, berasal dari Silicon Valley seperti Google dan Apple.
Selain Amerika Utara, Eropa adalah wilayah yang startup-startup cukup sukses meraih modal dari investor. Dari 2012 hingga 2016 terdapat 21.588 perjanjian antara venture capitalist dengan startup-startup Eropa. Total nilai investasi di Eropa mencapai angka $104 miliar. Nama-nama seperti Rovio dan Spotify, adalah nama-nama startup beken asal Eropa.
Startup-startup asal Eropa tercatat memperoleh modal yang cukup besar dari venture capitalis, Eropa bukanlah kawasan kedua yang menerima modal terbesar setelah AS. Asia justru merupakan wilayah yang mengambil porsi terbesar kedua dalam realisasi investasi startup.
Dalam rentang 2012 hingga 2016, terdapat 12.733 perjanjian antara investor dan startup di Asia. Jumlah tersebut menciptakan nilai investasi dengan total $225 miliar. Asia memang cukup gesit di dunia startup. Terdapat cukup banyak nama startup besar dari sini termasuk Gojek, Grab, dan Line.
Asia merupakan wilayah dengan pertumbuhan nilai investasi yang tinggi. Dari 2012 hingga 2016, nilai investasi di wilayah Asia tumbuh 4 kali lipat. Asia menggenggam 13 persen dari total nilai investasi dunia pada 2012 sebesar $73 miliar. Di 2016, sebanyak 33 persen dari $274 miliar diboyong oleh startup-startup Asia.
Di Asia, Cina dan kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah di Asia yang pertumbuhan nilai investasi startup paling tinggi. Kedua wilayah ini tumbuh hingga 9 kali lipat dari rentang 2012 hingga 2016. Asia Tenggara mengambil porsi 3 persen dari total nilai investasi Asia sebesar $10 miliar pada 2012 lalu. Pada 2016, Asia Tenggara mengambil porsi 8 persen dari total nilai investasi Asia sebesar $90 miliar. Cina, di 2012 mengambil porsi 55 persen dari total nilai investasi Asia. Di tahun 2016, Cina mengambil porsi hingga 64 persen.
Baca juga:Banjir Dana Segar di Bisnis Startup Teknologi Kebugaran
Di kawasan Asia Tenggara, negara yang banjir modal bagi startup mereka adalah Singapura. Pada 2012 dari $300 juta, Singapura mengambil porsi 83 persen, Indonesia 14 persen, sisanya 2 persen negara lain. Pada 2016, porsi investasi di kawasan meningkat 23 kali lipat jadi $6,8 miliar, porsi Indonesia naik jadi 19 persen, Singapura menyusut jadi 41 persen.
Yang menarik, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan wilayah dengan pertumbuhan paling tinggi. Dari 2012 hingga 2016 nilai investasi bagi startup di Indonesia tumbuh 31 kali lipat, dari hanya $44 juta di 2012 menjadi $1,4 miliar tahun lalu. Kenaikan ini karena tren jor-joran investasi bagi investor. Terutama investor asal Cina. Di bulan Januari hingga Agustus ini, investor Cina menyumbang 94 persen dari total nilai investasi. Lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 yang hanya menyumbang 2 persen.
Tercatat, tren kenaikan investasi di Indonesia ini disebabkan oleh menggeliatnya dua kategori bisnis startup. Startup di bidang e-commerce dan di bidang transportasi. Go-jek, Tokopedia, dan Traveloka merupakan startup penggerak kenaikan nilai total investasi di Indonesia. Ketiga startup tersebut bahkan telah menyandang gelar unicorn dengan valuasi di atas $1 miliar.
Jumlah aliran modal dari investor bagi startup-startup di dunia nilainya kian meningkat seiring waktu. Investasi besar dalam beberapa tahun ke belakang yang biasanya di angka $500 juta, tapi kini sudah bisa mencapai $1 miliar untuk sekali investasi.
“Dunia tak pernah melihat iklim investasi seperti ini,” ucap Bill Gurley dari Benchmark yang telah berinvestasi di Uber pada Bloomberg. “Sangat susah memperkirakan berapa banyak uang di luar sana (yang dibelanjakan investor bagi startup),” katanya menambahkan.
Tren hari ini memang mengindikasikan bahwa nilai investasi para investor semakin tak terbayangkan. Akibatnya beberapa startup memiliki valuasi dengan nilai melebihi nilai valuasi perusahaan-perusahaan tersohor yang telah ada sebelumnya. Uber memiliki valuasi sekitar $69 miliar.
Angka itu jauh lebih tinggi daripada valuasi gabungan antara General Motors dan Fiat Chrysler, dua perusahaan otomotif ternama di AS. Airbnb memiliki valuasi sekitar $30 miliar. Valuasi tersebut menjadikan Airbnb sebagai startup bernilai paling top dibandingkan hotel manapun di seluruh dunia.
Baca juga:Perang Hotel dengan Airbnb
Namun, semakin banyaknya startup teknologi kenyataannya hanya di bidang itu-itu saja, dunia kini membutuhkan startup-startup yang berbeda. “Saya yakin saya akan bertemu dengan beberapa pengusaha yang akan melakukan sesuatu uang tidak terduga dan inovatif,” ucap Roelof Botha dari Sequoia Capital.
Dalam sebuah pagelaran bertajuk Startup World Cup, apa yang diutarakan Botha sedikit mendekati kenyataan. Dari berbagai startup yang tampil mempresentasikan produknya masing-masing, ada kecenderungan perubahan tren atas produk yang diciptakan oleh startup.
Selama ini startup dikenal dengan yang berbasis teknologi dan produknya menyasar massa. Kini, ramai-ramai startup membuat produk dengan segmen yang sangat spesifik atau bahkan tidak menyasar segmen masyarakat umum melainkan segmen bisnis.
iGrow, pemenang kompetisi Startup World Cup regional Indonesia, merupakan startup investasi di bidang pertanian. Dengan angka rupiah tertentu, hanya dengan berselancar di ponsel pintar, penggunanya bisa berinvestasi di bidang pertanian. iGrow, menyasar segmen yang sangat spesifik. Orang-orang yang melek investasi dan paham seluk beluk dunia pertanian.
Selain iGrow, ada pula startup bernama Eresto. Eresto menyediakan platform bagi pengusaha di bidang kuliner. Dengan memanfaatkan layanan yang disediakan Eresto, pengelolaan restoran bisa mudah dilakukan. Eresto, menyasar segmen bisnis dalam mengembangkan produknya.
Namun, atas semakin banyaknya orang yang tergiur mendirikan startup, menjadi beda terutama soal produk atau layanan adalah keharusan. Bila tidak, mereka hanya akan menjadi pengekor, dan menjadi pertanyaan apakah akan menarik sumber modal?
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra