Menuju konten utama

Tunjangan PPh 21 Anggota DPR: Bentuk Ketidakadilan Pajak

Tunjangan PPh 21 untuk anggota DPR dinilai jadi privilese dan mencerminkan ketidakadilan pajak. Bagaimana langkah yang sebaiknya diambil pemerintah?

Tunjangan PPh 21 Anggota DPR: Bentuk Ketidakadilan Pajak
Suasana saat Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto/app/rwa.

tirto.id - Jumlah total pendapatan per bulan anggota DPR terus menjadi sorotan. Bagaimana tidak, gaji pokok anggota DPR hanya sebesar Rp4,2 juta tapi total yang mereka kantongi per bulannya bisa mencapai Rp54 juta.

Selain rencana penambahan tunjangan rumah Rp50 juta, masyarakat juga menyoroti komponen tunjangan PPh 21 dalam rincian pendapatan anggota. Adanya fasilitas tunjangan PPh 21 ini membuat publik mempertanyakan mengapa pajak penghasilan DPR dibayar oleh negara?

Aturan mengenai besaran gaji pokok anggota DPR beserta tunjangannya tercantum dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015. Dalam salah satu bagiannya terdapat besar komponen tunjangan PPh 21 sebesar Rp2.699.813.

Besar tunjangan pajak penghasilan itu bahkan lebih besar dari UMP (upah minimum provinsi) Yogyakarta tahun 2025 yang hanya sebesar Rp2.264.080.

Tirto telah mencoba menghubungi Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar untuk meminta penjelasan mengenai fasilitas pajak tersebut. Namun belum ada balasan yang diberikan hingga artikel ini ditayangkan.

Jika merunut pada aturannya, anggota DPR tetap tercatat sebagai pembayar pajak. Namun nominal pajaknya dikompensasi dengan tunjangan PPh 21. Sehingga pada dasarnya, mekanisme pembayaran pajak anggota ditutup dengan tunjangan PPh yang melekat pada gaji anggota DPR.

Sementara Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Rosmauli, membantah narasi yang menyatakan gaji pejabat negara tidak dikenakan pajak. Ia mengutip Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 yang menyebut pejabat negara tetap memiliki kewajiban untuk membayar pajak.

"Pajak penghasilan anggota DPR maupun pejabat negara tetap dibayarkan ke kas negara, tidak ada pembebasan pajak," kata Rosmauli saat dihubungi Tirto, Senin (25/8/2025).

Rosmauli menjelaskan bahwa karena seluruh gaji anggota DPR berasal dari duit pajak, maka Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pajak langsung melakukan pemotongan dan pelaporan pajak para anggota legislatif tersebut.

"Karena gaji dan tunjangan pejabat negara, ASN, serta anggota TNI/Polri bersumber dari APBN, maka untuk memastikan ketertiban administrasi agar pajak dihitung, dipotong, disetor, dan dilaporkan dengan benar maka kewajiban tersebut dilaksanakan langsung oleh instansi pemerintah melalui bendahara negara," jelasnya.

Rosmauli juga menyatakan bahwa skema serupa tidak hanya berlaku bagi DPR, melainkan juga bagi seluruh pejabat negara, aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan hakim sesuai ketentuan yang berlaku.

"Dengan demikian, pejabat negara menerima penghasilan neto, sementara pajaknya sudah masuk ke kas negara melalui APBN," ucapnya.

Ia kemudian menyebut bahwa skema serupa juga berlaku di sektor swasta. Dirinya kerap menemukan hal serupa diterapkan di sektor swasta, sehingga gaji para karyawan maupun direksinya sudah diberikan dalam bentuk neto dan potongan pajaknya telah ditanggung oleh perusahaan.

"Perlu dipahami, praktik seperti ini juga umum ditemui di sektor swasta, di mana pemberi kerja menanggung atau memberikan tunjangan pajak agar pegawai menerima penghasilan dalam bentuk neto," ujarnya.

Bagaimana Mekanisme Tunjangan PPh 21 untuk Anggota DPR?

Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Prianto Budi Saptono, menyebut fasilitas pajak yang diberikan Kementerian Keuangan kepada anggota DPR merupakan bentuk pemerintah menaikkan gaji para wakil rakyat itu secara tidak langsung.

Prianto mengilustrasikan ketika gaji anggota DPR sebesar Rp100juta, maka ia berkewajiban membayar PPh 21 sebesar 10 persen. Dengan kewajiban pembayaran PPh 21, maka seharusnya gaji anggota DPR dipotong Rp10 juta. Sehingga gaji bersihnya sebesar Rp90 juta. Namun, karena adanya fasilitas pajak yang ditanggung pemerintah (DTP) maka gaji anggota DPR tetap utuh Rp100 juta.

"Nilai pajak yang seharusnya dibayarkan ke kas negara sebesar Rp 10 tetap menjadi hak anggota DPR," kata Prianto saat dihubungi Tirto, Senin.

Sementara pakar ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai skema PPh 21 anggota DPR yang ditanggung pemerintah menjadi sinyalemen adanya privilese fiskal yang tidak menganut prinsip keadilan pajak. Syafruddin memaklumi jika ada ruang bagi negara untuk menanggung pajak pejabat publik.

Meski demikian, dia mengkritik kebijakan tersebut karena secara substansi membuat wakil rakyat terbebas dari beban yang malah dipikul rakyat biasa.

"Publik melihat gaji DPR bersih tanpa potongan, sementara masyarakat di luar parlemen membayar pajak dari pendapatan mereka sendiri," kata Syafruddin kepada Tirto, Senin.

Peluncuran Piagam Wajib Pajak

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto (kelima kanan) berfoto bersama sejumlah penerima Piagam Wajib Pajak (Taxpayers Charter) usai peluncuran di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Selasa (22/7/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

Menurutnya, kesadaran membayar pajak tidak hanya cukup dengan seruan iklan tapi juga membutuhkan keteladanan yang seharusnya ditunjukkan oleh anggota DPR.

"Pajak seharusnya menjadi kewajiban pribadi yang menunjukkan kesetaraan, bukan fasilitas yang mempertebal jurang antara elite dan rakyat," kata dia.

Syafruddin berpendapat bahwa menjadikan PPh21 sebagai insentif bagi anggota DPR tidak relevan dalam konteks keadilan sosial dan kondisi ekonomi rakyat.

"Masyarakat menghadapi biaya hidup yang semakin berat, sehingga fasilitas pajak bagi wakil rakyat hanya memperburuk rasa ketidakpercayaan," katanya.

Dia berkeyakinan jika fasilitas pajak itu dihapus, maka Republik ini berpotensi menghemat ratusan miliar rupiah setiap tahun, dana yang bisa diarahkan pada pendidikan, kesehatan, atau program sosial yang lebih bermanfaat.

"Langkah ini tidak hanya memberi efisiensi fiskal, tetapi juga menjadi simbol kuat bahwa wakil rakyat benar-benar berdiri sejajar dengan rakyat yang mereka wakili," jelasnya.

Syafruddin juga membandingkan pejabat negara lain soal pungutan pajak bagi anggota parlemen atau kongres. Di antara contoh yang diberikan adalah Amerika Serikat yang mana anggota kongresnya tetap dipotong PPh-nya oleh Internal Revenue Service (IRS) tanpa ada privelese pajak ditanggung negara.

Hal serupa juga dilakukan di Inggris. HM Revenue and Customs memotong pajak anggota parlemen dan praktik transparansi diperkuat setelah skandal belanja 2009 melalui publikasi slip gaji dan audit.

"Kebijakan pro-growth terbaik bagi Indonesia harus berakar pada keadilan fiskal dan keberpihakan pada produktivitas rakyat," tegasnya.

Pakar ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menawarkan win-win solution di tengah polemik tunjangan pajak anggota DPR tersebut. Dia meminta para anggota dewan untuk mengurus pembayaran PPh21 secara mandiri selayaknya masyarakat Indonesia lain, tanpa harus difasilitasi negara.

"Jika dibayarkan sendiri oleh anggota DPR, maka tidak timbul kecurigaan dibayarkan oleh negara dan lain-lain karena mekanismenya sama dengan WP (wajib pajak) lainnya," kata Nailul saat dihubungi Tirto, Senin.

BATAS AKHIR PENYAMPAIAN SPT PAJAK

sejumlah wajib pajak memberikan laporan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (spt tahunan pph). antara foto/akbar nugroho gumay/asf/mes/15.

Huda berpendapat jika DPR diatur untuk membayarkan pajak mereka secara mandiri, akan mencegah polemik di masyarakat dan menghadirkan transparansi.

"Jadi saya rasa esensi penghapusan pajak PPh21 DTP bagi pejabat bukan di penghematan namun keadilan perpajakan," jelasnya.

Baca juga artikel terkait TUNJANGAN atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Rina Nurjanah